Puasa Umat Terdahulu
Puasa telah dilakukan
oleh umat-umat terdahulu. Hal ini seperti dinyatakan dalam Al-Qur’an, kama
kutiba 'alal ladzina min qablikum (Sebagaimana diwajibkan atas (umat-umat)
yang sebelum kamu). Dari segi ajaran agama, para ulama menyatakan bahwa semua
agama samawi, sama dalam prinsip-prinsip pokok akidah, syariat,
serta akhlaknya.
Ini berarti bahwa
semua agama samawi mengajarkan keesaan Allah, kenabian, dan keniscayaan hari
kemudian. Shalat, puasa, zakat, dan berkunjung ke tempat tertentu sebagai
pendekatan kepada Allah adalah prinsip-prinsip syariat yang dikenal dalam
agama-agama samawi. Tentu saja cara dan kaifiatnya dapat berbeda, namun esensi
dan tujuannya sama.
Kita dapat
mempertanyakan mengapa puasa menjadi kewajiban bagi umat Islam dan umat-umat
terdahulu?
Manusia memiliki
kebebasan bertindak memilih dan memilah aktivitasnya, termasuk dalam hal ini,
makan, minum, dan berhubungan seks.
Binatang—khususnya
binatang-binatang tertentu--tidak demikian. Nalurinya telah mengatur
ketiga kebutuhan pokok itu, sehingga--misalnya--ada waktu atau musim
berhubungan seks bagi mereka. Itulah hikmah Ilahi demi memelihara kelangsungan
hidup binatang yang bersangkutan, dan atau menghindarkannya dari kebinasaan.
Manusia sekali lagi
tidak demikian. Kebebasan yang dimilikinya bila tidak terkendalikan dapat
menghambat pelaksanaan fungsi dan peranan yang harus diembannya. Kenyataan
menunjukkan bahwa orang-orang yang memenuhi syahwat perutnya melebihi kadar
yang diperlukan, bukan saja menjadikannya tidak lagi menikmati makanan atau
minuman itu, tetapi juga menyita aktivitas lainnya kalau enggan berkata
menjadikannya lesu sepanjang hari.
Syahwat seksual juga
demikian. Semakin dipenuhi semakin haus bagaikan penyakit eksim semakin
digaruk semakin nyaman dan menuntut, tetapi tanpa disadari menimbulkan borok.
Potensi dan daya
manusia--betapa pun besarnya--memiliki keterbatasan, sehingga apabila
aktivitasnya telah digunakan secara berlebihan ke arah tertentu --arah
pemenuhan kebutuhan faali misalnya—maka arah yang lain, --mental
spiritual--akan terabaikan. Nah, di sinilah diperlukannya pengendalian.
Sebagaimana
disinggung di atas, esensi puasa adalah menahan atau mengendalikan diri.
Pengendalian ini diperlukan oleh manusia, baik secara individu maupun kelompok.
Latihan dan pengendalian diri itulah esensi puasa.
Puasa dengan demikian
dibutuhkan oleh semua manusia, kaya atau miskin, pandai atau bodoh, untuk
kepentingan pribadi atau masyarakat. Tidak heran jika puasa telah dikenal oleh
umat-umat sebelum umat Islam, sebagaimana diinformasikan oleh Al-Qur’an di
atas.
Dari penjelasan ini,
kita dapat melangkah untuk menemukan salah satu jawaban tentang rahasia
pemilihan bentuk redaksi pasif dalam menetapkan kewajiban puasa. Kutiba
'alaikumush shiyama (diwajibkan atas kamu puasa), tidak menyebut siapa
yang mewajibkannya?
Bisa saja dikatakan
bahwa pemilihan bentuk redaksi tersebut disebabkan karena yang mewajibkannya
sedemikian jelas dalam hal ini adalah Allah Swt. Tetapi boleh jadi juga untuk
mengisyaratkan bahwa seandainya pun bukan Allah yang mewajibkan puasa, maka
manusia yang menyadari manfaat puasa, dan akan mewajibkannya atas dirinya
sendiri.
Terbukti motivasi
berpuasa yang selama ini dilakukan manusia, bukan semata-mata atas dorongan
ajaran agama. Misalnya demi kesehatan, atau kecantikan tubuh, dan bukankah pula
kepentingan pengendalian diri disadari oleh setiap makhluk yang berakal?
Di sisi lain bukankah
Nabi Saw bersabda, "Seandainya umatku mengetahui (semua keistimewaan)
yang dikandung oleh Ramadhan, niscaya mereka mengharap seluruh bulan menjadi
Ramadhan." ***
Disunting dari M.
Quraish Shihab dalam buku karyanya “Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu'i atas
Pelbagai Persoalan Umat” (Mizan, 2000).
[]
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar