Tafsir Ayat 'Wa bil Walidayni Ihsana' dari
Aspek Bahasa
Oleh: Nadirsyah Hosen
Dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra' (17) ayat 23,
Surat Al-Baqarah (2) ayat 83, Surat Anisa (4) ayat 36, Surat Al-An’am (6) ayat
151, terdapat perintah "Wa bil walidayni ihsana." Dalam Surat
Al-Ahqaf ayat 15 redaksi yang dipakai adalah "bi walidayhi
ihsana." Ini adalah perintah Al-Qur'an untuk kita berbakti kepada
orang tua.
Kali ini kita bahas dari aspek bahasa,
khususnya penggunaan kata sambung 'bi' dan diksi 'ihsan'. Seperti berulang kali
saya bahas, kita tidak bisa bergantung semata pada terjemahan untuk dapat
memahami kandungan makna Al-Qur'an. Kita harus membuka kitab tafsir untuk
belajar dari penjelasan para ulama yang memang mumpuni baik dari segi Bahasa
Arab, maupun kaidah tafsir.
Pertama, mengapa digunakan kata sambung
'bi' dalam frase "wa bil walidayni ihsana"? Bukankah secara
bahasa boleh juga digunakan kata sambung 'ila' (ke) dan 'li' (untuk)?
Apa rahasianya Al-Qur'an memilih kata sambung 'bi'?
Kita mulai dengan penjelasan dari Sayyid
Thantawi dalam kitab Tafsirnya Al-Wasith:
والإحسان يتعدى بحرفى الباء وإلى، فقال:
أحسن به، وأحسن إليه، وبينهما فرق واضح، فالباء تدل على الإلصاق، وإلى تدل على
الغاية، والإلصاق يفيد اتصال الفعل بمدخول «الباء» دون انفصال ولا مسافة بينهما،
أما الغاية فتفيد وصول الفعل إلى مدخول إلى ولو كان منه على بعد أو كان بينهما
واسطة
Menurut para pakar gramatika Arab, kata
sambung 'bi' salah satunya mengandung makna 'lil ilshaq' (إلصاق),
yakni menunjukkan hubungan yang erat dan dekat antara dua hal atau lebih.
Faidahnya untuk menunjukkan kedekatan atau kelekatan. Sementara itu, penggunaan
kata sambung 'ila' mengandung makna jarak, dari satu hal ke hal lainnya.
Misalnya kita menuju ke Makkah dari Madinah. Ini menunjukkan ada jarak antara
kedua kota tersebut.
Dengan demikian, dari sudut bahasa saja,
yaitu pemilihan kata sambung 'bi', bukan 'ila', menunjukkan Allah tidak
menghendaki jarak walau sedikitpun dalam hubungan berbakti kepada kedua orang
tua. Al-Qur’an menghendaki hubungan yang sangat erat dan dekat, bahkan lekat,
antara anak dengan orang tuanya. Kedekatan ini bukan hanya dimaknai secara
fisik, tapi juga secara emosional dan spiritual.
Tafsir Al-Misbah juga menjelaskan bahwa
penggunaan kata sambung 'li' tidak digunakan karena kebaikan atau manfaat
dalam berbakti kepada orang tua itu pada hakikatnya bukan untuk kepentingan
orang tua, tetapi untuk kepentingan sang anak itu sendiri. Itu sebabnya tidak
dipilih kata sambung 'li' yang bermakna peruntukan.
Sebagai tambahan, kata sambung 'li' juga
bermakna kepemilikan. Tidak digunakannya kata 'li', menurut kitab Tafsir
At-Tahrir wat Tanwir karya Ibn Asyur, boleh jadi mengindikasikan bahwa berbakti
pada orang tua itu bukan soal memberi manfaat material, tetapi lebih menekankan
kepada penghormatan pribadi kedua orang tua.
وإذا
أريد به إيصال النفع المالي عُديّ بإلى، تقول أحْسَنَ إلى فلان، إذا وصله بمال
ونحوه.
Kedua, kenapa diksi yang dipilih untuk
berbakti pada orang tua itu 'ihsan'? Bukan kata 'adil', misalnya?
Kata ihsan dan derivasinya digunakan untuk
mencakup apa yang membahagiakan manusia karena perolehan nikmat berkenaan
dengan diri, jasmani mapun kondisinya. Demikian penjelasan Tafsir al-Misbah
dengan merujuk kepada keterangan pakar kosakata Al-Qur’an, yaitu Ar-Raqhib
al-Asfahani.
Itu sebabnya Al-Qur’an menggunakan kata
'ihsan' karena kandungan kata ini lebih dalam dibanding kata 'adil'. Kalau
'adil' itu memperlakukan orang lain sama perlakuannya kepada kita maka 'ihsan'
maknanya kita memperlakukannya lebih baik lagi.
Jadi, dengan makna seperti ini kita bisa
pahami perintah Al-Qur’an untuk berbakti kepada kedua orang tua harus dengan
makna kedekatan kita kepada mereka berdua secara emosional dan spiritual.
Memberikan penghormatan bukan semata soal material. Dan, apa yang kita berikan
dan persembahkan kepada orang tua harus lebih baik lagi, meskipun seandainya
orang tua berperilaku jelek atau mengabaikan anaknya. Karena, yang dipakai
bukan konsep adil, tapi konsep ihsan.
Maka, makna "wabil walidayni
ihsana" yang kita jelaskan di atas dari sisi kebahasaan tidak bisa kita
temui hanya dengan sekadar membaca terjemahan Al-Qur’an.
Sekadar informasi, kitab yang membahas aspek
kebahasaan dalam al-Qur’an, di antaranya Ijaz al-Bayan karya An-Naisabury,
kitab Fi Lughatil Qur’an karya Al-Farra, Ma’ani Al-Qur’an karya
Al-Akhfasy, Ma’ani al-Qur’an karya Az-Zajjaj, I’rab Al-Qur’an karya
an-Nahas.
Kedalaman makna ini baru kita ungkap dari
segi kata sambung dan pilihan diksi saja, belum lagi kita bahas dari sudut
asbabun nuzul, konteks ayat, korelasi dengan ayat lainnya dan penjelasan dari
hadits Nabi serta opini para ulama tafsir. Masih banyak pesona penggalan ayat
Al-Qur’an di atas yang belum kita jelaskan. Semakin kita tambah bacaan kita
terhadap kitab-kitab tafsir, insyaallah akan semakin luas kita menyelami
kedalaman samudera Al-Qur’an.
Waallahu a'lam bisshawab
Tabik.
[]
NU ONLINE, 25 Mei 2019
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriyah PCINU
Australia dan New Zealand; Dosen Senior Monash Law School.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar