Adab-adab
Pelajar kepada Guru Menurut KH Hasyim Asy’ari (II)
Sebelumnya penulis
sudah memaparkan enam adab pelajar kepada gurunya menurut Hadratussyekh KH
Muhammad Hasyim Sy’ari, sebagaimana tercantum dalam kitab karya beliau, Adab
al-‘Alim wa al-Muta’allim. Dalam tulisan ini, kami jelaskan adab berikutnya
dalam pandangan pendiri Nahdlatul Ulama ini.
Ketujuh, meminta izin
kepada guru saat memasuki majelisnya.
Hendaknya saat
menghadiri majelisnya guru, pelajar terlebih dahulu permisi meminta izin, di
mana pun berada, baik saat gurunya sendirian atau bersama orang lain. Kecuali
dalam majelis umum yang disediakan untuk siapapun yang mau mengikuti, maka
tidak perlu izin. Ketika guru mengetahui keberadaan murid dan tidak
mengizinkannya untuk berada di sebuah majelis, maka sebaiknya murid langsung
beranjak dan tidak perlu mengulangi untuk meminta izin.
Bila pelajar ragu
apakah sang guru mengetahui keberadaannya atau tidak, maka boleh mengulangi
untuk meminta izin, namun sebaiknya tidak lebih dari tiga kali. Saat mengetuk
pintu kamar sang guru, sebaiknya dengan pelan, sopan, menggunakan kuku, tidak
dengan suara keras yang dapat mengganggu kenyamanan beliau.
Saat guru mempersilakan
masuk dan yang sowan adalah orang banyak, maka sebaiknya dipimpin oleh murid
yang paling utama dan senior, selanjutnya satu persatu dari mereka mengucapkan
salam.
Saat sowan menghadap
guru, hendaknya dengan penampilan sebaik mungkin, suci dan bersih badan serta
pakainnya, kukunya dipotong, wangi baunya. Terlebih saat berada di majelis
ilmu, harus lebih perfect lagi penampilannya, sesungguhnya majelis ilmu adalah
majelis dzikir dan ibadah.
Saat hendak menemui
guru sementara beliau sedang bercakap-cakap dengan orang lain, atau tengah
melakukan aktivitas seperti berdzikir, shalat dan lainnya, maka hendaknya murid
diam, tidak boleh mengawali pembicaraan. Sebaiknya ucapkan salam dan segera
keluar, kecuali gurunya memerintahkan untuk tetap berada di tempat. Saat diam
menunggu guru, hendaknya tidak terlalu lama, kecuali bila ada perintah dari
guru.
Saat tiba waktu
belajar, sementara gurunya belum datang atau sedang istirahat, hendaknya sabar
menanti sampai beliau datang, atau boleh juga pulang terlebih dahulu lalu
kembali lagi, namun sebaiknya tetap bersabar menunggu guru di tempat mengaji.
Pelajar tidak perlu mengetuk pintu guru atau membangunkannya dari istirahat.
Sebaiknya murid tidak
membuat-buat waktu sendiri, waktu khusus untuk dirinya yang berbeda dengan
teman pelajar lain. Sebab hal demikian termasuk bentuk kesombongan dan tindakan
bodoh, berakibat tidak baik kepada guru dan teman pelajar yang lain. Namun,
bila sang guru terlebih dahulu menawari memberi waktu khusus, misalkan karena
ada udzur yang menghalanginya untuk belajar bersama teman-teman pada umumnya
atau guru memiliki pertimbangan tertentu dalam menyendirikannya, maka hal
tersebut tidak bermasalah.
Kedelapan, duduk
bersama guru dengan penuh etika.
Saat menghadap
gurunya, hendaknya dengan posisi yang sopan, semisal duduk berlutut di atas
kedua lutut atau seperti duduk tasyahud (namun tidak perlu meletakan kedua
tangannya di atas kedua paha), atau duduk bersila, dengan rendah diri, tenang
dan khusyu’, tidak boleh menengok kanan kiri tanpa dlarurat, menghadap gurunya
dengan keseluruhan tubuhnya, mendengar perkataan guru dengan seksama,
memandangnya, mencermati arahannya sehingga guru tidak perlu mengulangi lagi
penjelasannya. Tidak perlu menengok kanan-kiri atau arah atas tanpa ada hajat,
terlebih saat guru membahas pelajar. Saat ada keramaian di tengah-tengah
pelajaran, murid tak perlu belingsatan tak beraturan, dianjurkan tetap tenang.
Dianjurkan pula untuk
tidak melipat lengan baju, tidak bermain-main dengan kedua tangan atau kakinya atau
anggota tubuh yang lain, tidak membuka mulut, tidak menggerakan gigi, tidak
memukul lantai atau benda lainnya, tidak menggenggam jari jemari, tidak
bermain-main dengan sarung atau pakainnya, tidak bersandar di tembok atau
bantal, tidak membelakangi gurunya, tidak menceritakan hal-hal yang
menertawakan atau perbincangan yang tidak pantas.
Tidak banyak tertawa
berlebihan di hadapan guru, bila terpaksa harus tertawa dianjurkan tersenyum
tanpa bersuara. Sebisa mungkin tidak berdehem, saat terpaksa bersin, hendaknya
mengecilkan volume suaranya sebisa mungkin serta menutupi wajahnya dengan sapu
tangan. Ketika menguap, dianjurkan menutup mulut.
Di majelisnya guru,
hendaknya menjaga adab beserta rekan-rekannya guru dan segenap hadirin.
Selayaknya menghormati teman-teman sang guru atau para seniornya, sesungguhnya
bersikap santun kepada mereka adalah bagian dari beradab kepada guru dan
menghormati majelisnya. Dianjurkan pula untuk tidak maju atau mundur dari
barisan dengan niat membuat halaqah sendiri, tidak berbicara menyimpang saat
pelajaran berlangsung atau pembicaraan yang dapat memotong pembahasan.
Ketika sebagian siswa
berlaku buruk kepada rekan yang lain, hendaknya tidak membentaknya, hanya gur
yang berhak melakukannya, kecuali mendapat mandat dari guru. Ketika gurunya
dicaci, wajib bagi segenap siswa secara kolektif untuk membela gurunya,
memperingatkan pihak yang mencaci, bila perlu membentaknya. Dianjurkan pula
tidak mendahului guru dalam menjelaskan sebuah permasalahan atau menjawab
pertanyaan kecuali atas seizinnya.
Termasuk memuliakan
guru adalah tidak duduk di sampingnya, tempat salatnya atau selimutnya. Bila
gurunya yang memerintahkan, maka sebaiknya menolak, kecuali ia betul-betul
yakin gurunya merasakan keberatan atas penolakannya.
KH. Hasyim Asy’ari
selanjutnya menyinggung perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai mana yang
lebih utama antara mematuhi perintah guru atau menempuh jalan adab. Menurut
pandangan Hadlratus Syekh, diperinci. Mematuhi perintah guru lebih utama jika
sang guru betul-betul menekankan perintahnya tersebut. Namun bila tidak
demikian, maka lebih baik menempuh jalan adab, meski dengan menolak perintah
guru. Sebab, bisa jadi gurunya sebatas ingin menguji tatak rama muridnya dan
sebatas mana kepedulian siswa terhadap sang guru.
Kesembilan, berbicara
yang baik kepada guru.
Sebisa mungkin murid
menghindari perkataan “kenapa?”, “saya tidak setuju”, “dari mana keterangannya”
dan ucapan protes lainnya di hadapan guru. Bila maksudnya adalah untuk meminta
penjelasan dari guru, maka hendaknya dengan tutur kata yang sopan dan pelan-pelan.
Lebih baik lagi disampaikan di kesempatan yang lain dengan niatan meminta
penjelasan, bukan bermaksud menguji atau menentang gurunya.
Bila penjelasan guru
berbeda dengan tokoh yang lain atau literatur yang dibaca murid, tidak sopan
pelajar membandingkannya di hadapan guru, misalkan “yang saya dengar anda
menjelaskan demikian, sedangkan menurut Syekh ini demikian, menurut kitab ini
demiian” “apa yang anda jelaskan tidak benar” dan perkataan yang semisalnya.
Saat guru keliru
menjelaskan, murid harus memaklumi. Hal yang demikian hendaknya tidak
mengurangi sedikitpun ta’zhimnya kepada sang guru. Sesungguhnya kekeliruan
adalah hal yang wajar pada diri manusia, keterjagaan hanya dimiliki oleh para
nabi ‘alaihimus shalatu was salam. []
Bersambung….
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar