Senin, 14 Oktober 2019

Fatwa Resolusi Jihad, Jejak Kemesraan NU dan Muhammadiyah


Fatwa Resolusi Jihad, Jejak Kemesraan NU dan Muhammadiyah

Sedianya tulisan ini akan penulis beri judul ‘Hari Santri: Bukti Sejarah NU dan Muhammadiyah Pertahankan Negeri’. Namun dalam diskusi kecil-kecilan dalam grup WA penulis ada beberapa keberatan dari rekan-rekan penulis lain, dengan judul ini.

Bukannya ada yang ‘berisik’ menolak Hari Santri? Apa urgensinya? Bagian mana yang mendukung? Dan beberapa pernyataan lain atas ketidaksetujuan judul itu, hingga penulis memutuskan untuk memilih judul ‘Menelisik Peran Muhammadiyah dalam Fatwa Jihad Hadhratus Syekh KH M Hasyim Asy’ari’.

Fatwa Jihad dan Beberapa Resolusi Setelahnya

Sebagaimana dalam tulisan terdahulu, sebelum Resolusi Jihad NU 22 Oktober 1945 diputuskan, telah lahir Fatwa Jihad Hadratus Syaikh KH M Hasyim Asy’ari yang memfatwakan tiga hal: 1) kewajiban melawan penjajah, 2) mati dalam perang melawan penjajah adalah mati syahid dan 3) hukum pengkhianat negara adalah wajib dibunuh.

Fatwa Jihad ini kemudian menginspirasi organanisasi keagamaan seperti NU yang kemudian menegaskannya dalam Resolusi Jihad pertama 22 Oktober 1945 di Surabaya dan Resolusi Jihad kedua dalam forum Muktamar Nahdlatul Ulama ke-XVI di Purwokerto 26-29 Maret 1946. 

Demikian pula Resolusi Muktamar Islam Indonesia yang dikeluarkan oleh Masyumi di Yogyakarta pada 7-8 November 1945 dan ‘Seruan Jihad fi Sabilillah dan Pembahasan Hukumnya’ dalam forum Muktamar Masumi 6-9 Desember di Bukit Tinggi.

Menurut Direktur Museum NU Surabaya Ahmad Muhibbin Zuhri, berdasarkan kajian teks-teks berbagai resolusi jihad tersebut, seluruhnya dapat dikatakan merujuk pada fatwa Jihad KH M Hasyim Asy’ari yang saat itu menjabat sebagai Rais Akbar Jam’iyah Nahdlatul Ulama sekaligus menjabat sebagai Rais Syuriyah Masyumi, yang memiliki kompetensi menyampaikan fatwa. (Lihat Ahmad Muhibbin Zuhri, KH M Hasyim Asy’ari: Fatwa Jihad dan Perjuangan Kemerdekaan, dimuat dalam nusurabaya.or.id dan diakses pada 22 Oktober 2018).

Laporan Kedaulatan Rakyat 20 November 1945

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apa peran Muhammadiyah berkaitan dengan Fatwa Jihad Hadratus Syekh KH M Hasyim Asy’ari pada waktu itu? 

Dalam konteks ini Harian Kedaulatan Rakyat edisi 20 November 1945 cukup memberi informasi awal bagi peran Muhammadiyah.

Adalah Langgar Notoprajan Yogyakarta yang secara historis merupakan salah satu basis pergerakan Muhammadiyah menjadi saksi sejarah atas persetujuan ulama-ulama Yogjakarta terhadap Fatwa Jihad Hadhratus Syekh KH M Hasyim Asy’ari. Secara lengkap Kedaulatan Rakyat melaporkan:

“Alim Oelama Menentoekan Hoekoem Perdjoangan. Pertemuan 30 orang Kiai dan Alim Oelama se-Jogjakarta di bahwa (di bawah-pen) pimpinan Kiai H Fadil dan Kiai H. Amir, atas nama Pemerintah Repoeblik Indonesia bg. Agama Oeroesan Alim Oelama, bertempat di langgar Notoprajan, baru2 ini telah memoetoeskan hukum-hukum sbb:

I. Menyetoejoei fatwanja Kiai Hasjim Asjari Teboeireng Djombang jang ringkasnja sebagai berikoet:

a) Hoekoemnja  memerangi  orang  kafir  jang  merintangi  kepada kemerdekaan  kita  sekarang  ini  adalah  fardoe ‘ain  bagi  tiap2 orang  Islam jang moengkin meskipun bagi orang fakir.

b) Hoekoemnja orang  jang meninggal dalam peperangan melawan Nica serta komplot2nja, adalah mati sjahid.

c) Hoekoemnja orang  jang  memetjah  persatoean  kita  sekarang  ini  wajib diboenoeh.

Mengingat fatwa terseboet, maka para Alim Oelama selaloe siap sedia berdjoeang dengan sekoeat tenaga oentoek membela Agama dan Kemerdekaan. 

II. Berhoeboeng amalan2:

a) Segenap Oemat Islam soepaja mengamalkan solat-hadjat dg bermaksoed memohon kepada Toehan Allah s.w.t. keselamatan dan langsoengnya kemerdekaan Indonesia.

b) Memperbanyak sedekah, teroetama oentoek memberi bekal kepada prfadjurit2 kita jang sama bertempeor.

c) Memperbanyak Poeasa, ditengah mendjalankan poeasa (sebeloem boeka) memperbanyak Istighfar (minta ampoen kepada Toehan) dan do’a2. (Tanjaklah kepada Alim Oelama tentang Istighfar dan do’anja).

d) Memperbanyak membatja Al-Qoer’an (teroetama soerfat Al-Baqoroh, atau soerat Alam- nasjroh dan Alam-tara).” (Alim Oelama Menentoekan Hoekoem Perdjoangan, dimuat dalam Kedaulatan Rakyat, 20 November 1945).

Dukungan Muhammadiyah Terhadap Fatwa Jihad

Menurut penulis, laporan Kedaulatan Rakyat setidaknya menginformasikan bahwa Muhammadiyah terlibat dalam upaya mendukung Fatwa Jihad Hadhratus Syekh KH M Hasyim Asy’ari. Kenapa demikian? Bukankah dalam laporan tersebut Muhammadiyah tidak tercantum? Justru yang ada adalah ‘30 orang Kiai dan Alim Oelama se-Jogjakarta di bahwa (di bawah-pen) pimpinan Kiai H Fadil dan Kiai H Amir, atas nama Pemerintah Repoeblik Indonesia bg Agama Oeroesan Alim Oelama’?

Memang sekilas nama Muhammadiyah tidak tercantum dalam laporan Kedaulatan Rakyat. Namun demikian perlu dipahami bahwa pemahaman kontekstual pada waktu itu meniscayakan keterlibatannya.

Adalah ‘langgar Notoprajan’ yang merupakan tempat terselenggaranya keputusan hukum diambil, merupakan merupakan salah satu dari basis-basis pergerakan Muhammadiyah tempo dulu di sekitarnya hingga sekarang.

Selain Langgar Pusaka Notoprajan, heritage Muhammadiyah yang masih kokoh berdiri hingga sekarang di kampung Notoprajan antara lain Gedung Dakwah Muhammadiyah dan ‘Gedoeng Muhammadiyah’ yang menjadi kantor lama Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Selain itu juga terdapat Madrasah Mu’allimat Muhammadiyah yang merupakan sekolah kader putri Muhammadiyah yang didirikan pada 1923. Sekarang di sekitarnya pun berdiri pula beberapa asrama yang menjadi tempat tinggal santriwati.

Sebab itu, tidak dapat diterima nalar sehat bila Muhammadiyah tidak berperan dalam mendukung Fatwa Jihad Hadhratus Syekh KH M Hasyim Asy’ari, sementara basis pergerakannya tercatat secara rapi menjadi tempat diambil keputusan untuk mendukung fatwa jihad tersebut.

Bahkan bila melihat amalan-amalan yang dirumuskan dalam pertemuan alim ulama di Langgar Notoprajan, yaitu anjuran shalat hajat, sedekah untuk prajurit bangsa yang melawan penjajah, puasa beserta istighfar dan doanya, juga anjuran untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an khususnya Surat Al-Baqarah atau Surat Alam Nasyrah (Al-Insyirah) dan Alam-Tara (Al-Fiil), terbukti pula, bahwa Muhammadiyyah bersama NU kompak mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dari ancaman dan rongrongan penjajah, seiring spirit Al-Qur’an: 

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ

Artinya, “Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, sebab mereka telah dizalimi (sebagaimana dizalimi oleh penjajah-pen), dan sungguh hanya Allah Yang Maha Kuasa menolong mereka,” Surat Al-Hajj ayat 39. (Lihat Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1421 H/2000 M], cetakan pertama, juz XXIII, halaman 35).

Bila demikian adanya, masihkah ada yang ‘berisik’ menolak hari santri? Wallahu a’lam. []

(Sekretaris LBM NU Jatim Ahmad Muntaha AM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar