Debat KH Wahab
Chasbullah soal Perjanjian Renville
Dalam sejarah
pergerakan nasional, sejumlah perjanjian dengan pihak kolonial telah ditempuh oleh
Indonesia untuk mewujudkan kedaulatan bangsa dan negara. Namun dalam
praktiknya, sejumlah perjanjian tersebut lebih banyak menguntungkan pihak
kolonial Belanda.
Seperti Perjanjian
Renville yang ditandatangani pada 17 Januari 1948 antara Indonesia dan pihak
Belanda di atas Kapal Renville Amerika Serikat. Salah satu isinya ialah,
pembentukan dengan segera Republik Indonesia Serikat atau RIS.
Poin-poin dalam
Perjanjian Renville dinilai lebih buruk ketimbang Perjanjian Linggarjati yang
dilakukan sebelumnya, 11 November 1946 di Jawa Barat. Hasil perundingan
Renville ditentang oleh sebagian besar rakyat Indonesia yang tergabung dalam
“Benteng Republik Indonesia”, terutama oleh golongan Islam. (Saifuddin Zuhri,
1979: 452)
Singkatnya, hasil
perundingan Renville ini menjadi sebab jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin.
Kabinet ini hanya berumur 6 bulan dan digantikan oleh Kabinet Hatta
(Presidentil) yang dilantik oleh Presiden Soekarno pada 29 Januari 1948. Pada
Kabinet Hatta, Bung Hatta selaku pembentuk kabinet ingin merangkul berbagai
golongan, termasuk golongan Islam yang getol menolak Perjanjian Renville.
Kabinet Hatta yang
salah satu program kabinetnya ialah melaksanakan hasil Perundingan Renville,
menyebabkan umat Islam yang tergabung dalam Partai Masyumi menolak untuk
bergabung. Namun demikian, Masyumi sebagai partai besar tetap mengadakan rapat
untuk menentukan sikap persetujuan duduk tidaknya DPP Masyumi dalam Kabinet
yang sedang disusun Bung Hatta.
Dalam rapat tersebut,
hadir lengkap Anggota DPP Masyumi di antaranya, Dr Sukiman, Mr. Kasman
Singodimedjo, Dr Abu Hanifah, Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr. Muhamad Roem,
M. Natsir, KH A. Wahid Hasyim, KH Masykur, Zainul Arifin, Farid Ma’ruf, KH
Abdulkahar Muzzakir, Mr. Yusuf Wibisono, Prawoto mangkusasmito (Sekjen), dan
lain-lain.
Dari unsur Majelis
Syuro, hadir KH A. Wahab Chasbullah (yang telah dipilih menjadi ketua setelah
Hadlatarussyekh Hasyim Asy’ari wafat), KH Ki Bagus Hadikusumo, KH Raden Hajid,
KH Imam Ghozali, A. Hasan, dan lain-lain.
Malam pertama, rapat
dipenuhi perdebatan yang cukup sengit sehingga belum bisa mengambil keputusan.
Lalu, Sidang DPP Masyumi tersebut dilanjutkan di malam kedua. Di hari kedua
sidang tersebut, Kiai Wahab mengusulkan untuk menerima tawaran Bung Hatta.
“Saya usulkan agar kita
menerima tawaran Bung Hatta,” ujar Kiai Wahab dengan suara cukup lantang. “Tapi
orang-orang kita yang duduk dalam kabinet itu atas nama pribadi sebagai warga
negara yang loyal kepada negara. Jadi yang duduk di kabinet itu bukan Masyumi
sebagai partai yang tegas-tegas menentang Persetujuan Renville dan Persetujuan
Linggarjati!”
Pemikiran Kiai Wahab
tersebut mendapat sambutan positif dari pengurus Masyumi. Sebab menurutnya,
meskipun secara organisasi menolak Perundingan Renville, tetapi sebagai warga
negara tentu tidak bijak ketika negara memanggil untuk melaksanakan tugas
kenegaraan namun menolaknya. Tetapi, usulan Kiai Wahab mendapat respon
sebaliknya dari Kiai Raden Hajid.
“Loh, alasannya apa
kita duduk dalam kabinet yang akan melaksanakan Renville padhal sejak semula
kita menolak Renville? Apa ini tidak melakukan perbuatan munkar?” kata Kiai
Raden Hajid tidak kalah lantangnya.
“Kita tidak hendak
melaksanakan perkara munkar, bahkan sebaliknya, kita hendak melenyapkan
munkar,” tutur Kiai Wahab merespon reaksi Kiai Raden Hajid.
Bagi Kiai Wahab, dulu
Nabi Muhammad berupaya mengubah situasi munkar (untuk melenyapkannya) dengan
perbuatan. Dengan duduk di kabinet, terbuka situasi dan kesempatan bagi ulama
untuk melakasanakan misi tersebut. Kiai Wahab justru menilai, ketika hanya duduk
di luar kabinet, ulama hanya bisa teriak-teriak tanpa bisa melakukan apa-apa.
“Mungkin, bahkan dituduh sebagai pengacau,” tegas Kiai Wahab.
“Tetapi kenapa dulu
kita menolak Renville, lalu kini hendak melaksanakannya?” ujar Kiai raden Hajid
kembali mempertanyakan.
“Sejak pertama kita
menentang Persetujuan Renville, sekarang dan seterusnya pun kita tetap
menentangnya. Tapi cara penentangan kita dengan falyughoyyirhu biyadih
dengan perbuatan jika kita bisa duduk dalam kabinet. Sejak semula kita mencegah
orang membakar rumah kita. Setelah rumah terbakar, apakah kita cuma duduk
berpangku tangan?” kata Kiai Wahab merumuskan sebuah qiyas.
Akhirnya, Kiai Raden
Hajid bisa menerima usulan dan pendapat Kiai Wahab dengan menyampaikan agar
kelak anggota DPP Masyumi yang diangkat menjadi menteri di Kabinet Hatta supaya
mengikrarkan janji, tidak cukup hanya berniat dalam hati untuk terus
berkomitmen menolak Perjanjian Renville.
Terkait niat ini,
Kiai Wahab menjelaskan salah satu Hadits Nabi SAW yang menyebutkan, “Ista’inu
‘ala injaahil hawaiji bil kitmaan...” (HR Imam Thabrani dan Baihaqi).
Artinya, mohonlah pertolongan kepada Allah tentang keberhasilan targetmu dengan
jalan merahasiakannya.
Baik Kiai Wahab dan
Kiai Raden Hajid merupakan ulama besar. Usia mereka kala itu hampir sebaya, 60
tahun. Kedua kiai kharimatik yang mempunyai integritas keilmuan agama itu
sama-sama mempunyai sifat tangkas dan cekatan terhadap berbagai persoalan
kebangsaan dan keagamaan.
Adapun isi Perjanjian
Renville yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Pembentukan dengan
segera Republik Indonesia Serikat (RIS).
2. Sebelum RIS
terbentuk, Belanda memegang kedaulatan seluruh Indonesia.
3. Republik Indonesia
merupakan satu negara bagian dari RIS.
4. Akan dibentuk Uni
Indonesia Belanda yang dikepalai oleh Ratu Belanda.
5. Akan diadakan
plebisit (pemungutan suara) untuk menentukan kedudukan politik rakyat Indonesia
dalam RIS dan pemilihan umum untuk membentuk Dewan Konstituante RIS.
Kisah perdebatan ini
disampaikan oleh KH Saifuddin Zuhri dalam buku karyanya "Berangkat dari
Pesantren".
[]
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar