Adakah Unsur Riba pada
Aplikasi GoPay, OVO dan GoFood?
Beberapa waktu ini marak beredar sebuah
tulisan yang menyebut bahwa jual beli dengan aplikasi GoPay dan GoFood adalah
riba. Riba terjadi akibat bersatunya akad utang yang direpresentasikan oleh
fitur deposit GoPay dengan diskon.
Diskon berupa potongan harga akibat
penggunaan deposit dalam transaksi ini yang kemudian disebut oleh salah satu ustadz
tersebut dipandang sebagai riba. Riba terjadi akibat mengutangi perusahaan
penyedia layanan GoPay, OVO dan GoFood selanjutnya pihak yang mengutangi
mendapat imbal manfaat berupa potongan harga.
Selanjutnya, ustadz tersebut merekomendasikan
sejumlah alternatif agar selamat dari riba pemanfaatan aplikasi tersebut,
antara lain:
• Dipersilakan menggunakan Go-Pay namun harus
memastikan agar saat membuka rekening di bank yang terdapat fasilitas
Go-Paynya, kita diminta menghilangkan klausa pertambahan atas uang yang
disimpan (diutangkan), dan akad tentang tambahan bunga tiap bulannya harus
dihilangkan.
• Dipersilakan menggunakan Go-Pay namun
diimbau agar tidak menerima tambahan manfaat berupa discount itu supaya tidak
terjadi riba dalam muamalah Ojek Online dan Go-Pay tersebut.
• Jika tidak bisa menghilangkan diskon atau
potongan harga dari Go-Pay, maka dipersilakan melakukan pembayaran kontan.
Sebenarnya penulis sudah pernah membahas
kasus ini dari sudut pandang literasi fiqih klasik. Perbedaan penulis dalam hal
ini dan ustadz tersebut sebenarnya pada sisi cara pembacaan dan cara
menempatkan duduk masing-masing elemen penyusun Go-Pay dan aplikasi sejenisnya.
Ada beberapa poin yang lepas dari sisi
pengamatan sang ustadz tersebut selaku pengkaji di atas, antara lain sebagai
berikut:
Pertama, di dalam fitur Go-Pay, OVO dan
Go-Food, semua barang yang dipesan sudah ditetapkan harganya oleh perusahaan.
Fitur ini sama sekali tidak disinggung oleh ustadz tersebut melainkan hanya
berfokus pada pembacaan bahwa pembeli telah mengutangi pihak Go-Pay yang
selanjutnya ia mendapatkan imbalan karenanya.
Yang benar dalam hal ini sebenarnya imbalan
dari deposit yang disimpan di dalam Go-Pay, atau diskon harga makanan? Jika
imbalan berupa potongan harga itu adalah disebabkan diskon harga makanan,
mengapa diskon ini tidak boleh diberikan? Padahal harga produk yang dijual
sudah jelas.
Sama seperti dengan seandainya ada seorang
pedagang baju dititipi uang oleh rekannya. Kebetulan rekannya tersebut hendak
belanja baju ke tempat si pedagang yang dititipinya. Dan pedagang sudah
menetapkan bahwa saat itu tengah ada diskon pembelian buat semua pelanggan.
Lantas, si rekan yang tengah butuh baju tadi
membeli apa yang diperlukannya ke pedagang tersebut sehingga ia berhak menerima
diskon dari pedagang, apakah diskon semacam ini dipandang sebagai riba? Tentu
tidak, bukan?
Bukankah pula uang yang dititipkan tersebut
termasuk akad wadi’ah. Sebagaimana deposit yang terdapat dalam fitur Go-Pay
yang kemudian dibahasakan oleh sang ustadz sebagai bank adalah juga mengikuti
prinsip akad wadi’ah yadu al-dhammanah (akad titip dengan jaminan
keamanan nilai) ini?
Inilah uniknya. Semua hal yang krusial justru
tidak mendapatkan sorotan oleh pengkaji pada tulisan tersebut.
Kedua, akad wakalah ditambah imbalan kepada
pihak driver tidak menjadi dasar pertimbangan utama sang pengkaji dalam tulisan
tersebut. Ia menilai bahwa si driver telah mengutangi terlebih dahulu pihak
konsumen untuk membeli barang, lalu barang yang sudah ada di tangannya dijual
kembali dengan mengambil keuntungan.
Ia menyebut akad ini sebagai akad jual beli
yang digabung dengan pesan. Selisih harga beli dari toko dengan harga yang
diberikan kepada konsumen driver dipandang sebagai riba karena faktor utang
piutang tersebut.
Sang pengkaji di sini tidak melihat sama
sekali, apakah utang tersebut merupakan yang dikehendaki oleh konsumen ataukah
tidak? Bukankah utang itu merupakan hal yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh
konsumen?
Andaikan pihak yang dipesani sudah datang
dengan membawa barang yang dipesan, tentu pihak pemesan pun juga ada jaminan
untuk membayarnya. Yang menjamin adalah undang-undang perlindungan produsen dan
konsumen.
Keberadaan Undang-Undang ini dibentuk
disebabkan ada faktor relasi yang harus dijamin seiring perlindungan konsumen
dan produsen yang saat transaksi tidak mengenal satu sama lain dan harus ada
perusahaan lain yang bergerak menjadi wasîlah (perantara) di antara keduanya.
Sebuah ilustrasi, ada seorang pembeli ingin
membeli sesuatu di pasar. Lalu ia bertemu dengan pengendara sepeda motor yang
ditemuinya di jalan agar sudi membelikan kebutuhannya.
Lalu, tanpa adanya jaminan apa pun ia
menyerahkan sejumlah uang kepada pemilik kendaraan tersebut. Amankah kira-kira
model transaksi semacam ini? Tentu tidak, bukan? Berbeda, apabila si pemilik
kendaraan bermotor itu adalah pihak yang berada di bawah sebuah koordinasi
perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa kemudian proses titipnya melewati
mekanisme tertentu yang disepakati keduanya.
Ketidakamanahan utusan perusahaan yang
ditugaskan mewujudkan pesanan konsumen, akan menjadi dapat
dipertanggungjawabkan seiring ada jaminan dari perusahaan yang
mengoordinasinya. Karena bagaimanapun, lancarnya orderan perusahaan, sehingga
berbuah pada keuntungan perusahaan adalah bergantung pada bagaimana
pelayanannya kepada konsumen. Sebagaimana sebuah qaidah:
الخراج
بالضمان
Artinya, “Output (untung-rugi) adalah
berbanding lurus dengan risiko (bagaimana perusahaan menerapkan jaminan
pelayanannya).”
Utang konsumen merupakan imbas samping dari
pemakaian aplikasi saat pengguna jasa aplikasi Go-Pay, OVO dan Go-Food
melakukan deal pemesanan makanan dengan harga yang sudah tertera. Jadi, sampai
di sini, seharusnya berlaku kaidah fiqih bahwasanya:
العبرة
في العقود للمقاصد و المعاني لا للألفاظ والمباني
Artinya, “Akad bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan dan juga makna yang terkandung di dalamnya, dan bukan sekadar
ucapan dan juga ungkapan.”
Maslahah yang dikehendaki dan berlaku
universal pemakaian aplikasi Go-Pay, OVO dan Go-Food adalah kemudahan konsumen
mendapatkan kebutuhannya sementara ia masih bisa melaksanakan tugas pokoknya
yang lain. Kemaslahatan bagi perusahaan adalah lancarnya jasa yang ia tawarkan
diorder oleh konsumen.
Keharusan memerinci satu per satu agar tidak
memenuhi unsur jahâlah dalam jual beli justru dapat berujung pada mempersulit
konsumen dan bisa menambah cost (biaya) yang dikeluarkannya. Kesulitan semacam
ini termasuk bagian dari mafsadah yang harus dihindari, sebagaimana kajian kita
dalam maqashid Imam Anas bin Mâlik yang telah kita lewati terdahulu.
Prinsip yang harus dijaga produsen adalah
semakin banyak konsumen melakukan order, semakin banyak pula keuntungan yang ia
dapatkan. Sebaliknya, semakin sedikit konsumen melakukan order, semakin sedikit
pula keuntungan yang diterimanya.
Agar banyak mendapatkan order, maka ia harus
amanah, sebagaimana hal ini adalah praktik yang disetujui oleh syariat. Wallâhu
a’lam bi al-shawâb. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh
Pesantren Hasan Jufri Putri Pulau Bawean
Tidak ada komentar:
Posting Komentar