Jumat, 11 Oktober 2019

(Ngaji of the Day) Fiqih Maqashid (4): Sejarah Perkembangan


Fiqih Maqashid (4): Sejarah Perkembangan

Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai maslahah sebagai bagian dari fiqih maqâshid, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu sejarah tentang lahirnya fiqih maqashid (fiqih yang berorientasi pada tujuan paling pokok syariah). Dengan memahami sejarah ini, diharapkan para pengkaji bidang ekonomi syariah mengetahui bagaimana fiqih maqashid ini kelak mempengaruhi banyak pemikiran para ulama pengusungnya. 

Pada hakikatnya, maqashid al-syari’ah ini sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad . Namun dalam istilah penggunaannya, maqashid al-syarî’ah pertama kali diperkenalkan oleh Syekh Abu Mansâr al-Maturidy. Imam Malik radliyallahu ‘anhu secara tegas menggunakan istilah maqâshidu al-syarî’ah di dalam masterpiece-nya, yakni lewat kitab al-Muwatha’. Imam al-Syafi’i (w. 204 H), di dalam kitab ushul fiqih beliau – yakni, al-Risâlah – dalam bab ta’lil al-ahkâm, telah memperkenalkan sebagian dari maqâshid kulliyyah - hifdh al-nafs dan hifdh al-mâl – yang selanjutnya dianggap sebagai cikal bakal tema-tema ilmu maqâshid. Selepas al-Syafi’i kemudian barulah muncul al-Hâkim al-Tirmidzy (w. 320 H), al-Qaffâl (w. 365 H). Menurut al-Raisâny, ulama yang pertama kali menggunakan istilah maqâshid di dalam judul karyanya adalah al-Hakim al-Tirmidzy (w. 320 H) lewat karyanya al-Shalâtu wa Maqâshiduhâ. Berikutnya al-Qaffâl (w. 365 H), Abu Bakar Muhammad Al-Qaffâl al-Kabîr,  menyebut kalimat yang senada dalam judul karyanya, yakni Mahâsin al-Syarî’ah. 

Sepeninggal al-Qaffal (w. 365 H), muncul al-Shaduq (w. 381 H) dalam karyanya I’lâlu al-Syarâi’ wa al-Ahkâm. Kitab karya al-Shaduq ini memuat serpihan-serpihan dari ta’lil al-ahkâm dari berbagai kalangan ulama sezamannya, termasuk dari kalangan Syi’ah. Ulama yang sezaman dengan al-Shaduq adalah al-‘Amiry (w. 381 H) yang bertepatan tahun wafatnya sama. Al-‘Amiry menuliskan karyanya yang membahas fiqih maqâshid ini dalam kitab al-I’lam bi Manâqibi al-Islâm. Di dalam kitab ini, al-‘Amiry sudah membahas tentang masalah al-Dlarâriyyatu al-Khams (lima pokok kebutuhan primer yang harus dijaga). Menurutnya, al-Dlaruriyyatu al-Khams itu terdiri dari hifdh al-dîn (menjaga agama), hifdh al-nafs (menjaga jiwa), hifdh al-‘aql (menjaga akal), hifdh al-nasl (menjaga keturunan), dan hifdh al-mâl (menjaga harta). Kelimanya pada perkembangan berikutnya adalah menjadi tema sentral dari maqashid al-syarî’ah. 

Sepeninggal al-‘Amiry (w. 381 H dan al-Shaduq (w. 381 H), muncul al-Juwainy (w. 478 H) yang dikenal dengan panggilan Imam Haramain. Al-Juwainy tampil membawakan maqâshid al-syari’ah ini dalam kitabnya al-Burhân fi Ushul al-Fiqh. Kitab beliau yang lain dalam bidang yang sama antara lain: al-Waraqât, al-Tuhfah, al-Asâlib fi al-Khilâfah, al-Kâfiyah dan al-Durrah al-Mudlîah fi Mâ waqa’a min Khilafin baina al-Syâfi’iyyah wa al-Hanafiyyah. Saking hebatnya Al-Juwainy, beliau memiliki dua orang murid yang juga menghasilkan karya besar serupa, yaitu al-Ghazâli (w. 505 H) dan Abu al-Qasim al-Qusyairy (w. 500-an H). Al-Ghazaly tampil dengan karyanya yaitu al-Mustashfa min ‘Ilmi al-Ushul yang menawarkan dua metode penjagaan maqâshid al-syari’ah, yakni 1) melalui al-wujud yang berisikan riwayat serta batasan penjagaan (hifdh) dan 2) al-‘adam yang berisikan ketentuan bisa batalnya tanggung jawab penjagaan (hifdh). Adapun tentang murid al-Juwainy yang lain, yaitu Abu Al-Qâsim al-Qusyairy, karya beliau kelak di kemudian hari menjadi inspirasi bagi al-Syathiby untuk menuliskan kitabnya al-Muwâfaqât, yang sebenarnya berisikan materi kompromistik antara pendapat Abu al-Qâsim al-Qusyairy dengan kalangan Hanafiyyah di bidang maqashid. 

Pasca al-Ghazaly (w. 505 H) dan al-Qusyairy (w. 500-an H), muncul Fakhru al-Dîn al-Razy (w. 606 H), al-‘Amidy (w. 631 H), dan ‘Izzu al-Dîn bin Abdu al-Salâm (w. 660 H). Selepas itu muncul ulama kenamaan yang lain, yaitu al-Qarafi (w. 684 H) dan al-Thâfi (w. 716 H). Setelah al-Thâfi inilah Ibnu Taimiyah (w. 728 H) muncul dan disusul muridnya yaitu Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H). Pasca Ibnu Qayyim, muncullah al-Syâthibi dan di kalangan fuqaha’ kontemporer saat ini muncul tokoh Ibnu ‘Asyur (w. 1393 H) dan al-Qaradhawi. Sebelumnya Syekh Ramadhan al-Buthy juga disebut memiliki karya seputar fiqih maqâshid ini. 

Di antara kesekian tokoh dan ulama di atas, tokoh yang detik ini dianggap memiliki sumbangsih besar terhadap perkembangan fiqih maqashid adalah al-Syâthiby. Dari ketiga juz kitab al-Muwâfaqât-nya, beliau membahas secara khusus bab fiqih maqâshid ini dalam 1 jilid besar juz 2 al-Muwâfaqât fi Ushâli al-Syarî’ah. Berbeda dari ulama-ulama sebelumnya yang membahas dalam serpihan sepotong-sepotong. Itulah sebabnya, oleh kalangan sarjana fikih, al-Syathiby dijuluki sebagai bapak fiqih maqâshid. Hasil karyanya menyadarkan banyak pihak mengenai pentingnya perhatian terhadap maqâshid al-syarî’ah. Lewat karyanya juga, banyak tokoh modern seolah mendapatkan inspirasi untuk menelaah bab maqâshid ini termasuk di antaranya adalah Ibnu Asyur (w. 1393 H). Pada akhirnya, Ibnu ‘Asyur mempromosikan keberadaan fiqih maqâshid ini sebagai wahana disiplin ilmu baru dalam penggalian ‘illat (alasan dasar) hukum terpisah dari fiqih dan cabangnya. 

Sebenarnya masih ada tokoh yang lain yang belum disebut. Namun, dari kesekian tokoh ini, banyak di antaranya yang merujuk dan hanya menjadi penjelas dari ulama dan tokoh sebelumnya. Untuk itulah, maka dari berbagai tokoh ini, jarang sekali diikutsertakan sebagai penggagas fiqih maqashid. Selanjutnya kelak akan dibahas tentang filosofi dlarâriyyâtu al-khams. Insyaallah. []

Muhammad Syamsudin, Pengasuh PP Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jaatim dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar