Reformasi Antiklimaks
Oleh: Komaruddin Hidayat
DINAMIKA sejarah politik di Indonesia menunjukkan peristiwa dan perubahan nasional setiap 20 tahunan atau setiap peralihan generasi. Ini bisa dirunut ke belakang sejak kelahiran Boedi Oetomo pada 1908, peristiwa Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan pada 1945, dan peristiwa Gestapu 1965.
Lalu, pada 1980-an panen raya sarjana produk dalam negeri yang menyuarakan ide-ide demokrasi, namun tersumbat yang pada urutannya mengantarkan lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Sejak itu muncul gelombang reformasi sebagai antitesis budaya politik Orde Baru, yang mengantarkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemenang Pemilu 2004.
Meskipun logika ini tidak sepenuhnya valid, dengan menghitung siklus 20 tahunan ini, maka Pemilu 2024 kita akan menyaksikan peralihan generasi. Akan muncul calon presiden baru, yang dipilih oleh generasi baru, yang tidak memiliki memori dengan politik Orde Baru.
Namun, kita juga mencatat, setiap peralihan generasi dan rezim, isu korupsi selalu saja muncul sebagai tema kemarahan dan kekecewaan rakyat. Artinya, generasi sebelumnya tidak berhasil mewariskan pemerintahan dan budaya politik yang bersih dan rasional.
Orde Lama mewariskan korupsi dan inflasi. Orde Baru tampil mengkritiknya, namun ujungnya terjebak dalam kubangan yang sama, mengulangi lagi penyakit lama yang dia kritik sehingga muncul reformasi.
Tetapi, lagi-lagi, setelah 20 tahun reformasi berjalan, ternyata penyakit akut korupsi diproduksi lagi. Demonstrasi mahasiswa yang menentang revisi UU KPK, tema utamanya adalah keprihatinan terhadap lembaga legislatif dan eksekutif yang dianggap sangat mengecewakan dalam pemberantasan korupsi.
Setelah 20 tahun reformasi, kebangkitan dan kelahiran parpol baru yang membawa semangat untuk mengawal dan mengisi agenda reformasi dan demokratisasi untuk menciptakan pemerintahan yang efektif, bersih, dan mengangkat martabat bangsa dalam kompetisi internasional ternyata gagal.Panggung demokrasi hanya berhasil pada tataran prosedural, namun kehilangan substansinya. Dalam pilkada, pileg, dan pemilu, yang menentukan kemenangan adalah jumlah suara, yang seringkali mengalahkan keunggulan idea, gagasan, kompetensi, dan integritas.
Sedangkan suara bisa diatasi dengan bantuan uang untuk membeli suara calon pemilih. Di luar kekuatan uang, rupanya emosi dan identitas keagamaan juga efektif sebagai instrumen untuk menciptakan solidaritas kelompok yang kemudian diarahkan pada pilihan politik.
Parpol tidak mengakar ke bawah, sementara ke atas miskin idea dan kader yang cerdas dan menjanjikan perbaikan masa depan bangsa. Mereka lebih terkesan heboh berebut jabatan dan fasilitas negara.
Tentang politik identitas, hal ini sesungguhnya sah dan biasa saja karena masyarakat kita memang sangat majemuk, asal politik identitas tidak menyaingi dan memperlemah identitas kebangsaan serta pilar bernegara. Di Amerika Serikat (AS) misalnya persaingan antarkubu partai Demokrat dan Republik sangat sengit, namun pilar-pilar ekonomi, hukum, pendidikan, dan industri jalan terus.
Sedangkan di Indonesia untuk menjaga kebinekaan, kerukunan, dan kesatuan bangsa ongkosnya sangat mahal. Energi kita banyak sekali terbuang untuk merajut kebinekaan agar keikaan berbangsa dan bernegara tetap solid.
Mengamati perkembangan politik belakangan ini, tingkat kepercayaan masyarakat pada parpol dan lembaga DPR sangat rendah, padahal mereka yang semula lantang teriak untuk melakukan reformasi, membangun kehidupan politik serta birokrasi yang bersih dan profesional demi menyejahterakan rakyat yang berkeadilan.
Meskipun demikian, dari sekian rapor merah Era Reformasi, dua hal yang layak kita apresiasi. Pertama, pembatasan jabatan presiden maksimal dua periode. Kedua, iklim kebebasan berpendapat dan berserikat sekalipun praktiknya belum dikawal dengan etika dan hukum yang jelas dan tegas untuk menghindari anarki serta kekerasan verbal. []
KORAN SINDO, 11 Oktober 2019
Komaruddin Hidayat | Rektor Universitas Islam Internasional
Indonesia (UIII)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar