Kamis, 15 Juni 2017

Mahfud MD: Kuantitas Islam Negara



Kuantitas Islam Negara
Oleh: Moh Mahfud MD

MENURUT hasil survei yang dirilis Saiful Mujani Research Consulting (SMRC), pada saat ini warga negara yang menginginkan Pancasila dan NKRI diganti dengan negara Islam atau khilafah ada 9,2% di Indonesia. Hasil survei yang dirilis awal pekan ini tersebut mengungkapkan bahwa 79,3% rakyat Indonesia masih menginginkan NKRI dan UUD 1945, 11,5% tidak tahu atau tidak berpendapat. Tingkat kepercayaan pada hasil survei tersebut adalah 95% dengan margin of error  2,7%.

Atas hasil survei tersebut saya mengatakan, dengan demikian, secara kuantitatif perkembangan gagasan Islam negara di Indonesia dari waktu ke waktu mengalami penurunan: mulai dari 45% pada 1940-an dan tetap 45% pada 1950-an, kemudian menjadi sekitar 13% pada akhir 1990-an, dan menjadi 9,2% pada 2017. 

Paham Islam negara adalah paham bahwa mendirikan negara Islam secara formal mulai dari dasar sampai produk-produk hukum negaranya adalah keharusan agama. Jadi paham ini menginginkan dibangunnya Indonesia sebagai negara Islam.

Melalui disertasi doktornya di Pascasarjana UGM yang sudah diterbitkan sebagai buku, Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (Mizan, 2013), Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyebut istilah “Islam syariat” dalam pengertian yang hampir sama dengan pengertian tersebut, yakni kelompok yang menginginkan berlakunya syariat Islam secara formal-eksklusif.

Menurut Haedar, sekurang-kurangnya ada tiga kelompok dan tingkatan gerakan Islam syariat. Pertama, gerakan yang menginginkan Indonesia diganti secara resmi menjadi negara Islam yang direpresentasikan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan ide khilafahnya.

Kedua, gerakan yang tetap setuju Indonesia berdasar Pancasila, tetapi produk-produk hukumnya adalah hukum-hukum Islam seperti yang diperjuangkan oleh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).

Ketiga, gerakan yang secara realistis memilih memberlakukan dulu syariat Islam di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas muslim dengan memberlakukan perda-perda syariah seperti yang direpresentasikan oleh Komite Persiapan Pemberlakuan Syariat Islam (KPPSI) yang beroperasi di Sulawesi Selatan.

Melalui Twitter, WhatsApp, dan berbagai media lain banyak yang bertanya, bagaimana saya menghitung angka 45% dan perubahannya menjadi 13% dan 9,2% tersebut? Saya menjawabnya sesuai dengan data angka yang diolah secara ilmiah di lembaga permusyawaratan/perwakilan dan hasil survei SMRC tersebut.

Pada 1945 ketika para pendiri negara berembuk untuk menyiapkan ideologi dan konstitusi bagi Indonesia, yang kala itu akan segera dimerdekakan, tidak ada hitungan pasti berapa jumlah pendukung konsep negara Islam maupun negara Pancasila, tetapi perdebatan di BPUPKI dan PPKI saat itu sangat seru dan penuh retorika yang sangat mengagumkan.

Angka 45% atau perbandingan 4 : 5 antara pendukung negara agama dan pendukung negara kebangsaan disimpulkan dari cara Bung Karno membentuk Panitia Sembilan untuk mencari kompromi yang kemudian melahirkan Piagam Jakarta.

Di dalam Panitia Sembilan tersebut ada 4 orang pengusul negara Islam dan ada 5 orang pendukung negara kebangsaan. Yang menginginkan negara Islam adalah Agoes Salim, Wachid Hasyim, Kahar Muzakkir, dan Abikusno Tjokrosujoso, sedangkan yang menginginkan  negara kebangsaan (Pancasila) adalah Bung Karno, Bung Hatta, Muhammad Yamin, Ahmad Subardjo, dan AA Maramis. Komposisi 4 : 5 itu dipercaya sebagai komposisi yang mewakili konfigurasi rakyat Indonesia pada waktu itu.

Seperti diketahui, dasar ideologi dan konstitusi negara pada awal kemerdekaan itu disahkan sebagai kesepakatan sementara karena Indonesia harus segera benar-benar merdeka. Untuk itu disepakati pula bahwa kesepakatan itu akan dibicarakan dan ditetapkan kembali oleh sebuah wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu.

Pemilu untuk membentuk Konstituante (pembentuk UUD) dilakukan pada tahun 1955 dan menghasilkan komposisi yang sama dengan tahun 1945, yakni 45% mengusulkan dasar negara Islam dan 55% mengusulkan dan mendukung negara Pancasila. Jadi dari hasil Pemilu 1955 muncul perbandingan 45% : 55%.

Parpol-parpol Islam, yakni Masyumi, NU, PSII, dan Perti, memperjuangkan negara berdasar Islam yang setelah diikuti oleh yang lain-lain berhasil menghimpun 45% dukungan suara di Konstituante.

Konstituante hasil Pemilu 1955 tidak berhasil memutuskan dasar dan konstitusi negara yang baru karena, seperti ditulis oleh Syafii Maarif di dalam “Islam dan Konstituante: Pengalaman Indonesia” (Prisma, 1984), keputusan tentang dasar dan konstitusi negara harus disetujui oleh minimal 2/3 dari seluruh anggota Konstituante.

Perbandingan 45% : 55% menyebabkan keputusan tidak bisa diambil meskipun sudah dilakukan voting beberapa kali. Akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 dengan salah satu konsiderans, Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan bagian tak terpisahkan dari UUD 1945.

Pemerintahan Orde Baru yang menjatuhkan pemerintahan Presiden Soekarno mematok prinsip “melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen” sehingga gerakan ideologi alternatif bagi Pancasila tidak bisa dikuantifikasi.

Tapi setelah Orde Baru jatuh pada 1998, terbuka kesempatan luas bagi masyarakat untuk melakukan perubahan melalui pemilihan umum. Pada 1999 ada 48 parpol peserta pemilu dan banyak di antaranya yang berhaluan ideologi Islam negara, mulai dari yang paling tegas sampai yang agak samar-samar ingin menghidupkan kembali Piagam Jakarta.

Gabungan perolehan suara dari kelompok Islam negara pada Pemilu 1999 hanya berjumlah sekitar 13%. Beberapa parpol yang bervisi Islam negara pada umumnya hanya mendapat sedikit dukungan, bahkan ada yang tidak mendapat kursi sama sekali di parlemen. Pemenang-pemenangnya adalah partai nasionalis dan partai berbasis kaum muslimin yang inklusif, bukan Islam negara.

Itulah sebabnya ketika SMRC menemukan hasil survei bahwa yang ingin NKRI berdasar Pancasila NKRI diganti hanya ada 9,2%, saya mengatakan bahwa dari waktu ke waktu terjadi penurunan dukungan bagi ide Islam negara sehingga hanya tinggal 9,2% dari yang semula sekitar 45%.

Mainstream kaum muslimin kita yang sudah lebih terbuka secara cepat menaikkan dukungan terhadap negara Pancasila dan menolak negara Islam atau khilafah. Tagline yang dipakai umat Islam sekarang adalah Islam rahmatan lil alamin.

Meski begitu fakta masih adanya 9,2% yang menginginkan digantinya NKRI berdasar Pancasila tak boleh diabaikan. Mereka tetap harus diwaspadai dan diselesaikan melalui proses-proses konstitusional yang tersedia. []

KORAN SINDO, 10 Juni 2017
Moh Mahfud MD | Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK (2008-2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar