Pemindahan Ibu Kota Negara: Dari Imam Ali, Sukarno, hingga Anies
Baswedan
Oleh: Nadirsyah
Hosen
Ali bin Abi Thalib membuat keputusan besar. Khalifah keempat ini
memindahkan ibu kota negara dari Madinah ke Kufah. Tindakan ini luar biasa
berani karena tidak pernah dilakukan sebelumnya oleh Rasulullah SAW dan ketiga
Khalifah awal, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan. Ini
cara Imam Ali melakukan pemisahan urusan politik dan agama. Apa yang
melatarbelakangi keputusan itu? Mari kita simak penjelasannya.
Khalifah Utsman terbunuh pada 17 Juni tahun 656. Khalifah berusia
79 tahun ini berkuasa selama 12 tahun. Kabarnya enam tahun pertama dilalui
pemerintahannya dengan gemilang. Namun, karena tidak ada pembatasan masa
jabatan, Khalifah Utsman terus berkuasa, meski usianya sudah sepuh dan beliau
tidak lagi sepenuhnya dapat mengontrol negara yang sudah meluas melewati
jazirah Arab.
Singkat cerita, ketidakpuasan meletus dan pemberontak membunuh
Khalifah di rumahnya saat beliau tengah membaca al-Qur’an.
Pemberontak dari Mesir menguasai Madinah selama 5 hari, dan sampai
hari ketiga, jenazah Khalifah Utsman tidak bisa dikuburkan. Akhirnya, jasad
beliau berhasil dikuburkan di tempat yang tidak biasa, bukan di dekat kuburan
Nabi dan dua khalifah sebelumnya. Imam Ali kemudian dibai’at menjadi Khalifah
keempat pada 24 Juni 656 –hari ketujuh setelah wafatnya Utsman, meski Imam Ali
sebelumnya menolak dipilih.
Namun, kemudian muncul suara-suara yang menggugat pemilihan Imam
Ali karena
hanya sedikit sahabat besar yang tersisa di Madinah. Meluasnya kekuasaan Islam membuat para sahabat menyebar ke berbagai wilayah, termasuk Mu’awiyah yang menjadi Gubernur di Damaskus. Mereka merasa suara mereka tidak didengar dan tidak terwakili dalam pemilihan Imam Ali sebagai khalifah.
hanya sedikit sahabat besar yang tersisa di Madinah. Meluasnya kekuasaan Islam membuat para sahabat menyebar ke berbagai wilayah, termasuk Mu’awiyah yang menjadi Gubernur di Damaskus. Mereka merasa suara mereka tidak didengar dan tidak terwakili dalam pemilihan Imam Ali sebagai khalifah.
Dua sahabat Nabi, Thalhah dan Zubair, bergerak ke Mekkah. Istri
Nabi, Siti Aisyah, tengah melakukan umrah di Mekkah ketika Utsman terbunuh.
Mendengar Imam Ali yang terpilih menjadi Khalifah, Siti Aisyah memutuskan
bertahan tinggal di Mekkah dan bersama-sama penduduk Mekkah meminta Khalifah
Ali bin Abi Thalib mengadili para pembunuh Khalifah Utsman.
Khalifah Ali meminta umat untuk cooling down terlebih dahulu.
Keengganan Imam Ali memenuhi tuntutan itu membuat beliau dituduh terlibat di
belakang pemberontakan yang mengakibatkan wafatnya Utsman. Kemudian Thalhah,
Zubair, dan Siti Aisyah bergerak ke Basrah bersama pasukannya untuk
memobilisasi massa melawan Khalifah Ali.
Imam Ali meminta penduduk Madinah bersiap perang. Mereka tidak
segera merespons permintaan Imam Ali. Butuh waktu untuk Ali mengumpulkan
relawan bergerak ke Basrah. Singkat cerita, terjadilah peperangan antara
menantu Nabi, Khalifah Ali bin Abi Thalib, dan istri Nabi, Siti Aisyah. Pasukan
Ali berjumlah 20 ribu dan pasukan Siti Aisyah berjumlah 30 ribu. Dikabarkan
tidak kurang dari 18 ribu umat Islam dari kedua belah pihak terbunuh dalam
perang saudara ini, termasuk Thalhah dan Zubair, dan 3 ribu lainnya terluka.
Selepas perang yang dimenangkan Khalifah Ali, Siti Aisyah diantar
kembali ke Madinah dengan penghormatan dan pengawalan lengkap. Namun, pilihan
untuk Imam Ali hendak ke mana sekarang? Kembali ke Madinah ketika suasana
masih tidak kondusif mengingat pendukung Utsman masih membara dan istri Nabi
Siti Aisyah yang baru saja dikalahkan dalam pertempuran juga akan menetap di
Madinah. Tentu tidak nyaman Khalifah Ali kembali ke Madinah.
Bagaimana kalau ke Damaskus? Tidak mungkin! Mu’awiyah berkuasa di
sana dan sedang mengumpulkan kekuatan untuk menyerang Khalifah Ali. Atau ke
Mekkah saja? Tidak mungkin. Siti Aisyah berhasil memulai perlawannya justru
dari Mekkah dengan dukungan 3000 relawan dan bantuan Gubernur Mekkah. Basrah?
Meskipun Khalifah Ali menang perang, namun sebelum beliau tiba di Basrah,
Thalhah, Zubair, dan Siti Aisyah telah lebih dulu meraih simpati dan dukungan
penduduk Basrah. Basrah dan Mekkah bukan pilihan bijak.
Maka, Imam Ali memutuskan untuk menetap di Kufah dan sekaligus
memindahkan ibu kota negara dari Madinah ke Kufah. Selain latar belakang
kondisi sosial politik di atas, tindakan Imam Ali ini luar biasa dampaknya.
Beliau belajar dari masuknya pemberontak ke Ibu Kota Madinah yang telah mengotori
kesucian kota Madinah.
Politik kekuasaan di kota Nabi yang suci sungguh tak terbayangkan.
Pemindahan ibu kota dari kota suci Nabi ke wilayah yang cukup jauh, yaitu Kufah
(Irak sekarang), membuat simbol agama (Madinah) dipisahkan dengan persoalan
politik. Secara tidak langsung, Imam Ali telah berusaha menarik batas antara
agama dan politik.
Imam Ali juga tidak mengambil kesempatan memindahkan ibu kota ke
Mekkah, karena kalau terjadi penyerangan maka Ka’bah menjadi taruhannya.
Terbukti kelak pada masa Dinasti Umayyah ketika Abdullah bin Zubair memisahkan
diri dari Dinasti Umayyah dan menjadikan Mekkah sebagai pusat pergerakannya,
keponakan Siti Aisyah ini bukan saja terbunuh di sekitar Ka’bah tapi kota
Mekkah diserang panah berapi dan diblokade selama 6 bulan oleh pasukan
al-Hajjaj bin Yusuf.
Ironisnya, bukan saja banyak penduduk Mekkah dan jamaah haji yang
terbunuh, tapi Ka’bah pun sempat terbakar akibat serangan panah api. Inilah
akibatnya kalau politik kekuasaan dilakukan di kota suci Mekkah.
Jadi, sudah sangat tepat Khalifah Ali memindahkan ibu kota ke
Kufah. Empat bulan kemudian perang saudara kedua pecah. Peperangan antara
pasukan Gubernur Mu’awiyah dari Damaskus dan pasukan Khalifah Ali dari Kufah
berlangsung di daerah Shiffin. Perang saudara terjadi, namun dua kota suci
Mekkah dan Madinah aman. Sekali lagi, pemindahan ibu kota adalah upaya menjaga
agar kesucian Ka’bah dan Masjid Nabawi agar tidak tercemar oleh pertarungan
kekuasaan.
Bagaimana dengan ide pemindahan Ibu Kota Republik Indonesia ke
Palangkaraya? Baik di masa Presiden Susilo bambang Yudhoyono maupun Presiden
Jokowi tengah dijajaki kemungkinan memindahkan ibu kota dengan beragam alasan
yang berbeda. Kota yang tengah dijajaki adalah Palangkaraya. Saya hendak
memberikan satu alasan lagi mengapa perpindahan ibu kota layak dipertimbangkan.
Saya pernah medengar keterangan dari Nurcholish Madjid (Cak Nur)
sekitar tahun 1996 mengapa Jakarta dipilih menjadi ibu kota oleh Presiden
Sukarno. Banyak pemimpin militer yang mengatakan Jakarta tidak layak sebagai
ibu kota karena secara taktik perang gerilya, Jakarta jauh dari hutan dan
pegunungan. Lagi pula Jakarta kota pelabuhan sehingga mudah sekali dikepung
oleh pasukan asing. Pimpinan militer, menurut kisah Cak Nur, meminta ibu kota
negara dipindahkan.
Bung Karno menolak saran tersebut. Beliau memahami risiko memilih
Jakarta yang gampang ditaklukkan pasukan asing. Namun, Bung Karno punya visi
yang lebih besar dari itu. “Pilih Jakarta atau Medan sebagai ibu kota”, kata
Bung Karno, seperti ditirukan Cak Nur.
“Kenapa begitu?” tanya petinggi militer.
“Karena penduduk di dua daerah itulah yang mampu dengan ramah
menerima etnik lainnya. Orang Medan dan orang Betawi terbuka menerima berbagai
suku bangsa. Ibu kota Negara harus mempertahankan kebhinekaan bangsa, meskipun
secara militer sangat tidak layak!”
Akhirnya petinggi militer mengerti visi Bung Karno yang luar
biasa. Medan tidak dipilih karena lokasinya tidak di tengah, ia berada di utara
bagian pulau Sumatera, susah dijangkau daerah lain seperti Sulawesi atau
Kalimantan.
Jakarta, di mata Bung Karno, merupakan embrio kemajemukan bangsa.
Itu sebabnya Jakarta dipilih menjadi ibu kota. Jikalau setelah Pilkada DKI
2017, Jakarta menjadi tidak ramah dengan keragaman etnik, budaya, dan agama,
mungkin Presiden Jokowi bisa mempertimbangkan kembali visi Bung Karno di atas,
dan juga diinspirasikan oleh keputusan besar Imam Ali bin Abi Thalib. Ibu Kota
Negara jangan sampai menjadi lahan pertarungan agama dan etnik. Jakarta harus
menjadi rumah bersama anak bangsa dan miniatur Indonesia seperti yang divisikan
oleh Presiden Soekarno.
Masih layakkah Jakarta menjadi Ibu Kota Negara? Atau memang kita
harus secara serius berupaya memindahkan Ibu Kota Negara? Bagaimana Gubernur
terpilih Anies Baswedan? Bukankah sudah waktunya merajut kembali tenun bangsa
setelah Pilkada Jakarta 2017? Mudah diucapkan, namun sukar dilaksanakan, bukan?
[]
GEOTIMES, 21 April 2017
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan
dosen senior di Faculty of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar