Fiqih Maqashid (4): Sejarah
Perkembangan
Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai
maslahah sebagai bagian dari fiqih maqâshid, ada baiknya kita mengenal terlebih
dahulu sejarah tentang lahirnya fiqih maqashid (fiqih yang berorientasi pada
tujuan paling pokok syariah). Dengan memahami sejarah ini, diharapkan para
pengkaji bidang ekonomi syariah mengetahui bagaimana fiqih maqashid ini kelak
mempengaruhi banyak pemikiran para ulama pengusungnya.
Pada hakikatnya, maqashid al-syari’ah ini
sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad ﷺ. Namun dalam istilah penggunaannya, maqashid al-syarî’ah
pertama kali diperkenalkan oleh Syekh Abu Mansâr al-Maturidy. Imam Malik
radliyallahu ‘anhu secara tegas menggunakan istilah maqâshidu al-syarî’ah di
dalam masterpiece-nya, yakni lewat kitab al-Muwatha’. Imam al-Syafi’i (w. 204
H), di dalam kitab ushul fiqih beliau – yakni, al-Risâlah – dalam bab ta’lil
al-ahkâm, telah memperkenalkan sebagian dari maqâshid kulliyyah - hifdh al-nafs
dan hifdh al-mâl – yang selanjutnya dianggap sebagai cikal bakal tema-tema ilmu
maqâshid. Selepas al-Syafi’i kemudian barulah muncul al-Hâkim al-Tirmidzy (w.
320 H), al-Qaffâl (w. 365 H). Menurut al-Raisâny, ulama yang pertama kali
menggunakan istilah maqâshid di dalam judul karyanya adalah al-Hakim
al-Tirmidzy (w. 320 H) lewat karyanya al-Shalâtu wa Maqâshiduhâ. Berikutnya
al-Qaffâl (w. 365 H), Abu Bakar Muhammad Al-Qaffâl al-Kabîr, menyebut
kalimat yang senada dalam judul karyanya, yakni Mahâsin al-Syarî’ah.
Sepeninggal al-Qaffal (w. 365 H), muncul
al-Shaduq (w. 381 H) dalam karyanya I’lâlu al-Syarâi’ wa al-Ahkâm. Kitab karya
al-Shaduq ini memuat serpihan-serpihan dari ta’lil al-ahkâm dari berbagai
kalangan ulama sezamannya, termasuk dari kalangan Syi’ah. Ulama yang sezaman
dengan al-Shaduq adalah al-‘Amiry (w. 381 H) yang bertepatan tahun wafatnya
sama. Al-‘Amiry menuliskan karyanya yang membahas fiqih maqâshid ini dalam
kitab al-I’lam bi Manâqibi al-Islâm. Di dalam kitab ini, al-‘Amiry sudah
membahas tentang masalah al-Dlarâriyyatu al-Khams (lima pokok kebutuhan primer
yang harus dijaga). Menurutnya, al-Dlaruriyyatu al-Khams itu terdiri dari hifdh
al-dîn (menjaga agama), hifdh al-nafs (menjaga jiwa), hifdh al-‘aql (menjaga
akal), hifdh al-nasl (menjaga keturunan), dan hifdh al-mâl (menjaga harta).
Kelimanya pada perkembangan berikutnya adalah menjadi tema sentral dari
maqashid al-syarî’ah.
Sepeninggal al-‘Amiry (w. 381 H dan al-Shaduq
(w. 381 H), muncul al-Juwainy (w. 478 H) yang dikenal dengan panggilan Imam
Haramain. Al-Juwainy tampil membawakan maqâshid al-syari’ah ini dalam kitabnya
al-Burhân fi Ushul al-Fiqh. Kitab beliau yang lain dalam bidang yang sama
antara lain: al-Waraqât, al-Tuhfah, al-Asâlib fi al-Khilâfah, al-Kâfiyah dan
al-Durrah al-Mudlîah fi Mâ waqa’a min Khilafin baina al-Syâfi’iyyah wa
al-Hanafiyyah. Saking hebatnya Al-Juwainy, beliau memiliki dua orang murid yang
juga menghasilkan karya besar serupa, yaitu al-Ghazâli (w. 505 H) dan Abu
al-Qasim al-Qusyairy (w. 500-an H). Al-Ghazaly tampil dengan karyanya yaitu
al-Mustashfa min ‘Ilmi al-Ushul yang menawarkan dua metode penjagaan maqâshid
al-syari’ah, yakni 1) melalui al-wujud yang berisikan riwayat serta batasan
penjagaan (hifdh) dan 2) al-‘adam yang berisikan ketentuan bisa batalnya
tanggung jawab penjagaan (hifdh). Adapun tentang murid al-Juwainy yang lain,
yaitu Abu Al-Qâsim al-Qusyairy, karya beliau kelak di kemudian hari menjadi
inspirasi bagi al-Syathiby untuk menuliskan kitabnya al-Muwâfaqât, yang
sebenarnya berisikan materi kompromistik antara pendapat Abu al-Qâsim
al-Qusyairy dengan kalangan Hanafiyyah di bidang maqashid.
Pasca al-Ghazaly (w. 505 H) dan al-Qusyairy
(w. 500-an H), muncul Fakhru al-Dîn al-Razy (w. 606 H), al-‘Amidy (w. 631 H),
dan ‘Izzu al-Dîn bin Abdu al-Salâm (w. 660 H). Selepas itu muncul ulama
kenamaan yang lain, yaitu al-Qarafi (w. 684 H) dan al-Thâfi (w. 716 H). Setelah
al-Thâfi inilah Ibnu Taimiyah (w. 728 H) muncul dan disusul muridnya yaitu Ibnu
al-Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H). Pasca Ibnu Qayyim, muncullah al-Syâthibi dan
di kalangan fuqaha’ kontemporer saat ini muncul tokoh Ibnu ‘Asyur (w. 1393 H)
dan al-Qaradhawi. Sebelumnya Syekh Ramadhan al-Buthy juga disebut memiliki
karya seputar fiqih maqâshid ini.
Di antara kesekian tokoh dan ulama di atas,
tokoh yang detik ini dianggap memiliki sumbangsih besar terhadap perkembangan
fiqih maqashid adalah al-Syâthiby. Dari ketiga juz kitab al-Muwâfaqât-nya,
beliau membahas secara khusus bab fiqih maqâshid ini dalam 1 jilid besar juz 2
al-Muwâfaqât fi Ushâli al-Syarî’ah. Berbeda dari ulama-ulama sebelumnya yang
membahas dalam serpihan sepotong-sepotong. Itulah sebabnya, oleh kalangan
sarjana fikih, al-Syathiby dijuluki sebagai bapak fiqih maqâshid. Hasil
karyanya menyadarkan banyak pihak mengenai pentingnya perhatian terhadap maqâshid
al-syarî’ah. Lewat karyanya juga, banyak tokoh modern seolah mendapatkan
inspirasi untuk menelaah bab maqâshid ini termasuk di antaranya adalah Ibnu
Asyur (w. 1393 H). Pada akhirnya, Ibnu ‘Asyur mempromosikan keberadaan fiqih
maqâshid ini sebagai wahana disiplin ilmu baru dalam penggalian ‘illat (alasan
dasar) hukum terpisah dari fiqih dan cabangnya.
Sebenarnya masih ada tokoh yang lain yang
belum disebut. Namun, dari kesekian tokoh ini, banyak di antaranya yang merujuk
dan hanya menjadi penjelas dari ulama dan tokoh sebelumnya. Untuk itulah, maka
dari berbagai tokoh ini, jarang sekali diikutsertakan sebagai penggagas fiqih
maqashid. Selanjutnya kelak akan dibahas tentang filosofi dlarâriyyâtu
al-khams. Insyaallah. []
Muhammad Syamsudin, Pengasuh PP Hasan Jufri
Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang
Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jaatim dan Wakil Sekretaris Bidang
Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar