Waliyul Amri 1954:
Penyerahan Kedaulatan Itsbat Ramadhan kepada Pemerintah
Mbah Wahab dan Soekarno |
Para alim ulama NU
mengadakan musyawarah nasional atau Munas di Cipanas Bogor, 1954. Ketika itu
kondisi pemerintahan Indonesia belum kokoh. Masih ada pihak yang tidak mengakui
keabsahan pemerintah secara agama (Islam). Pimpinan Darul Islam (DI)
Kartosuwiryo mengklaim diri sebagai Amirul Mukminin, pemimpin umat Islam di
"negara Islam" yang dideklarasikannya.
Munas Alim Ulama
menghasilkan keputusan yang sangat penting dalam sejarah Indonesia, yakni
mengenai Waliyyul Amri ad-Dloruri bis Syaukah yang intinya menegaskan posisi
presiden Indonesia (Soekarno) sebagai pemimpin yang sah berdasarkan agama
Islam.
Keputusan ini
merupakan kelanjutan dari Keputusan Muktamar NU sebelum proklamasi kemerdekaan.
Muktamar NU di Banjarmasin 1936 itu membahas, apakah negara kita Indonesia
(Hindia Belanda) ini bisa dinamakan sebagai Darul Islam atau negara
Islam?
Jawabannya, ya. Bahwa
Indonesia disebut Darul Islam karena pernah dikuasai sepenuhnya oleh umat
Islam, meskipun kemudian direbut kaum penjajah kafir (Belanda). Muktamar antara
lain mengutip fatwa dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin.
Munas Alim Ulama di
Cipanas 1954 sudah lebih mantap lagi dalam menegaskan keabsahan pemerintah
Indonesia secara agama karena penjajah sudah pergi. Fatwa Resolusi Jihad KH
Hasyim Asyari untuk mengusir kaum penjajaah pascaproklamasi kemerdekaan
Indonesia juga menegaskan bahwa mempertahankan negara-bangsa yang baru
didirikan ini dari serangan Sekutu adalah jihad fi sabilillah.
Munas Alim Ulama 1954
mengenai waliyyul amri pada intinya merupakan penyerahan sebagian kedaulatan
atau pelimpahan wewenang (tauliyah) kepada pemerintah Indonesia mengenai dua
hal.
Pertama, mengenai
wali hakim bagi calon mempelai pengantin yang tidak mempunyai orang tua atau
wali nasab. Wali hakim ini juga sekaligus mengakomodir model adat matrilineal
Minangkabau yang mengambil nasab dari pihak ibu. Bahwa Waliyyul Amri (presiden)
dan perangkatnya ke bawah sah secara agama untuk menunjuk wali hakim dalam
pernikahan yang merupakan sebuah akad suci agama Islam.
Kedua, adalah soal
penetapan awal bulan dalam sistem penanggalan berdasarkan Bulan (Qamariyah),
terutama di tiga bulan penting dalam Ibadah umat Islam, yakni Ramadhan, Syawal
dan Dzulhijjah. Para ulama menyerahkan kedaulatan penetapan awal bulan kepada
pemerintah Indonesia yang sah dan NU hanya mempunyai hak ikhbar atau pengumuman
hasil sidang itsbat kepada umat Islam.
Demikianlah.
Keputusan menganai waliyyul amri ad-dlaruri bis syaukah ini juga sekaligus
merupakan dukungan kepada pemerintah dalam menghalau gerakan subversi (bughot)
yang terjadi ketika itu. []
(A. Khoirul Anam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar