Jumat, 09 Juni 2017

BamSoet: Persekusi dalam Negara Hukum



Persekusi dalam Negara Hukum
Oleh: Bambang Soesatyo

PERSEKUSI harus dilihat sebagai tindakan masyarakat sipil meruntuhkan kekuatan dan wibawa negara di hadapan para korban. Maka, negara sekali-kali tidak boleh menoleransi aksi-aksi persekusi. Siapa pun pelakunya dan sebesar apa pun kekuatan yang mendukungnya, negara wajib merespons aksi persekusi dengan sikap dan tindakan yang tegas, pun lugas.

Akan terbangun persepsi negatif di benak publik jika aksi-aksi persekusi tidak segera direspons. Pertama, negara akan diasumsikan lemah dan kehilangan wibawa, karena ada orang atau sekumpulan warga sipil bisa bertindak semena-mena. Para korban akan merasa tidak terlindungi oleh negara.  Padahal, sebagai negara hukum, negara menggenggam kewenangan mutlak untuk mewujudkan keamanan, ketertiban umum, dan memberi perlindungan maksimal kepada setiap warga negara.

Kedua, masyarakat  juga akan berasumsi bahwa di negara ini tidak ada kepastian hukum. Setiap masalah bisa diselesaikan oleh para pihak yang bersengketa menurut cara dan pilihan tindakan masing-masing, tanpa harus memedulikan hukum formal maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kalau sudah begitu, publik yang awam hukum pun akan berpendapat bahwa klaim Indonesia sebagai negara hukum tak lebih dari pepesan kosong.

Ketiga, citra semua institusi dan instrumen penegak hukum akan buruk di mata masyarakat. Tak hanya bercitra buruk, tetapi masyarakat juga akan menilai institusi penegak hukum lemah karena tidak mampu melindungi dan mengayomi masyarakat. Tidak mampu menangkal tindakan semena-mena yang dilakukan oknum atau sekumpulan orang. Ada institusi penegak hukum, tetapi penegakan hukum tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Rasa keadilan masyarakat akan tersakiti karena hakikat supremasi hukum tidak hadir dalam wujud nyata.

Sangat mudah dimengerti bahwa menoleransi aksi-aksi persekusi, sekecil apa skala kasusnya, tidak hanya menyakiti para korban, tetapi pada gilirannya bisa menimbulkan kerusakan besar. Pembiaran atas aksi-aksi persekusi akan merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum material dan hukum formal akan kehilangan fungsi dan kekuatannya, karena kuasa untuk menetapkan sebuah kebenaran dan kesalahan, serta kuasa untuk menjatuhkan hukuman, ada dalam genggaman orang atau kumpulan warga yang bebas melancarkan aksi-aksi persekusi. 

Sebagai negara hukum, Indonesia harus konsisten. Konsistensi negara hukum harus ditunjukkan dengan tidak menoleransi aksi persekusi. Bukan kepada siapa-siapa, tetapi konsistensi itu harus ditunjukkan dan dibuktikan kepada segenap elemen rakyat Indonesia. Negara harus tampil dan bertindak all out mengeliminasi aksi-aksi persekusi. Tidak boleh ada toleransi sekecil apa pun bagi orang atau sekumpulan orang yang nyata-nyata melakukan aksi persekusi. Sebab, memberi toleransi bagi pelanggar hukum akan melahirkan preseden.

Untuk merespons aksi persekusi, publik tentu akan berharap kepada Polri serta instrumen penegak hukum lain yang diberi wewenang menjaga dan memelihara ketertiban umum pada lingkungan pemukiman. Namun, penindakan terhadap pelaku persekusi tentu menjadi wewenang polisi. Kelambanan pada aspek penindakan terhadap pelaku persekusi inilah yang belakangan banyak dikeluhkan masyarakat. Selain itu, dalam beberapa bulan terakhir ini ada gejala maraknya aksi persekusi, tetapi tidak terdeteksi oleh Polri dan instansi penegak hukum lainnya.

Kasus persekusi yang terungkap belakangan ini lebih karena inisiatif masyarakat memanfaatkan media sosial.

Kalaupun ada kasus persekusi yang dilaporkan kepada pihak berwajib oleh korban, penanganannya tidak menyelesaikan masalah. Seorang dokter yang menjadi korban aksi persekusi merasakan betul keawaman polisi menangani kasusnya. Dia sampai harus mengungsi guna menghindari intimidasi dari para pelaku persekusi.

Kecenderungan ini sudah barang tentu mendorong Polri untuk meningkatkan kemampuan mendeteksi dan menindak pelaku persekusi. Oleh karena aksi persekusi diduga terjadi di berbagai daerah, kemampuan atau kompetensi jajaran kepolisian daerah pun harus ditingkatkan. Polisi harus sigap agar para korban merasakan kehadiran negara dan penegak hukum untuk menyelesaikan persoalan secara proporsional.

Persuasi

Aksi persekusi menjadi sorotan masyarakat setelah terungkapnya pengalaman buruk yang dialami Fiera Lovita, seorang dokter di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Solok, Sumatera Barat, dan seorang remaja berusia 15 tahun berinisial M di kawasan Cipinang, Jakarta Timur. Keduanya dicari, disergap, dan  diintimidasi berhari-hari oleh sekelompok orang. Kendati masalahnya sudah dilaporkan ke pihak kepolisian setempat, Fiera Lovita terus saja diteror. Tak tahan, Fiera pun keluar dari Kota Solok menuju Jakarta. Sementara remaja M beserta keluarganya harus dievakuasi oleh polisi ke tempat lain guna menghindari intimidasi lanjutan.

Publik prihatin dan bersimpati kepada keduanya. Namun, terungkapnya dua kasus ini telah menyadarkan semua pihak bahwa aksi persekusi sedang marak. Menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), ada indikasi bahwa persekusi dilakukan secara sistematis karena terjadi di beberapa wilayah dan dalam jangka waktu yang bersamaan. Dan, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat bahwa setidaknya ada 59 kasus persekusi yang terjadi sejak Januari hingga Mei 2017. Korban rata-rata mengalami penderitaan fisik maupun psikis.

Karena itu, untuk kasus persekusi yang perkaranya sudah dilaporkan dan sedang ditangani, Polri harus menindak tegas para pelakunya. Tindakan tegas dan lugas sangat diperlukan untuk menumbuhkan efek jera. Selain itu, tindakan tegas dari Polri juga bertujuan memberi bukti kepada publik bahwa Polri mampu mendeteksi dan mengungkap kasus pidana persekusi. Dengan bertindak tegas, Polri secara tidak langsung memberi pesan kepada masyarakat luas bahwa siapa pun tidak boleh bertindak semena-mena, apalagi bertindak main hakim sendiri.

Publik sudah merespons maraknya aksi persekusi, antara lain, ditandai dengan langkah Koalisi Masyarakat Sipil Antipersekusi yang membuka hotline Crisis Center. Polri diharapkan melangkah lebih maju. Bagaimanapun, pelaku aksi persekusi sudah merampas wewenang polisi dalam menangani sebuah persoalan. Pelaku persekusi langsung menetapkan seseorang bersalah, menjatuhkan hukuman, bahkan mengintimidasi.

Bukan kali ini saja wewenang Polri dirongrong oleh sekumpulan orang. Aksi sweeping oleh sekumpulan warga sipil terhadap kegiatan publik menjadi bentuk lain dari rongrongan tersebut. Di tahun-tahun terdahulu, aksi sweeping itu sering berujung pada tindakan perusakan atau penganiayaan.  Menjelang akhir Mei 2017, Polri kembali mengingatkan kepada semua elemen masyarakat untuk tidak melakukan sweeping.

Baik aksi persekusi maupun sweeping oleh warga sipil sudah merusak citra Indonesia sebagai negara hukum dan juga merongrong Polri. Dalam kasus sweeping, Polri memang telah melakukan sejumlah penindakan. Namun, aksi sweeping sesekali masih sering terjadi. Artinya, penindakan belum menuntaskan masalah. Maka, Polri juga perlu mengedepankan langkah persuasi. Apalagi, baik aksi persekusi maupun sweeping cenderung dilakukan oleh elemen masyarakat yang relatif mudah diidentifikasi. Para pelaku umumnya anggota dari sebuah organisasi yang sama. 

Daripada terus menerus melakukan penindakan, jauh lebih ideal jika Polri melakukan pendekatan kepada pimpinan organisasi bersangkutan dan mendorong mereka lebih bersungguh-sungguh dalam mengendalikan anggota organisasinya. Pimpinan dan anggota organisasi bersangkutan harus taat hukum serta peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara ini. Pimpinan organisasi itu tidak boleh lagi membiarkan anggotanya melakukan tindakan semena-mena dalam bentuk aksi persekusi atau sweeping.

Meringkus Anak-Anak dengan Kelakuan Serius

Ada gelombang ketakutan dan deru kerisauan ketika tersiar kabar geng motor kembali melancarkan aksi brutalnya. Apalagi ketika sebuah video yang mempertontonkan sekumpulan lelaki menebas kaki seorang pengguna motor yang melintas di kawasan Jakarta Selatan. Semakin merusak ketenangan, karena dalam sekian banyak operasi penangkapan geng motor, para anggotanya ternyata adalah sekumpulan individu yang masih berada pada rentang usia kanak-kanak. Undang-Undang Perlindungan Anak membuat batasan usia anak adalah sejak dari dalam kandungan hingga sebelum delapan belas tahun.

Dalam satu pekan terakhir, juga terjadi kehebohan akibat seorang anak lelaki diwartakan menyebar gambar dan tulisan tak pantas terhadap kalangan tertentu di akun media sosialnya. Selanjutnya, terjelaskan lewat Brutalization Effect Theory, penyebarluasan ujaran kebencian itu direspons dengan serangan balasan dengan bobot berlipat ganda terhadap anak tersebut—vigilantisme yang disesalkan dan harus diusut kepolisian.

Keterlibatan anak-anak dalam geng motor serta perbuatan salah anak-anak berupa penyebaran ujaran kebencian merupakan manifestasi tingginya perilaku berisiko dan rendahnya kendali impuls di kelompok usia remaja. Lebih-lebih media sosial, dunia tak bertuan ini menjadi tempat ”ideal” bagi anak-anak dan remaja ketika ingin membuncahkan isi hati mereka, termasuk rasa benci dan permusuhan. Kuatnya tendensi menampilkan perilaku berisiko juga disebabkan setelah menulis kalimat-kalimat agresif frontal di akun media sosial, tidak ada konsekuensi nyata yang seketika terlihat di depan mata oleh remaja tersebut.

Geng motor dan posting mengandung ujaran kebencian di media sosial seketika memunculkan simpulan bahwa kian lama tabiat anak-anak kian keras, kian buas. Mereka menjelma sebagai pemarah, dengan sasaran ke segala arah. Mereka diamuk bias sehingga pukul rata membenci semua yang memiliki ciri dan identitas tertentu. Anak-anak tidak lagi bisa mengendalikan perilaku, baik perbuatan maupun tulisan mereka. Pertanyaannya, benarkah sedemikian buruk tabiat anak-anak kita?

Data global mencatat bahwa rerata usia individu melakukan kejahatan pertama kali memang semakin belia. Tanpa mengesampingkan realitas global tersebut, untuk memastikan tepat atau kelirunya anggapan tentang meningginya frekuensi dan intensitas tingkah laku kekerasan anak-anak zaman sekarang di Tanah Air, perlu ditakar sejumlah hal. Pertama, perbandingan jumlah anak-anak yang melakukan kejahatan antara masa kini dan masa silam.

Kenaikan jumlah secara signifikan akan memperkuat anggapan di atas. Kedua, modus atau cara kejahatan yang digunakan oleh anak-anak. Kejahatan yang dilancarkan dengan mengandalkan perilaku kekerasan juga memperkokoh anggapan tersebut. Ketiga, perbandingan antara kejahatan yang dilakukan oleh kelompok usia dewasa dan kelompok usia kanak-kanak. Perbandingan antarkelompok umur inilah yang pada akhirnya akan kian memantapkan simpulan tentang lebih seriusnya tingkat kebahayaan anak-anak masa kini. Ini cermatan secara kuantitatif yang perlu dilakukan.

Secara kualitatif, jawabannya sangat mungkin sudah bisa diperoleh sejak sekarang. Tidak mungkin menilai sepele anak-anak yang sudah dengan entengnya mengayun parang dan celurit ke tubuh orang yang ada di dekatnya. Apalagi itu dilakukan tanpa motivasi yang jelas.

Begitu pula spesifik terkait anak yang melakukan serangan verbal di media sosial. Sebagai acuan pembanding, adalah Panduan Penuntutan Kasus-kasus yang Menyertakan Komunikasi yang Dikirim Melalui Media Sosial (Guidelines on Prosecuting Cases Involving Communications Sent Via Social Media) yang digunakan oleh The Crown Prosecution Service. Panduan tersebut mencantumkan kejahatan kebencian (hate crime) yang dilakukan melalui media sosial sebagai jenis kejahatan yang diperlakukan secara serius.

Data empiris, sebagaimana penelitian Jubilee Centre for Character and Virtues di University of Birmingham (2016), juga memperkuat argumentasi bahwa ujaran kebencian melalui media sosial sudah sepantasnya diposisikan sebagai tindak kejahatan serius. Lebih dari separuh orang tua yang menjadi subyek penelitian itu menyatakan bahwa media sosial memperburuk ketimbang mengubah karakter negatif anak-anak mereka. Amarah dan permusuhan merupakan karakter yang paling banyak disebut. Disusul antara lain arogansi, ketidakpedulian, dan kebencian.

Apabila kenyataannya anak-anak sekarang lebih dari sekadar ”nakal”, maka dibutuhkan langkah terpadu dan komprehensif guna menyikapi anggota masyarakat berusia kanak-kanak yang kian berisiko terlibat dalam tindak kejahatan. Langkah dimaksud mencakup preemtif, preventif, dan represif. Khusus di penindakan represif, boleh jadi sudah tiba waktunya untuk dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) sebagai acuan hukum untuk menangani anak-anak yang melakukan perbuatan pidana.

UU SPPA, sebagaimana juvenile justice system di negara-negara lain, disusun dengan latar keprihatinan bahwa anak-anak yang melakukan tindak pidana pada praktek hukum masa lalu diperlakukan secara ngawur laiknya pelaku dewasa. Dengan latar semacam itu, mengemuka sejumlah terma semisal keadilan restoratif dan diversi. Intinya, UU SPPA merupakan antitesis terhadap filosofi retribusi bagi upaya perbaikan watak dan tindak-tanduk anak. Dalam tafsiran bebasnya, UU SPPA memperlakukan anak-anak pelaku pidana secara lebih lunak ketimbang perlakuan yang dijatuhkan ke para penjahat dewasa.

Persoalannya, kengerian yang ditimbulkan oleh geng motor dan kegemparan yang mengemuka dari postings kebencian—keduanya dilakukan anak-anak—tampaknya tidak lagi bisa diredam dengan UU SPPA sebagai peranti represif. Bahkan ada kesan buruk terkait interpretasi atas UU SPPA, bahwa selagi masih ada legislasi yang lunak tersebut, anak-anak merasa lebih ”aman” dan leluasa saban kali akan berbuat jahat.

Atas dasar itu, sekali lagi jika memang anak-anak masa kini dinilai lebih ganas, UU SPPA perlu dikaji ulang dengan penekanan pada jenis-jenis kejahatan tertentu yang membuat pelakunya (anak-anak) diproses laiknya pelaku dewasa. Gagasan ini memang kontras dengan latar disusunnya UU SPPA, sebagaimana tertulis di alinea terdahulu. Namun demi terciptanya rasa aman masyarakat tanpa pandang bulu, pesan lebih tegas sudah sepatutnya dikirim ke seluruh anak-anak beserta orang tua mereka.

Khusus terkait anak-anak yang melakukan perbuatan tak semegah di media sosial, pada banyak kasus, edukasi bagi pelaku memang dipandang sudah memadai. Untuk pelaku dengan tindakan yang tergolong tidak serius, anak diajari tentang bagaimana bermedia sosial secara cerdas, beretika, dan bertanggung jawab.

Beda kisah jika tindakan yang dilakukan anak di media sosial sudah termasuk dalam kategori serius. Dibutuhkan perlakuan lebih berat agar pelaku berusia kanak-kanak itu tidak salah kaprah memandang dirinya sendiri sebagai individu yang mendapat dispensasi atau bahkan keistimewaan hukum. Penanganan dengan bobot serius juga mendesak dilakukan agar tidak tercipta preseden bagi anak-anak lain untuk meniru perbuatan serupa.

Sebagaimana masyarakat merasa terancam oleh kaderisasi pelaku teror ke kalangan anak-anak, sungguh masuk akal apabila publik juga merasa terganggu manakala pada diri anak-anak telah tumbuh fobia terhadap kalangan tertentu dan memuntahkannya di media sosial.

Sekali lagi, penanganan lintas dimensi adalah solusi yang dibutuhkan. Namun, spesifik di ranah pidana terhadap anak-anak dengan rupa-rupa perbuatan serius itu, kapankah hukum akan tidak toleh kanan-kiri dalam mempertontonkan supremasinya? Allahu a’lam. []

KORAN SINDO, 7 Juni 2017
Bambang Soesatyo | Ketua Komisi III DPR Fraksi Partai Golkar/Presidium KAHMI 2012-2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar