Siapa yang Menanggung
Ongkir Pengembalian Barang dalam Jual Beli Online?
Kadang ada pedagang toko online yang
menggratiskan biaya ongkos kirim (ongkir). Ketika ditelusuri, maksud sebenarnya
dari pedagang online ini adalah hendak memberikan servis yang lebih kepada
konsumennya. Ia ingin tampil beda bila dibanding usaha perdagangan yang lain.
Yang menjadi problem adalah jika kedapatan adanya cacat (‘aib) pada barang yang
diperjualbelikan, sehingga harus melakukan returning (pengembalian barang),
maka siapakah yang harus menanggung ongkos kiriman barang tersebut? Apakah hal
ini masuk contoh kasus riba?
Sebenarnya jawaban pertanyaan semacam ini
adalah sederhana, yaitu kita titik-tekankan pada maksud pedagang dalam
memberikan servis gratis ongkos kirim tersebut. Akad dari penggratisan ini pada
dasarnya adalah berstatus hadiah. Ini adalah aplikasi dari maslahah mu’tabarah,
karena hukum asal memberi hadiah adalah boleh bahkan disunnahkan. Konsepnya
hampir sama dengan kita pergi ke mall untuk membeli baju lalu mendapatkan
diskon (potongan harga) dari pedagang. Apakah diskon tersebut sama dengan riba?
Tentu bukan. Karena riba hanya terjadi pada kasus yang memiliki nuansa utang
piutang (riba qardly).
Pada kasus jual beli, riba hanya terjadi
manakala barang yang dipertukarkan adalah sejenis, namun beda takaran (riba
al-fadhly). Beras baik ditukar dengan beras buruk dengan takaran yang berbeda.
Perbedaan takaran inilah yang dimaksud sebagai riba. Riba nasîah terjadi pada
jual beli yang dilakukan secara kredit, namun tidak ditentukan “harga akhir”
dari barang yang dibeli. Akibatnya, harga bisa membengkak seiring molornya
waktu pelunasan. Riba al-yad terjadi pada kasus jual beli khusus barang ribawi
yang disertai penundaan penyerahan. Nah, semua konsep riba di atas ternyata
tidak masuk dalam kasus jual beli online gratis ongkir tersebut. Tidak mungkin
media toko online (marketplace) menjual belikan barang ribawi (makanan, emas
dan perak) karena cenderung mudah berubahnya. Jual beli emas dan perak secara
online juga kecil kemungkinan dilakukan sebab rawannya transaksi tersebut
terhadap kejahatan penipuan.
Jual beli online umumnya memakai jasa
rekening bersama antara pedagang dan pembeli. Manakala barang sudah sampai di
tangan pembeli, hukum asal hak status kepemilikan barang sebenarnya sudah
terjadi perpindahan dari pedagang ke pembeli. Hanya saja, kemudian ditemui
adanya cacat sehingga diperlukan return. Saat ada klaim cacat dari pembeli,
maka otomatis uang pembeli yang berada di rekening penjual akan berubah
statusnya menjadi harta utang. Dengan demikian, pedagang wajib mengusahakan
barang kembali sesuai dengan pesanan pembeli. Wajibkah diberikan gratis ongkir
lagi dan apakah penjual harus mengganti ongkos return dari pembeli? Sampai di
sini perlu adanya pertimbangan maslahatu al-mursalah. Maqashid syariah (tujuan
pokok syariah) yang hendak dijaga adalah hak kemaslahatan harta pedagang dan
pembeli.
Pertimbangan hukum asal dalam kasus ini
adalah sebagai berikut:
1. Tanggung jawab pedagang adalah
mengusahakan dikirimnya barang sesuai dengan pesanan pembeli dalam kondisi
baik.
2. Hadiah dari pedagang adalah sifatnya bukan
kewajiban, melainkan perkara sunnah. Adanya hadiah disampaikan kepada pedagang,
adalah tergolong sebagai janji. Memenuhi janji hukumnya adalah wajib. Status
wajibnya hadiah tidak menghilangkan status kesunahannya. Sama dengan orang
bernazar niat melakukan shalat dhuha apabila berhasil melakukan sebuah usaha.
Status wajibnya melaksanakan shalat dhuha tidak menghilangkan hukum
kesunnahannya.
3. Kedudukan janji adalah berbeda dengan
syarat dalam jual beli. Sebuah syarat bersifat bisa menyebabkan batalnya akad.
Sementara itu janji kemurahan adalah bersifat sebaliknya, serta tidak
menyebabkan batalnya akad. Hanya saja, ia menjadi wajib dilaksanakan oleh
pedagang yang sudah menjanjikannya. Seperti contoh kasus diskon belanja di
mall, maka keberadaan diskon itu merupakan janji. Adapun biaya perjalanan
pembeli dari tempat asal menuju mall adalah di luar ketentuan perjanjian. Kasus
ini sama dengan ongkir. Yang hendak digratiskan oleh penjual adalah ongkir dari
penjual ke pembeli dan bukan ongkir dari pembeli ke penjual.
Menimbang dari kasus di atas, maka kesimpulan
hukum maslahatu al-mursalah jual beli online, adalah:
1. Pihak penjual hanya menanggung ongkir dari
penjual ke pembeli.
2. Pihak penjual wajib mengupayakan ganti
barang yang diklaim rusak.
3. Biaya pengiriman barang retur ke penjual
adalah menjadi bagian tanggung jawab pembeli.
4. Kedua penjual dan pembeli harus saling
ridha terhadap segala kemungkinan adanya risiko cacatnya barang saat barang
sudah sampai di tangan pembeli sehingga memerlukan biaya tambahan berupa ongkos
pengiriman dari masing-masing pihak.
5. Biaya tambahan sebab ongkos pengiriman
sebagaimana dimaksud di atas adalah bukan termasuk kategori riba, karena
merupakan kasus yang berada di luar akad (amrun ‘aridly).
Inilah contoh aplikasi maslahah sebagaimana
yang sudah kita kupas pada tulisan sebelumnya, yakni maslahah mu’tabarah,
maslahah mursalah, dan maslahah mulghah. Wallâhu a’lam bish
shawâb. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pondok
Pesantren Hasan Jufri Putri Pulau Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim
Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim dan
Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar