Nasihat Umar bin Abdul Aziz untuk Orang yang
Terzalimi
Dalam kitab al-Shumt wa Adab al-Lisân,
Imam Ibnu Abi Dunya mencatat sebuah riwayat tentang Khalifah Umar bin Abdul
Aziz dan seorang yang mengadu kepadanya. Berikut riwayatnya:
حَدَّثَنِي
إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ أَيُّوبَ، حَدَّثَنَا
ضَمْرَةُ، عَنِ ابْنِ شَوْذَبٍ، قَالَ: دَخَلَ رَجُلٌ عَلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ
الْعَزِيزِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَجَعَلَ يَشْكُو إِلَيْهِ رَجُلًا ظَلَمَهُ،
وَيَقَعُ فِيهِ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: إِنَّكَ إِنْ تَلْقَى
اللَّهَ وَمَظْلَمَتُكَ كَمَا هِيَ خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ تَلْقَاهُ وَقَدِ
انْتَقَصْتَهَا
Ibrahim bin Sa’id bercerita kepadaku, Musa
bin Ayyub bercerita, Dlamrah bercerita, dari Ibnu Syaudzab, ia berkata:
“Seseorang masuk ke (kediaman) Umar bin Abdul
Aziz radliyallahu ‘anhu, lalu mengadu kepadanya bahwa ada seseorang yang
menzaliminya. Ia pun mencaci maki orang yang menzaliminya tersebut.”
Umar bin Abdul Aziz radliyallahu ‘anhu
berkata: “Sesungguhnya jika kau berjumpa Allah dalam keadaan terzalimi lebih
baik daripada kau berjumpa dengan-Nya dalam keadaan mencaci maki orang (lain)
yang menzalimimu.” (Imam Ibnu Abi Dunya, al-Shumt wa Adab al-Lisân,
Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1410 H, h. 267)
****
Cara pandang kita saat mengalami kezaliman
perlu diubah, apalagi jika kezaliman itu kita laporkan kepada Allah subhanahu
wa ta’ala. Kita sering mendengar doa orang terzalimi itu mustajab, tapi
dalam melakukannya kita harus tetap berpegang teguh pada akhlak. Karena kita
sedang berdoa kepada Allah, Tuhan yang Mahabaik, yang dalam salah satu
firman-Nya mengatakan (QS. Al-Hujarat: 11):
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ
يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ
خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا
بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ
يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
satu kaum mencemooh (mengolok-ngolok) kaum lainnya, bisa jadi yang dicemooh
lebih baik dari mereka, dan janganlah sekumpulan wanita mencemooh kumpulan
wanita lainnya, bisa jadi yang dicemooh lebih baik dari mereka. Dan janganlah
suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung
ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan
barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Ayat di atas adalah etika pergaulan sosial
yang dikehendaki Allah untuk manusia. Jangan saling mencemooh, mencela, memaki,
mengolok-olok dan mengejek, karena kita tidak tahu kedudukan mereka di sisi
Allah. Jangan pula memanggil dengan panggilan yang mengandung ejekan. Bagi
Allah, panggilan tersebut adalah seburuk-buruknya panggilan, dan Allah
menghendaki mereka bertobat jika terlanjur melakukannya. Jika tidak, mereka
termasuk orang-orang yang zalim.
Artinya, ketika seseorang mengadukan orang
yang menzaliminya kepada Allah, lalu mencaci makinya, ia telah terlepas dari
rambu-rambu etika yang dikehendaki Allah. Karena itu, Khalifah Umar bin Abdul
Aziz merasa risih saat mendengar aduan rakyatnya. Karena dalam aduannya, ia
memasukkan cacian dan makian, meski yang diadukan adalah orang yang
menzaliminya. Oleh sebab itu, ia mengatakan, “sesungguhnya jika kau berjumpa
Allah dalam keadaan terzalimi lebih baik daripada kau berjumpa dengan-Nya dalam
keadaan mencaci maki orang yang menzalimimu.”
Hal penting lainnya adalah, sebelum kita
menganggap diri kita terzalimi, kita harus periksa diri kita terlebih dahulu.
Kita harus amati rangkaian peristiwa yang kita anggap kezaliman itu. Kita perlu
mempertanyakan, apakah kezaliman yang menimpa kita murni karena kezaliman
pelakunya, atau kita turut berperan serta dalam rantai kezaliman tersebut.
Karena manusia itu makhluk perasa yang sering tak merasa, seakan-akan perasaan
hanya berguna ketika dizalimi, tapi tidak ketika menzalimi. Kita lebih mampu
merasakan hinaan kepada kita daripada hinaan kita kepada orang lain.
Belum lagi jika kebencian sudah merasuk,
hinaan dan cacian akan berkembang sedemikian rupa menjadi fitnah dan laknat.
Jika itu sudah terjadi, hati kita akan gelap, tidak bisa lagi memandang
kebaikan orang yang kita benci. Kita hanya bisa melihat kesalahan dan
keburukannya. Tentu saja ini berbahaya, karena kita perlahan-lahan lupa bahwa
yang sedang kita pandang adalah manusia biasa, bukan nabi yang maksum. Artinya,
ada kebaikan yang pernah dilakukannnya, dan ada pula keburukan yang pernah
dilakukannya. Tapi, ketika kita sudah dibutakan oleh benci, kebaikan dilihat
dengan curiga, dan keburukan dilihat dengan selera. Pada akhirnya, laknat
terlempar dengan sengaja. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat
melarangnya. Beliau bersabda (HR. Imam Abu Dawud dan Imam al-Tirmidzi):
لا
تَلاعنُوا بلعنةِ اللَّه، ولا بِغضبِهِ، ولا بِالنَّارِ
“Janganlah kalian saling laknat-melaknati
dengan menggunakan (ucapan) laknat Allah, jangan pula dengan (ucapan) murka
Allah, dan jangan pula dengan (ucapan) masuk neraka.”
Di samping itu, jika kita bicara pengamalan
agama dalam tataran ideal, orang yang terzalimi memiliki peluang amal yang
tidak dimiliki orang lain, yaitu memaafkan meski belum dimintai maaf.
Menggunakan cara pandang ini, orang yang sedang dizalimi laiknya orang yang berdiri
di depan pintu amal. Ia memiliki kesempatan yang tidak semua orang punya.
Tergantung ia mau memasukinya atau tidak. Rasulullah bersabda (HR. Imam
al-Thabrani dan Imam Ibnu Abi Dunya):
مَنْ
سَرَّهُ أَنْ يُشْرَفَ لَهُ الْبُنْيَانُ، وَتُرْفَعَ لَهُ الدَّرَجَاتُ
فَلْيَعْفُ عَمَّنْ ظَلَمَهُ، وَلْيُعْطِ مَنْ حَرَمَهُ، وَلْيَصِلْ مَنْ قَطَعَهُ
“Barangsiapa yang ingin dibangunkan baginya
bangunan (di surga), dan diangkat derajatnya, hendaklah ia memaafkan orang yang
menzaliminya, memberi orang yang membakhilinya, dan menyambung silaturahmi pada
orang yang memutuskannya.” (Imam Ibnu Abi Dunya, Makârim al-Akhlâq, h.
332)
Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda (HR.
Imam Ibnu Syahin):
إِذَا
كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ يُنَادِي مُنَادٍ فَيَقُولُ: أَيْنَ الْعَافُونَ عَنِ
النَّاسِ؟ هَلُمُّوا إِلَى رَبِّكُمْ خُذُوا أُجُورَكُمْ، وَحَقَّ عَلَى كُلِّ
مُسْلِمٍ إِذَا عَفَا أَنْ يُدْخِلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ
“Di saat hari kiamat kelak, ada pemanggil
yang (tugasnya) menyeru, lalu ia berkata: 'Di manakah para pemaaf yang
memaafkan orang lain?' Kemarilah menuju Tuhan kalian, ambillah pahala kalian.
Dan (sudah menjadi) hak setiap muslim jika ia memaafkan, Allah akan
memasukkannya ke surga.” (Imam Ibnu Syahin, al-Targhîb fî Fadlâ’il al-A’mâl
wa Tsawâb Dzalik, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2004, h. 149)
Artinya, kita memiliki pilihan ketika
dizalimi, mengadukannya kepada Allah dengan berdoa, atau memberi maaf. Semuanya
berada di tangan kita. Yang terpenting adalah, kita harus menghindari cacian,
makian, dan celaan dalam menjalankannya. Sebelum membuat pilihan, kiranya perlu
kita renungkan peringatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut
ini (HR. Imam al-Tirmidzi):
لَيْس
المؤمِنُ بِالطَّعَّانِ، ولا اللَّعَّانِ ولا الفَاحِشِ، ولا البذِيِّ
“Bukanlah orang yang beriman, (karena) sebab
kesukaannya mencela (orang lain), melaknat (orang lain), berbuat keji, dan
berkata kotor.”
Semoga kita terselamatkan dari kebencian yang
membabi buta. Amin. Wallahu a’lam bish shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP.
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar