Fatwa Resolusi Jihad, Jejak Kemesraan NU dan
Muhammadiyah
Sedianya tulisan ini akan penulis beri judul
‘Hari Santri: Bukti Sejarah NU dan Muhammadiyah Pertahankan Negeri’. Namun
dalam diskusi kecil-kecilan dalam grup WA penulis ada beberapa keberatan dari
rekan-rekan penulis lain, dengan judul ini.
Bukannya ada yang ‘berisik’ menolak Hari Santri?
Apa urgensinya? Bagian mana yang mendukung? Dan beberapa pernyataan lain atas
ketidaksetujuan judul itu, hingga penulis memutuskan untuk memilih judul
‘Menelisik Peran Muhammadiyah dalam Fatwa Jihad Hadhratus Syekh KH M Hasyim
Asy’ari’.
Fatwa Jihad dan Beberapa Resolusi Setelahnya
Sebagaimana dalam tulisan terdahulu, sebelum
Resolusi Jihad NU 22 Oktober 1945 diputuskan, telah lahir Fatwa Jihad Hadratus
Syaikh KH M Hasyim Asy’ari yang memfatwakan tiga hal: 1) kewajiban melawan
penjajah, 2) mati dalam perang melawan penjajah adalah mati syahid dan 3) hukum
pengkhianat negara adalah wajib dibunuh.
Fatwa Jihad ini kemudian menginspirasi
organanisasi keagamaan seperti NU yang kemudian menegaskannya dalam Resolusi
Jihad pertama 22 Oktober 1945 di Surabaya dan Resolusi Jihad kedua dalam forum
Muktamar Nahdlatul Ulama ke-XVI di Purwokerto 26-29 Maret 1946.
Demikian pula Resolusi Muktamar Islam
Indonesia yang dikeluarkan oleh Masyumi di Yogyakarta pada 7-8 November 1945
dan ‘Seruan Jihad fi Sabilillah dan Pembahasan Hukumnya’ dalam forum Muktamar
Masumi 6-9 Desember di Bukit Tinggi.
Menurut Direktur Museum NU Surabaya Ahmad
Muhibbin Zuhri, berdasarkan kajian teks-teks berbagai resolusi jihad tersebut,
seluruhnya dapat dikatakan merujuk pada fatwa Jihad KH M Hasyim Asy’ari yang
saat itu menjabat sebagai Rais Akbar Jam’iyah Nahdlatul Ulama sekaligus
menjabat sebagai Rais Syuriyah Masyumi, yang memiliki kompetensi menyampaikan
fatwa. (Lihat Ahmad Muhibbin Zuhri, KH M Hasyim Asy’ari: Fatwa Jihad dan Perjuangan
Kemerdekaan, dimuat dalam nusurabaya.or.id dan diakses pada 22 Oktober
2018).
Laporan Kedaulatan Rakyat 20 November 1945
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apa
peran Muhammadiyah berkaitan dengan Fatwa Jihad Hadratus Syekh KH M Hasyim Asy’ari
pada waktu itu?
Dalam konteks ini Harian Kedaulatan Rakyat
edisi 20 November 1945 cukup memberi informasi awal bagi peran Muhammadiyah.
Adalah Langgar Notoprajan Yogyakarta yang
secara historis merupakan salah satu basis pergerakan Muhammadiyah menjadi
saksi sejarah atas persetujuan ulama-ulama Yogjakarta terhadap Fatwa Jihad
Hadhratus Syekh KH M Hasyim Asy’ari. Secara lengkap Kedaulatan Rakyat
melaporkan:
“Alim Oelama Menentoekan Hoekoem Perdjoangan.
Pertemuan 30 orang Kiai dan Alim Oelama se-Jogjakarta di bahwa (di bawah-pen)
pimpinan Kiai H Fadil dan Kiai H. Amir, atas nama Pemerintah Repoeblik
Indonesia bg. Agama Oeroesan Alim Oelama, bertempat di langgar Notoprajan,
baru2 ini telah memoetoeskan hukum-hukum sbb:
I. Menyetoejoei fatwanja Kiai Hasjim Asjari
Teboeireng Djombang jang ringkasnja sebagai berikoet:
a) Hoekoemnja memerangi
orang kafir jang merintangi kepada kemerdekaan
kita sekarang ini adalah fardoe ‘ain bagi
tiap2 orang Islam jang moengkin meskipun bagi orang fakir.
b) Hoekoemnja orang jang meninggal
dalam peperangan melawan Nica serta komplot2nja, adalah mati sjahid.
c) Hoekoemnja orang jang
memetjah persatoean kita sekarang ini wajib
diboenoeh.
Mengingat fatwa terseboet, maka para Alim
Oelama selaloe siap sedia berdjoeang dengan sekoeat tenaga oentoek membela
Agama dan Kemerdekaan.
II. Berhoeboeng amalan2:
a) Segenap Oemat Islam soepaja mengamalkan
solat-hadjat dg bermaksoed memohon kepada Toehan Allah s.w.t. keselamatan dan
langsoengnya kemerdekaan Indonesia.
b) Memperbanyak sedekah, teroetama oentoek
memberi bekal kepada prfadjurit2 kita jang sama bertempeor.
c) Memperbanyak Poeasa, ditengah mendjalankan
poeasa (sebeloem boeka) memperbanyak Istighfar (minta ampoen kepada Toehan) dan
do’a2. (Tanjaklah kepada Alim Oelama tentang Istighfar dan do’anja).
d) Memperbanyak membatja Al-Qoer’an
(teroetama soerfat Al-Baqoroh, atau soerat Alam- nasjroh dan Alam-tara).” (Alim
Oelama Menentoekan Hoekoem Perdjoangan, dimuat dalam Kedaulatan Rakyat,
20 November 1945).
Dukungan Muhammadiyah Terhadap Fatwa Jihad
Menurut penulis, laporan Kedaulatan Rakyat
setidaknya menginformasikan bahwa Muhammadiyah terlibat dalam upaya mendukung
Fatwa Jihad Hadhratus Syekh KH M Hasyim Asy’ari. Kenapa demikian? Bukankah
dalam laporan tersebut Muhammadiyah tidak tercantum? Justru yang ada adalah ‘30
orang Kiai dan Alim Oelama se-Jogjakarta di bahwa (di bawah-pen) pimpinan Kiai
H Fadil dan Kiai H Amir, atas nama Pemerintah Repoeblik Indonesia bg Agama
Oeroesan Alim Oelama’?
Memang sekilas nama Muhammadiyah tidak
tercantum dalam laporan Kedaulatan Rakyat. Namun demikian perlu dipahami
bahwa pemahaman kontekstual pada waktu itu meniscayakan keterlibatannya.
Adalah ‘langgar Notoprajan’ yang merupakan
tempat terselenggaranya keputusan hukum diambil, merupakan merupakan salah satu
dari basis-basis pergerakan Muhammadiyah tempo dulu di sekitarnya hingga
sekarang.
Selain Langgar Pusaka Notoprajan, heritage
Muhammadiyah yang masih kokoh berdiri hingga sekarang di kampung Notoprajan
antara lain Gedung Dakwah Muhammadiyah dan ‘Gedoeng Muhammadiyah’ yang menjadi
kantor lama Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Selain itu juga terdapat Madrasah Mu’allimat
Muhammadiyah yang merupakan sekolah kader putri Muhammadiyah yang didirikan
pada 1923. Sekarang di sekitarnya pun berdiri pula beberapa asrama yang menjadi
tempat tinggal santriwati.
Sebab itu, tidak dapat diterima nalar sehat
bila Muhammadiyah tidak berperan dalam mendukung Fatwa Jihad Hadhratus Syekh KH
M Hasyim Asy’ari, sementara basis pergerakannya tercatat secara rapi menjadi
tempat diambil keputusan untuk mendukung fatwa jihad tersebut.
Bahkan bila melihat amalan-amalan yang
dirumuskan dalam pertemuan alim ulama di Langgar Notoprajan, yaitu anjuran
shalat hajat, sedekah untuk prajurit bangsa yang melawan penjajah, puasa
beserta istighfar dan doanya, juga anjuran untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an
khususnya Surat Al-Baqarah atau Surat Alam Nasyrah (Al-Insyirah) dan Alam-Tara
(Al-Fiil), terbukti pula, bahwa Muhammadiyyah bersama NU kompak mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia dari ancaman dan rongrongan penjajah, seiring
spirit Al-Qur’an:
أُذِنَ
لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللهَ عَلَى نَصْرِهِمْ
لَقَدِيرٌ
Artinya, “Telah diizinkan berperang bagi
orang-orang yang diperangi, sebab mereka telah dizalimi (sebagaimana dizalimi
oleh penjajah-pen), dan sungguh hanya Allah Yang Maha Kuasa menolong mereka,”
Surat Al-Hajj ayat 39. (Lihat Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razi, Mafatihul
Ghaib, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1421 H/2000 M], cetakan pertama,
juz XXIII, halaman 35).
Bila demikian adanya, masihkah ada yang
‘berisik’ menolak hari santri? Wallahu a’lam. []
(Sekretaris LBM NU Jatim Ahmad Muntaha AM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar