Penjelasan Soal Kesesatan
Nabi Muhamad SAW sebelum Jadi Nabi
Umat Islam sejak kecil diajarkan soal
dasar-dasar keimanan bahwa Rasulullah SAW dan para rasul lainnya bersifat
makshum, yaitu terpelihara dari dosa. Dari sini, umat Islam kemudian meyakini
bahwa Rasulullah SAW dipelihara oleh Allah SWT dari segala bentuk dosa,
termasuk dosa besar syirik dan dosa kufur.
Meskipun demikian kita menemukan secara harfiah pada Surat Ad-Dhuha ayat 7 bahwa Rasulullah SAW ditemukan oleh Allah dalam keadaan tersesat, lalu Allah memberinya petunjuk sebagaimana ayat berikut ini:
وَوَجَدَكَ
ضَالًّا فَهَدَى
Artinya, “Allah menemuimu dalam kondisi tersesat, lalu Dia memberi petunjuk,” (Surat Ad-Dhuha ayat 7).
Ayat ini bisa saja dipahami secara harfiah. Dengan demikian, kita menyimpulkan bahwa Rasulullah memang awalnya kufur dan sesat. Sedikit ulama tafsir berpandangan demikian seperti dinukil oleh Fakhruddin Ar-Razi berikut ini:
فاعلم
أن بعض الناس ذهب إلى أنه كان كافراً في أول الأمر، ثم هداه الله وجعله نبياً
Artinya, “Ketahuilah, sedikit ulama berpendapat bahwa Rasulullah SAW awalnya kufur, kemudian Allah memberikannya hidayah dan menjadinnya sebagai nabi,” (Lihat Fakhruddin Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Fikr: 1981 M/1401 H], juz XXXI, halaman 216).
Sedikit ulama tafsir yang berpandangan demikian didukung oleh Surat As-Syura ayat 52, Surat Yusuf ayat 3, dan Surat Az.-Zumar ayat 65 sebagaimana berikut ini:
مَا
كُنتَ تَدْرِى مَا الكتاب وَلاَ الإيمان
Artinya, “Sebelumnya kamu tidak mengetahui apakah Kitab (Al-Qur’an) itu dan apakah iman itu,” (Surat As-Syura ayat 52).
وَإِن
كُنتَ مِن قَبْلِهِ لَمِنَ الغافلين
Artinya, “Kamu sebelum itu termasuk orang yang tidak mengetahui,” (Surat Yusuf ayat 3).
لَئِنْ
أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
Artinya, “Sungguh, jika kamu mempersekutukan (Allah), maka gugurlah amalmu,” (Surat Az-Zumar ayat 65).
Hanya saja pandangan sedikit ulama tafsir ini dibantah oleh mayoritas ulama. Mayoritas ulama memandang sifat makshum Rasulullah SAW dari segala dosa termasuk dosa besar syirik dan dosa besar kufur.
وأما
الجمهور من العلماء فقد اتفقوا على أنه عليه السلام ما كفر بالله لحظة واحدة...
وعند أصحابنا هذا غير ممتنع عقلاً لأنه جائز في العقول أن يكون الشخص كافراً
فيرزقه الله الإيمان ويكرمه بالنبوة، إلا أن الدليل السمعي قام على أن هذا الجائز
لم يقع وهو قوله تعالى مَا ضَلَّ صاحبكم وَمَا غوى [النجم : 2] ثم ذكروا في تفسير هذه الآية وجوهاً كثيرة
Artinya, “Sedangkan mayoritas ulama sepakat bahwa Rasulullah SAW tidak pernah kufur sedetik sekali pun... Menurut sebagian sebagian ulama kami, hal ini (kekufuran nabi) tidak terhalang secara hukum aqli karena hal itu jaiz atau boleh jadi sah menurut aqal bahwa seseorang awalnya kafir tetapi Allah mengaruniakannya keimanan dan memuliakannya dengan kenabian, tetapi dalil naqli menyatakan bahwa jaiz atau kemungkinan menurut aqli itu (perihal kekufuran Rasulullah SAW) tidak terjadi, yaitu Surat An-Najm ayat 2 yang berbunyi, ‘Sahabatmu (Nabi Muhammad SAW) tidak sesat dan (tidak) keliru.’ Mayoritas ulama memahami Surat Ad-Dhuha ayat 7 ini dengan pelbagai penafsiran,” (Lihat Fakhruddin Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Fikr: 1981 M/1401 H], juz XXXI, halaman 216).
Syekh Ibrahim Al-Baijuri menyebutkan sejumlah dalil naqli yang menjelaskan dalam karyanya keimanan dan kesucian nenek moyang hingga kedua orang tua Nabi Muhammad SAW yang kami kutip sebagai berikut.
إذا
علمت أن أهل الفترة ناجون على الراجح علمت أن أبويه صلى الله عليه وسلم ناجيان
لكونهما من أهل الفترة بل جميع آبائه صلى الله عليه وسلم وأمهاته ناجون ومحكوم
بإيمانهم لم يدخلهم كفر ولا رجس ولا عيب ولا شئ مما كان عليه الجاهلية بأدلة نقلية
كقوله تعالى وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ وقوله صلى الله عليه وسلم لم
أزل أنتقل من الأصلاب الطاهرات إلى الأرحام الزكيات وغير ذالك من الأحاديث البالغة
مبلغ التواتر
Artinya, “Kalau kau mengerti bahwa ahli fatrah itu selamat dari siksa neraka menurut pendapat rajih (yang kuat), maka tentu kamu mengerti bahwa kedua orang tua Rasulullah SAW selamat dari siksa neraka karena keduanya ahli fatrah. Bahkan semua bapak moyang Rasulullah SAW (hingga ke Nabi Adam AS) selamat dari siksa neraka. Kita memutuskan bahwa mereka adalah orang-orang beriman tanpa tercederai oleh kekufuran, perbuatan keji, perilaku aib, dan perilaku buruk apapun yang lazim di zaman Jahiliyah. Pendapat ini didasarkan pada dalil naqli seperti firman Allah SWT dalam Surat As-Syu‘ara ayat 219 yang berbunyi, ‘Dan ketika engkau bolak-balik dalam orang-orang yang sujud (sembahyang)’; dan sabda Rasulullah SAW ‘Aku senantiasa berpindah-pindah dari tulang-tulang sulbi yang murni ke rahim-rahim yang suci’, dan banyak hadits lain yang statusnya mutawatir,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyah Tuhfatil Murid ala Jauharatit Tauhid, Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabaiyah, tanpa tahun, halaman 19).
Dari keterangan mayoritas ulama ini, kita dapat menyimpulkan bahwa apa yang diajarkan kepada kita selama ini bahwa Rasulullah SAW itu makshum (tidak pernah kufur, musyrik, atau sesat) sudah benar adanya.
Sementara jumhur ulama memiliki banyak penafsiran perihal kata “sesat” dan “petunjuk” yang tersebut dalam Surat Ad-Dhuha ayat 7, salah satunya adalah ketidaktahuan dalam syariat, tersesat di salah satu jalan di kota Makkah saat Rasulullah kecil, dan belasan penafsiran lainnya yang tidak merujuk pada kemusyrikan atau kekufuran Rasulullah SAW.
Dari sini kita mengambil pelajaran betapa pentingnya memahami perangkat-perangkat ilmu yang diwariskan oleh para ulama seperti ilmu kalam terkait wajib, mustahil, dan jaiz, ulumut tafsir, ulumul hadits, ushulul fiqh yang salah satunya membahas ta‘arudh atau dua ayat yang tampak kontradiksi dan antinomi.
Semua itu merupakan perangkat yang diperlukan dalam memahami ayat Al-Quran dan hadits Rasulullah SAW agar kita berhati-hati dan tidak ceroboh dalam memutuskan perihal hukum agama atau masalah yang berkaitan dengan keyakinan, tauhid, aqidah, dan keimanan.
Semua perangkat ilmu pengetahuan tersebut juga sangat penting untuk menghindarkan kita salah satunya dari sikap su’ul adab terhadap Rasulullah SAW. Apalagi sampai mengatakan bahwa memperingati maulid Nabi Muhammad SAW adalah memperingati kesesatan dan kekufuran Nabi Muhammad SAW, Nau'dzu billah min dzalik, wa tabarra'na min kulli kalamin yukhalifu ma yaliqu bihi. Wallahu a‘lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar