Membendung Khilafah,
Menutup Keran Radikalisme
Paham dan tindakan
ekstrem yang berakar dari radikalisme masih gencar dihembuskan oleh sejumlah
kelompok yang tidak menginginkan Indonesia hidup dalam harmoni kemajemukan. Hal
ini tentu harus menjadi perhatian serius dari berbagai elemen bangsa untuk
menutup derasnya radikaslisme yang memanfaatkan keran demokrasi di Indonesia.
Dalam konstitusi,
seluruh bangsa Indonesia memang bebas berkumpul dan berserikat asal mempunyai
pijakan dasar dan visi yang sejalan dengan negara, yakni memegang teguh
Pancasila, menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, menjunjung Bhinneka
Tunggal Ika, dan menaati UUD 1945.
Sekilas menjadi
pemahaman umum dan sederhana, jika ada sebuah perkumpulan atau organisasi yang
menolak konsensus bangsa Indonesia, Pancasila serta tidak menginginkan sistem
demokrasi yang selama ini berjalan, maka sudah seharusnya pemerintah bertindak
tegas untuk men-delete organisasi tersebut dari negara multietnis ini.
Terkait dengan
radikslisme ini, Majalah Risalah Nahdlatul Ulama (NU) mengupas secara mendalam
tingkat eskalasinya selama ini, termasuk pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI) pada 8 Mei 2017 oleh pemerintah Indonesia sebagai organisasi terlarang
karena menolak Pancasila dan pilar-pilar penegak negara dengan mengusung
khilafah dan daulah Islamiyah.
Bangsa Indonesia
mempersilakan HTI berjuang di negara lain sebab sistem khilafah tidak cocok di
Indonesia serta tidak sejalan dengan cita-cita para pendiri bangsa ini. Lalu,
apakah HTI pernah berjuang mendirikan bangsa yang damai dan plural ini sehingga
dengan seenaknya ingin mengganti dasar dan sendi-sendi kehidupan bernegara?
Tentu bangsa yang didirikan di atas kemajemukan dan menghargai keberagaman
dalam kebersamaan ini menolak langkah HTI sebagai bagian dari upaya makar.
Saat ini, paham yang
dibawa HTI dan sejumlah organisasi Islam berpaham ekstrem telah banyak merasuk
ke dalam pemikiran para generasi muda, utamanya di sekolah dan perguruan tinggi
umum. Beberapa waktu lalu, sejumlah mahasiswa mendeklarasikan khilafah di
Institut Pertanian Bogor (IPB). Bahkan menurut keterangan salah satu mahasiswa
Pascasarjana IPB, doktrin tersebut sudah berlangsung lama sehingga bisa
dipastikan, indoktrinasi telah merasuk dan meracuni generasi muda dari
identitas kebangsaannya.
Selain persoalan
ekonomi, pendidikan, teknologi, kesehatan, dan lain-lain, persoalan paham
keagamaan di negara demokrasi menjadi tantangan Indonesia ke depannya. Apalagi
propaganda kelompok-kelompok radikal telah memanfaatkan segala bidang terebut
untuk tujuan indoktrinasi mereka.
Misal, perkara
kesenjangan ekonomi yang menganga lebar di Indonesia. Bahkan saat ini ekonomi
hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Apalagi data terkahir yang dirilis
Forbes bahwa orang kaya di Indonesia didominasi oleh non-muslim. Tentu hal ini
menjadi pintu masuk bagi gerakan-gerakan pengusung khilafah bahwa sistem
syariat Islamlah yang mampu menjadi solusinya. Seolah-olah, persoalan
kesenjangan ekonomi akan usai jika sistem diganti, bukan menyediakan solusi
produktif bagi langkah-langkah pemberdayaan ekonomi dari berbagai lini sumber
daya. Sesat pikir bukan?
Lalu secara
teknologi, mereka memanfaatkan kemajuan dan kecanggihan teknologi informasi
untuk menyebarkan arus propganda radikal mereka. Para simpatisan kelompok
radikal akan tergerak jika konten-konten yang mereka sebarkan berbau sikap
aniaya dari pemerintah. Ya, selama ini memang mereka memposisikan diri sebagai
kelompok teraniaya dan mendapat perlakuan tidak adil dari pemerintah sehingga
upaya makar terus digulirkan melalui narasi yang menjadi visi sistem khilafah.
Belum lagi pergerakan
di bidang pendidikan. Bidang ini yang menjadi sasaran empuk bagi mereka untuk
menebarkan aroma-aroma kebencian, bahkan di sekolah-sekolah sudah pada taraf
sesat dan haram hormat pada bendera merah putih, nasionalisme tidak ada
dalilnya, Pancasila thogut perlu diperangi, apatis terhadap upacara bendera dan
lagu Indonesia Raya, serta menolak segala upaya yang ingin memperkuat karakter
kebangsaan seperti Pramuka, dan lain-lain.
NU sebagai salah satu
perangkat pendiri bangsa ini menjadi aktor utama penjaga keutuhan bangsa dan
negara. Para ulama dan santri serta rakyat Indonesia tidak akan tinggal diam
ketiak potensi khilafah dan arus radikalisme sejenis ingin mengoyak eksistensi
NKRI. Maka dari itu, langkah pembubaran HTI oleh pemerintah mendapat dukungan
NU dan umat Islam serta bangsa Indonesia secara keseluruhan. Hal ini sebagai
komitmen bangsa bahwa Indonesia didirikan di atas kemajemukan. Meminjam ‘dawuh’
Presiden RI Ke-4 KH Abdurrahman Wahid (1940-2009), “Semakin kita berbeda,
semakin kita tahu titik-titik persatuan kita”.
Sebab itu, Majalah
Risalah NU terbitan Mei-Juni ini perlu menegaskan kembali bahwa arus
radikalisme harus dibendung melalui gerakan-gerakan kelompok radikal berbungkus
‘dakwah’ padahal gerakan politik. Selain mengupas persoalan tersebut, majalah
setebal 69 halaman ini juga seperti biasa menyajikan berbagai informasi dan
tulisan-tulisan bergizi. Selama membaca!
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar