Komitmen Kebangsaan
Rakyat Indonesia
Bangsa Indonesia
dijajah tak kurang dari 350 tahun atau tiga setengah abad. Jika negara ini
resmi mendeklarasikan kemerdekaan pada 1945, itu artinya bangsa ini dijajah
sejak sekitar tahun 1595 atau hampir sampai di pucuk abad ke-16.
Pada tahun tersebut,
tak terhitung sejumlah peristiwa sejarah dari rakyat pribumi yang berupaya
lepas dari cengkeraman penjajah hingga klimaksnya ketika terjadi pergerakan
nasional di antara ulama, santri, dan para tokoh nasional. Langkah perlawanan
yang dilakukan rakyat paling nampak ketika Wali Songo mendirikan sejumlah forum
pengajian di sebuah tempat yang pada saat ini disebut pesantren.
Bahkan lembaga
pendidikan klasik dan orisinil khas Indonesia ini menjadi simbol perlawanan
ketidakperikamanusiaan penjajah dengan menghadirkan semangat cinta tanah air
(baca: kesalehan sosial) yang dibalut kencang dengan kasalehan spiritual.
Perjuangan para wali dilanjutkan oleh para kiai pesantren yang tidak pernah
berhenti melakukan pergerakan cantik melawan penjajah dengan menyemayamkan
spirit nasionalisme dan agama.
Baik tokoh pergerakan
nasional maupun para ulama Nusantara kala itu menjadi titik tolak rakyat
pribumi dalam melangkahkan kaki dan hati. Bahkan sejumlah tokoh nasional
seperti Ir Soekarno dan Panglima Besar Soedirman pun menjadikan para ulama
pesantren seperti KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) sebagai tempat meminta
petuah bagi perjuangannya.
Dalam konteks
perjuangan melawan penjajah, bahkan KH Hasyim Asy’ari sendiri mengeluarkan
imbauan dan fatwa haram ketika ada santrinya yang memakai baju seperti celana,
jas, dan dasi karena menyerupai penjajah. Langkah ini bukan hanya menumbuhkan
semangat perlawanan rakyat, tetapi juga menjaga spirit nasionalisme dalam
koridor nilai-nilai agama yang berperikemanusiaan.
Simbol-simbol
perlawanan lain dari rakyat pribumi terus dilakukan walaupun kerap berakhir
dengan nyawa sebagai taruhan. Mereka bukan hanya patuh kepada para ulama,
tetapi juga berkeinginan keras lepas dari kungkungan kolonialisme. Meskipun
secara temporer kemerdekaan belum bisa diraih secara nasional, namun langkah
ini menjadi pondasi bagi kemerdekaan hati menuju cita-cita kemerdekaan secara global.
Melihat perkembangan
strategi melawan penjajah yang harus diubah, KH Abdul Wahid Hasyim (1914-1953)
anak KH Hasyim Asy’ari melakukan langkah kompromi dengan penjajah. Bahasa
Belanda atau asing yang turut dilarang diajarkan di pesantren sebagai salah
satu simbol perlawanan kolonial pun dia pelajari hingga mahir. Langkah ini
dilakukan agar strategi diplomatik Gus Wahid berjalan lancar.
Bahasa asing menurut
Gus Wahid juga penting agar rakyat tidak lagi dibodohi oleh penjajah karena
tidak bisa berbahasa Belanda atau Bahasa Jepang. Bukan hanya perubahan strategi
dari sisi bahasa, tetapi juga pakaian yang dulu pernah dilarang keras oleh
ayahnya. Gus Wahid justru sering memakai celana, jas, lengkap dengan dasi.
Sikap terbuka ini menurutnya dapat memuluskan langkah diplomatik pembebasan
rakyat karena penjajah secara simbolik akan menerima diplomasi Gus Wahid.
Bukan hanya
perlawanan secara simbolik, tetapi rakyat juga melakukan perlawanan dari sisi
aktivitas ekonomi kepada kolonialisme. Dalam sejarahnya, bangsa Indonesia
termasuk bangsa pekerja keras. Di tengah kondisi terjajah tentu tidak mudah
melakukan sejumlah aktivitas yang berkenaan dengan penghidupan sehari-hari
seperti berdagang, bertani, nelayan, dan usaha-usaha lainnya. Namun, para
leluhur kita telah membuktikan bahwa dalam kondisi terjajah pun, mereka mampu
meletakkan semangat juang tinggi. Semangat juang inilah yang pada akhirnya
membawa bangsa Indonesia merengkuh kemerdekaannya.
Diriwayatkan oleh KH
Saifuddin Zuhri (1919-1986) dalam buku karyanya Berangkat dari Pesantren,
rakyat pribumi merupakan orang-orang pekerja keras sehingga hampir tidak ada
pengangguran. Jika tidak petani – umumnya kecil – mereka juga pedagang –
meskipun juga kecil. Banyak perusahaan atau industri kecil tumbuh secara berdikari
tanpa bantuan kredit dari pemerintah. Karena rakyat memandang, setiap bantuan
kredit dari pemerintah selain mengikat juga disalurkan melalui bank kolonial
yang dicap riba dan haram.
Dari uraian singkat
di atas, perlawanan rakyat terhadap penjajah secara simbolik dan praktik
tersebut membuktikan komitmen kebangsaan yang tinggi dibalut ikhtiar dan
perjuangan tiada henti. Warisan berharga tersebut harus dijaga oleh bangsa
Indonesia kini dengan terus berupaya menguatkan komitmen kebangsaan menuju
Indonesia yang damai, adil, makmur, dan sejahtera. Seluruh elemen bangsa mesti
bergandeng bersama untuk meneruskan perjuangan para leluhur dan founding
fathers (pendiri bangsa). Semoga! []
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar