Negara Pancasila dan Khilafah
Oleh: A Helmy Faishal Zaini
Belakangan ini pembicaraan soal konsep negara-bangsa kembali
menghangat. Tak kurang dari beberapa tokoh mengemukakan pendapat, bahkan
sebagian sudah banyak yang mengamini dan berpendapat bahwa dasar negara harus
ditinjau ulang kembali.
Dalam hemat saya, fase ini sebuah kemunduran. Jika kita kembali
pada perdebatan tentang dasar negara, berarti kita bukan saja tidak maju, malah
sebaliknya kita mengalami kemunduran yang sangat signifikan, bahkan
menyedihkan.
Benar kata Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam Ilusi Negara
Islam bahwa nasionalisme yang menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
merupakan bentuk final dan konsensus nasional (muahadah wathoniyah) bangunan
kebangsaan kita bukanlah merupakan sikap oportunisme politik. Sikap itu
terlahir dari kesadaran sejati yang diaraskan pada realitas historis, budaya,
tradisi bangsa, dan ajaran agama yang kita yakini.
Jika kita cermati lebih dalam, diskusi soal hubungan Islam yang
melahirkan nasionalisme telah intens dilakukan oleh tiga sepupu, yakni HOS
Tjokroaminoto, Hadratussyaikh KH M Hasyim Asyari, dan KH Abdul Wahab
Hasbullah. Ketiganya tercatat sejak tahun 1919 telah melakukan kajian-kajian
mendalam lagi diskursif soal pandangan Islam ihwal nasionalisme.
Kesadaran nasionalisme ini dalam hemat saya merupakan suara dan
gerakan yang muncul dari dalam nurani bangsa Indonesia. Ia bersifat transenden
dan esoterik. Nasionalisme bangsa kita bukan lahir dari hafalan serangkaian
teori rumit tentang konsep kebangsaan, kontrak sosial, dan sebagainya.
Sebaliknya nasionalisme itu tulus lahir dari rasa memiliki dan mencintai ibu
pertiwi.
Diktum hubbul wathon minal iman yang
dicetuskan Hadratussyaikh KH M Hasyim Asyari bukanlah konsep
muluk-muluk yang lahir dari hasil penelaahan teroretik serta kajian akademik
tentang konsep berbangsa dan bernegara. Diktum tersebut justru lahir dari
nurani yang paling dalam yang murni dan suci serta tulus dalam bingkai semangat
mencintai negerinya sendiri.
Dari sanalah konsep cinta tanah air sebagian dari iman itu
dilahirkan. Dalam pada itu sesungguhnya diktum hubbul wathon minal
iman itu merupakan sublimasi pemikiran ulama yang diambil dari berbagai
dasar pijakan dalil. Salah satunya adalah sebagaimana diambil dari QS An-nisa:
66.
Mengatakan bahwa mencintai dan membela tanah air itu tidak
memiliki landasan dalil yang bersifat teologi, dalam hemat saya, merupakan
kekeliruan yang sangat fatal. Bahkan, pada tahap tertentu, ia menjadi sangat
membahayakan.
Meminjam tesis Said Aqil Siroj (2016), Indonesia sangat beruntung
memiliki jenius-jenius ulama yang bertipologi nasionalis. Ulama atau ahli agama
yang nasionalis bisa menjadi pelecut serta pemantik tumbuhnya semangat
mencintai tanah air. Profil ulama seperti ini hanya ada di Indonesia. Di
belahan bumi mana pun hatta di negara-negara Arab dan mayoritas Timur Tengah,
kita tidak akan menemukan profil ulama yang memiliki semangat nasionalisme yang
tinggi.
Konsensus final
Pada Muktamar Ke-11 Nahdlatul Ulama (NU) di Banjarmasin tahun
1936, NU dengan tegas memutuskan bahwa Indonesia merupakan dÃru Islam. KH
Ahmad Shiddiq (Piagam Kebangsaan, 2011) memberi penafsiran hasil muktamar
tersebut. Ia mengatakan bahwa kata dÃru Islam dalam keputusan
muktamar tersebut bukanlah terminologi yang dimaksudkan untuk merujuk pada
istilah tatanan politik kenegaraan, tetapi sepenuhnya istilah keagamaan yang
sesungguhnya lebih tepat diartikan sebagai wilÃyatul Islam (wilayah
Islam).
Maka jelas, dengan keputusannya tersebut, jauh hari sebelum
kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, NU mengambil sikap tegas bahwa Indonesia
merupakan wilayah Islam yang sedang dikuasai oleh penjajah, maka berjihad
melawan penjajah merupakan kewajiban dan bagian dari panggilan agama.
Sikap nasionalisme NU tidak hanya berhenti di situ. Ketika isu
pendirian Darul Islam (DI/TII) yang dipimpin Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo sedang ramai-ramainya, NU mengeluarkan keputusan bahwa Presiden
Soekarno merupakan waliyyul amri ad dhoruri bis syaukah (pemimpin
darurat yang sah). Keputusan tersebut diambil melalui diskusi intens para ulama
dalam kurun tahun 1952-1954.
Keputusan tersebut memiliki dampak sangat luar biasa. Selain
mendelegitimasi pengakuan dan klaim Kartosoewirjo, keputusan ini juga mampu
meredam gejolak yang ada, menaikkan legitimasi Presiden Soekarno, dan sekaligus
menyatakan bahwa umat Islam, terutama NU, tetap setia dan merupakan bagian
tidak terpisahkan dari pemerintahan yang sedang berkuasa.
Ekspresi nasionalisme NU puncaknya dituangkan dalam keputusan
Munas Alim Ulama NU 1983 di Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Asembagus,
Situbondo, Jawa Timur. Di pesantren pimpinan Kiai As'ad Syamsul Arifin
tersebut, NU merumuskan deklarasi hubungan Pancasila dengan Islam. Poin penting
deklarasi tersebut adalah, pertama, Pancasila sebagai dasar falsafah
negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan
tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan agama.
Kedua, sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik
Indonesia menurut Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945, yang menjiwai sila-sila lainnya,
mencerminkan tauhid menurut pandangan Islam. Ketiga, bagi NU, Islam adalah
akidah dan syariah. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan
dari upaya umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya tersebut.
Bersyariah tanpa khilafah
Melihat pengalaman yang ada, proses "menjadi Indonesia"
yang telah kita lalui bersama, saya sangat menyayangkan jika kemudian kita
harus kembali mundur ke belakang memperdebatkan bentuk negara serta sistem
pemerintahan yang tepat bagi bangsa yang kita cintai ini. Bentuk negara kita
sudah final.
Saya selalu mengatakan di pelbagai forum bahwa mari kita renungkan
bersama dengan cara yang saksama ihwal hakikat Pancasila. Ia terdiri atas lima
sila yang sangat memungkinkan bagi kita, bangsa yang memiliki tingkat
kemajemukan yang sangat tinggi, hidup rukun, saling mengisi, saling
menghormati, tenggang rasa, tepo sliro, dan bertoleransi satu dengan yang
lain.
Dasar negara kita yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan
bahwa Indonesia tidak memisahkan hubungan agama dengan kekuasaan. Kekuasaan
harus dijalankan dengan landasan serta spirit nilai-nilai agama. Inilah makna
berketuhanan. Sebagaimana dikatakan Al-Ghazali (1988) bahwa agama dan kekuasaan
merupakan saudara kembar. Ia bagaikan sekeping mata uang. Agama merupakan
fondasi, sedangkan penguasa adalah penjaganya. Apa-apa yang tidak ada
fondasinya, maka ia akan runtuh. Demikian pula, apa saja yang tidak memiliki
penjaga, maka ia akan musnah.
Konsep khilafah yang diandaikan sebagai solusi menuju peradaban
yang lebih baik saya pikir sudah tidak menemukan titik relevansinya lagi.
Hadirnya konsep negara modern (nation state) adalah salah satu di antara alasan
mendasar mengapa gerakan-gerakan yang ingin meruntuhkan sekat-sekat
nasionalisme demografis seperti memperjuangkan khilafah ini kehilangan
momentum.
Perjuangan yang mengandaikan penerapan syariat Islam sepenuhnya
berlaku di pelbagai aspek kehidupan dalam hemat saya, merujuk dari pelbagai
hasil penelitian, merupakan cita-cita yang berlebihan, kalau tidak ingin
dikatakan utopis.
Pada kenyataannya, di negara kita, spirit agama sudah
diejawantahkan dalam pelbagai peraturan dan perundang-undangan. Napas serta
semangat perundang-undangan kita bersumber dari ajaran dan nilai-nilai agama.
Sebut, misalnya, UU Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam, UU Pengelolaan
Zakat, dan juga UU Penyelenggaraan Haji. Menjalankan undang-undang tersebut
secara substantif sejatinya sama saja dengan menjalankan syariat Islam. Dengan
demikian, dalam bahasa lain, kita sesungguhnya telah bersyariat tanpa harus
berkhilafah.
Jelas, ide untuk menerapkan syariat Islam di wilayah yang majemuk
dan bineka seperti Indonesia ini sangat bertentangan dengan dasar negara yang
sudah sejak lama dirumuskan oleh para pendiri bangsa dan telah kita perjuangkan
dengan mati-matian. Ini sangat bertentangan dengan asas demokrasi dan memang
demikian kenyataannya.
Abdul Qadim Zallum, salah seorang pemimpin besar gerakan pengusung
khilafah, mengatakan dalam bukunya, Manhaj Hizb at-TahrÎr fÎ TaghyÎr-yang
merupakan salah satu buku wajib bagi pengusung paham
khilafah-bahwa"demokrasi merupakan sistem kafir yang tidak ada sangkut
pautnya sama sekali dengan Islam. Oleh karena itu, haram bagi umat Islam untuk
mengadopsi dan menerapkan atau bahkan sekadar
mempropagandakannya". Ini bukti nyata bahwa gerakan pengusung
khilafah selalu menganggap demokrasi sebagai sistem yang harus diperangi.
Ala kulli hal, pada Munas NU tahun 2014 di Jakarta, dengan tegas
diputuskan bahwa memperjuangkan tegaknya nilai-nilai substantif ajaran Islam
dalam sebuah negara jauh lebih penting dibandingkan dengan memperjuangkan
tegaknya simbol-simbol Islam semata. Barangkali kondisi kita hari ini persis dengan
apa yang dianalogikan para kiai dalam sebuah pertanyaan cerdas "haruskah
kita membeli minyak unta cap babi atau minyak babi cap unta"? Di
hadapan dua pilihan itu, para kiai menganjurkan kepada kita untuk tentu saja
memilih pilihan pertama.
Itulah nasionalisme ala kiai yang paham betul arti hidup dalam
kebinekaan. Wallahu a'lam bishhowab. []
KOMPAS, 02 Juni 2017
A Helmy Faishal Zaini ; Sekretaris Jenderal
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar