Selasa, 13 Juni 2017

Azyumardi: AS, Trump, dan Islam (3)



AS, Trump, dan Islam (3)
Oleh: Azyumardi Azra

Los Angeles, California, di pantai barat Amerika Serikat. Negara bagian ini secara tradisional adalah kubu Partai Demokrat. Karena itu tak heran dalam Pilpres AS lalu Hillary Clinton mengungguli Donald Trump—61,5 persen (8.753.788 suara) berbanding 31,5 persen (4.483.810 suara).

California memang merupakan wilayah paling banyak imigrannya di seluruh AS; kelompok terbesar imigran adalah Latino, Asia, dan Afrika. Kaum imigran ini,khususnya Latino (umumnya Katolik) dan Muslim dari berbagai negara tidak disukai Presiden Trump. Di negara bagian ini terdapat sekitar 10 juta imigran dari 39,14 juta total penduduknya; satu dari empat mereka dilahirkan di negara lain.

Tak kurang pentingnya, California juga merupakan wilayah konsentrasi Muslim terbesar di AS. Berbagai estimasi menyebut jumlah Muslim di California berkisar antara 1 juta -1,5 juta atau sekitar 3-4 persen.Sedangkan jumlah Muslim seluruh AS berkisar antara lima sampai delapan juta jiwa.

Kaum Muslimin California menurut sensus penduduk 2010 berasal dari Dunia Arab (total sekitar 715.000), Iran (sekitar 500 ribu), Indonesia (sekitar 96.000), Pakistan (sekitar 54 ribu), Bangladesh (sekitar 10.500), Malaysia (sekitar 6.000). Tentu tidak semua imigran dari berbagai negara ini penganut Islam; tapi agaknya sebagian besar mereka adalah Muslimin.

California juga menjadi pusat aktivisme Muslim. Menurut ‘sensus the American Mosques’ 2011, di negara bagian ini terdapat sekitar 246 masjid—tidak terhitung mushalla, dari sekitar 2.106 jumlah masjid di seluruh AS. Di California juga terdapat sekitar 30 sekolah Islam dan/atau madrasah full time yang terakreditasi, dan juga puluhan organisasi atau lembaga Islam yang bergerak dalam pemberdayaan dan advokasi kepentingan Islam dan Muslim.

Jelas kaum Muslim California — seperti umumnya umat Islam Amerika lain — bersikap kritis terhadap Presiden Trump. Dalam konteks California, salah satu contoh adalah dokter Asif Mahmod (56 tahun) yang 26 tahun lalu hijrah ke Amerika. Ia memutuskan maju dalam Pemilu November 2018 untuk posisi Letnan Jenderal Negara Bagian California. “Agenda kebencian dan memecahbelah Donald Trump memaksa saya maju. Saya menjadi tantangan bagi Trump”.

Nada kritis juga muncul dalam percakapan penulis Resonansi ini dengan Profesor Khaled Abou Fadl, gurubesar hukum Islam (syari’ah) University of California Los Angeles (UCLA). Menurut ‘Scholars of the House’, Abou Fadl adalah salah seorang pemikir Islam dan intelektual publik paling terkemuka dan berpengaruh di masa kontemporer. Termasuk penulis prolific (menghasilkan banyak buku dan karya tulis lain), dia adalah ahli syariah dalam kontekstualisasi dengan perkembangan kontemporer.

Dalam perbincangan dengan Abou Fadl di Fakultas Hukum UCLA (4/5/2017), dia menyatakan, tantangan yang dihadapi kaum Muslimin California atau Amerika secara keseluruhan di masa Presiden Trump jelas kian berat.Tantangan itu kian rumit karena adanya kontestasi aliran, paham dan praksis di kalangan kaum Muslimin sendiri.

Dia mengamati meningkatnya kontestasi antara kelompok Salafi, khususnya Wahabi dengan arus utama kaum Muslim Amerika yang mengikuti aliran, paham dan praksis Islam lain, persisnya Islam wasathiyah. ‘Kontestasi itu tidak lain merupakan luberan dari kontestasi yang terus berlanjut di Timur Tengah, tidak hanya dengan Syiah Iran, tapi juga dengan institusi Sunni al-Azhar”.

Menurut Abou Fadl, dalam kontestasi ini, gerakan Wahabi sangat ofensif karena didukung pendanaan besar. Dalam konteks hubungan dengan Amerika, kaum Wahabi secara pasif menolak demokrasi. Sikap ini tidak lain terkait dengan kenyataan Arab Saudi sebagai pusat Wahabisme merupakan kawan karib pemerintah Amerika.

Hal terakhir ini terlihat dari kunjungan pertama kali keluar negeri yang dilakukan Presiden Donald Trump (20-21/5/17). Adalah Arab Saudi yang disambangi Trump untuk menghadiri Konperensi Tingkat Tinggi (KTT/Summit) negara-negara Arab dan/atau Muslim seperti Indonesia. Tema pokok KTT itu adalah peningkatan kerjasama pemberantasan terorisme. Presiden Jokowi pun berbicara tentang pentingnya pendekatan agama dan budaya dalam pemberantasan terorisme.

Kembali ke perbincangan dengan Abou Fadl; dia melihat tantangan lain yang juga sangat serius di Dunia Muslim adalah kebangkitan kembali militer seperti terjadi di Mesir pada masa pasca-Arab Spring dan juga konflik dan berkepanjangan yang terjadi di Libya, Syria, Yaman dan Iraq. “Saya benar-benar cemas melihat perkembangan ini.

Abou Fadl yang pernah beberapa kali ke Indonesia mengapresiasinya hegemoni Islam wasathiyah di Nusantara. Dengan karakter inklusif dan akamodatifnya, Islam wasathiyah Indonesia menjadi faktor sangat penting dalam stabilitas politik dan kemajuan Indonesia. “Saya berdoa, semoga Islam Indonesia terhindar dari kontestasi intra-Islam dan antar-agama yang sekali dimulai sangat sulit diakhiri”. []

REPUBLIKA, 08 June 2017
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mantan Anggota Dewan Penasihat Undef (New York) dan International IDEA (Stockholm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar