Rabu, 23 Oktober 2019

Kang Komar: Politik Itu Bising


Politik Itu Bising
Oleh: Komaruddin Hidayat

POLITIK itu bising, heboh, dan dinamis. Pekerja politik pusatnya di parlemen dan kantor sekretariat parpol.

Berasal dari bahasa Prancis, parlemen adalah sebuah institusi tempat para politisi berdiskusi dan berdebat soal-soal politik. Mirip ahli hukum, anggota parlemen itu mesti bisa berdebat, pintar ngomong.

Hanya, apakah cara berdebat dilakukan secara santun dan cerdas, silakan masyarakat menilai sendiri. Apakah yang diperdebatkan itu bermutu dan merupakan kepentingan rakyat banyak ataukah kepentingan diri dan kelompoknya, rakyat mesti kritis menilai mereka.

Sejatinya tanpa dukungan suara rakyat, tak mungkin anggota parlemen bisa duduk di Senayan dengan fasilitas menggiurkan. Sangat disayangkan, mereka yang lolos ke lembaga legislatif tidak selalu anak-anak bangsa terbaik.

Begitu lolos melenggang ke Senayan, sering kali komunikasi dan aspirasi politiknya terputus dari keinginan rakyat yang memilihnya. Sampai-sampai muncul pertanyaan sinis, jika mereka itu wakil rakyat, mengapa hasil survei menyatakan tingkat kepercayaan rakyat pada parpol dan anggota DPR sangat rendah? Jadi, bagaimana proses pemilihannya?

Minggu-minggu ini panggung politik sangat menarik dicermati. Rakyat disuguhi drama dan akrobat politik yang membuat bingung, menyimpan teka-teki. Ada yang merasa lega, namun ada juga merasa sangat kecewa.

Kita ingat, menjelang pemilu betapa sengitnya persaingan dan pertarungan antara kubu 01 dan 02. Pasukan kecebong berseteru melawan pasukan kampret. Tetapi, puncak pimpinan parpol yang tadinya berseteru itu sekarang menunjukkan keintiman, saling bercanda, bahkan berangkulan mengisyaratkan terjalinnya sebuah koalisi.

Tentu secara psikologis hal ini berdampak bagus bagi masyarakat awam. Kerukunan dan kerja sama antarelite politik dan tokoh bangsa itu sangat diperlukan agar rakyat bawah juga ikut rukun, mengakhiri gesekan dan konflik yang pernah terjadi. Suasana menjadi adem.

Namun, berbagai pertanyaan kritis juga muncul. Kalau ujungnya para elite itu duduk sambil berkelakar mengumbar senyum dan membuat kalkulasi pembagian kekuasaan dari hasil pemilu, lalu mengapa rakyat dilibatkan dan diadu domba sampai mengancam keutuhan berbangsa? Mengapa isu dan sentimen agama dikapitalisasi, bahkan sampai mengafir-ngafirkan lawan politiknya, semata untuk mendulang suara guna meraih bargaining power?

Demikianlah, pernyataan positif dan pertanyaan kritis bernada hujatan keduanya bisa dikemukakan untuk merespons drama politik hari-hari ini. Seperti kata hukum politik, dalam panggung politik itu yang abadi adalah kepentingan, posisi lawan dan kawan bisa berubah sewaktu-waktu mengikuti kepentingan yang tengah dikejarnya.

Pada periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo ini rakyat berharap agar dia bisa mengukir prestasi dan meninggalkan legacy (warisan) monumental dalam menegakkan tradisi demokrasi yang berkualitas, penegakan hukum yang tegas dan adil, serta menciptakan lapangan kerja demi meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini, dukungan tulus parpol dan kepemimpinan Jokowi tengah diuji.

Presiden Jokowi tidak bisa berjalan sendiri tanpa dukungan tulus dan cerdas dari parpol yang menguasai parlemen dan minta jatah kursi dalam susunan kabinet mendatang. Sebaliknya, parpol juga memerlukan Jokowi sebagai pemenang pemilu, pemegang kuasa untuk menyusun kabinet.

Namun, saat ini muncul kekhawatiran ketika para elite politik dan parpol ditengarai mulai berbagi kekuasaan serta jabatan berangkat dari kepentingan politik untuk persiapan pemilu 2024. Hal yang juga dikhawatirkan adalah munculnya isu keinginan amendemen UUD negara semata berdasarkan pragmatik jangka pendek.

Ada usul amendemen terbatas, ada lagi keinginan amendemen secara menyeluruh. Pengalaman yang sudah-sudah, setiap terjadi proses perubahan dan pembuatan UU baru, selalu ada pihak mengendap-endap mau menelikung dan menyusup dengan berbagai cara agar revisi UU atau pembuatan UU baru itu memihak kepentingannya. Biasanya, kepentingan itu datang dari pengusaha besar dan kekuatan politik yang tengah memasang kuda-kuda untuk memenangkan agenda persaingan bisnis dan politik hari esok. []

KORAN SINDO, 18 Oktober 2019
Komaruddin Hidayat | Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar