Fath al-Dzari’ah, Manhaj
Inovatif dalam Penetapan Hukum Islam
Jika sebelumnya kita pernah membahas manhaj
antisipatif (sadd al-dzarâi’), maka kali ini kita akan membahas antitesa
dari manhaj antisipatif tersebut, yaitu manhaj inovatif. Manhaj inovatif ini
dalam ushul fiqih ditengarai sebagai fathu al-dzarâi’.
Pernahkah Anda bertanya mengapa boleh
melakukan jual beli alat-alat pertanian seperti sabit dan cangkul? Sudah pasti
Anda akan menjawab bahwa alat-alat itu dimaksudkan untuk alasan mempermudah
pengelolaan lahan pertanian dan perkebunan. Padahal, bisa juga orang menilai
bahwa alat-alat sebagaimana dimaksud itu adalah senjata tajam, yang bisa
dipakai untuk melakukan aksi kejahatan. Tapi, pemerintah tidak melarangnya dalam
aksi jual beli di pasaran. Bahkan tanpa izin. Alasan apakah yang dipakai?
Tadi dijawab bahwa alat itu dimaksudkan untuk
mempermudah pengelolaan lahan pertanian. Aspek ini disebut dengan aspek
maslahah (kebaikan dan positif). Dampak lainnya adalah meningkatkatkan ekonomi
petaninya. Ini juga bagian dari maslahah kedua. Bagi lembaga amil zakat infak
dan shadaqah, bisa membantu peningkatan perolehan zakat. Dengan hasil pertanian
yang berlimpah, maka zakat masyarakat yang bisa diserap menjadi semakin meningkat
pula. Ini masuk maslahah yang ketiga, demikian seterusnya.
Jika demikian, apakah itu berarti bahwa jual
beli alat pertanian menjadi wajib? Logikanya begini: “karena zakat itu wajib,
maka mengupayakan peningkatan pendapatan dari harta zakat menjadi wajib pula.
Jika peningkatan pendapatan itu lahir dari akibat penyediaan sarana (wasîlah),
maka mengupayakan terpenuhinya wasîlah menjadi wajib pula. Diksi
“mengupayakan wasilah” inilah yang merupakan sasaran utama dari kajian kita
yakni manhaj inovatif atau biasa yang dikenal sebagai fathu al-dzarâi’.
Kemunculan teori fathu al-dzarâi’ ini
pada dasarnya adalah dilatarbelakangi oleh sebuah kaidah fiqih, bahwasanya: مالايتم الواجب إلا به فهو واجب, yaitu: sarana yang bisa menyempurnakan perkara wajib maka
mengusahakannya adalah wajib pula [Abdu al-Hamid Hakim, Al-Bayan, Semarang:
Thaha Putra, 1994: 5]. Logikanya, penggalan dari kaidah ini secara tidak
langsung juga mengamanatkan perlunya dibuka wasilah (keran) menuju pada
tercapainya sempurnanya perkara wajib. Sebagaimana bunyi kaidah fiqih: الأمر بالشيء أمر بوسائله, yaitu “perintah melaksanakan suatu perkara, adalah perintah
mengusahakan sarananya pula.”
Sempurnanya perkara wajib adalah maslahah.
Ketidaksempurnaannya adalah mafsadah (kerusakan). Jadi, dengan
mengupayakan wasilah bagi sempurnanya perkara wajib adalah sebuah kemaslahatan.
Membuka kran maslahah adalah wajib. So, perlu dilakukan inovasi dengan jalan
mengusahakan. Jadi, kesimpulan lahirnya kewajiban “mengusahakan” (berinovasi),
pada dasarnya adalah ditentukan oleh ‘illat hukum (alasan utama dari
hukum). Wasîlah itu sendiri bahasa fiqihnya adalah al-dzarî’ah.
Dilihat dari segi illat hukum (maslahah atau
mafsadah), maka mengusahakan wasîlah adakalanya bisa diterima dan adakalanya
harus ditolak.
1. Boleh diupayakan sebab adanya unsur
maslahah. Pengupayaan wasîlah semacam ini masuk bahasan manhaj fiqih inovatif (fathu
al-dzarî’ah).
2. Ketidakbolehan mengupayakan adalah
disebabkan karena adanya faktor mafsadah yang bersifat potensial. Pencegahannya
merupakan bahasan dari manhaj fiqih antisipatif (sadd al-dzarî’ah).
Dalam konteks ekonomi syariah, cara
menentukan illat hukum ini bisa dilihat dari dua sudut pandang, antara lain: 1)
berdasarkan motif (niat) pelaku sejak awal, dan 2) berdasarkan akibat/hasil
akhir suatu produk.
Motif
Yang dimaksud dengan motif (maqashid)
di sini adalah niat/qashdu seseorang dalam melaksanakan suatu perbuatan,
yaitu apakah motifnya mengarah kepada sesuatu yang dilarang syariat atau
tidak.
Suatu misal ketika ada sebuah dealer/showroom
mobil menerapkan mekanisme pembayaran leasing sebagai sarana atau wasîlah
perdagangannya untuk tujuan membantu pembeli yang tidak memiliki kecukupan
finansial untuk membeli dan juga menjembatani keterbatasan modal pihak showroom
mobil sehingga roda usahanya tetap terus bisa berputar meski ia melayani penjualan
mobil dengan modal besar, maka unsur menjembatani keduanya melalui mekanisme leasing
ini adalah merupakan maslahah. Kemaslahatan tampak dari tetap
terjaganya roda usaha showroom, dan keterbatasan finansial pembeli yang
bertanggung jawab. Pembatasan pembeli dengan memasukkan “unsur pembeli yang
bertanggung jawab” ini tidak lain untuk menghindari sebab terjadinya kemacetan
kredit sehingga berakibat pada tenggelamnya pembeli oleh tanggungan hutang yang
tidak mampu ditanggungnya, dan juga menghindari gulung tikarnya bank selaku
perantara kedua pihak showroom dan pembelinya. Adapun, untuk mengenal apakah
pembeli termasuk pihak yang bertanggung jawab atau tidak, maka diperlukan
survei.
Kasus di atas, jika diklasifikasikan akan
menjadi sebagai berikut:
a. Survei merupakan wasîlah (dzarîah)
untuk mendapatkan pembeli yang potensial.
b. Pembeli yang potensial merupakan illat hukum
(alasan hukum)
c. Penjagaan harta (hifdh al-mâl) dari
bank yang menjadi wasilah keduanya merupakan maslahah
d. Pengalihan tanggungan dari “pembeli ke
dealer” menjadi “pembeli ke bank” masuk menjadi bagian dari akad “hiwâlah”.
Pengalihan tanggungan tujuannya adalah agar pihak dealer tetap bisa
melangsungkan usahanya (hifdh al-mâl) adalah bagian dari maslahah yang
dikehendaki.
Akibat
Akibat yang dimaksud di sini adalah akhir
daripada transaksi (purna akad). Mempertimbangkan “suatu akibat” tentunya
adalah tanpa melihat motif atau niat pelaku, melainkan pada indikator potensi
langsung dari pelaku. Siapa pelakunya? Tidak lain dan tidak bukan adalah dua
orang yang melakukan transaksi.
Jika akibat dari transaksi adalah sesuatu
yang dilarang oleh syariat (mafsadah), maka membuka celah bagi
terbukanya peluang transaksi, hukumnya adalah haram. Contoh dari mafsadah yang
dimaksud di sini misalnya adalah macetnya dana bank yang berperan menjembatani
kedua pihak antara dealer dan pembeli. Macetnya dana pihak yang
memediasi adalah bagian dari tindakan itlâfu al-mâl (merusak harta),
bisa diqiyaskan dengan orang yang memiliki hewan ternak, kemudian tanpa membuat
kandang atau mencincangnya agar tidak merusak tanaman orang lain (Wahbah
al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhû, Juz II, Beirut: Dar
al-Fikri al-Mu’âsir, 1986: 178-179). Ketiadaan mencincang hewan ternak
menempati manzilah (derajat) ketiadaan survey pelaku transaksi.
Indikator bolehnya menerapkan manhaj inovatif
Melihat dari uraian di atas, maka dalam
praktik ekonomi, sebenarnya ada empat derajat kemungkinan bolehnya melakukan
dorongan kepada suatu jenis usaha berdasarkan indikator potensial yang
dimilikinya. Keempat hal tersebut adalah : 1) bisa diusahakan, 2) potensial
diupayakan, 3) mungkin bisa diupayakan, 4) tidak mungkin diupayakan.
Masing-masing memiliki indeks penilaian dan indeks kriteria yang
menunjukkan.
Sebuah usaha dipandang menempati derajat
pertama (bisa diusahakan) manakala ia menunjukkan trend positif dalam
perjalanan usahanya. Derajat penilaian ini semakin menurun seiring pengalaman
usaha dari pelaku. Jika pelaku adalah seorang yang sudah amat pengalaman, maka
dia bisa menempati derajat kedua (potensial). Demikian seterusnya, sampai
derajat yang terakhir (tidak mungkin diupayakan). Suatu misal, ada orang yang
tidak pernah melakukan niaga internasional dan setiap harinya hanya bergaul
dengan orang-orang awam dalam niaga internasional, sudah barang pasti ia masuk
kategori tidak mungkin diusahakan. Ketidakmungkinan diusahakan ini merupakan
tindakan antisipatif (sadd al-dzariah). Sebaliknya, memungkinkan
diusahakan atau bisa diusahakan dengan pasti adalah bagian dari fathu
al-dzarî’ah.
Kesimpulan
Walhasil, dalam penerapannya, baik fathu
al-dzarî’ah maupun sadd al-dzarîah pada dasarnya adalah ibarat dua
keping mata uang logam yang menunjukkan sisi pandangan yang berbeda. Perbedaan
ditentukan berdasarkan tingkat kejelekan dan kebaikan dari tujuan (sebab) dan
hasil akhir (musabbab/akibat). Kualitas tujuan dan hasil akhir merupakan
bagian dari yang dipertimbangkan dalam aplikasinya. Semakin baik kualitasnya,
maka peluang fathu al-dzarîah semakin besar. Semakin buruk, maka tren sadd
al-dzari’ah semakin memungkinkan dilakukan. Kualitas ditentukan berdasarkan
standar maslahah dan mafsadah. Wallâhu a’lam. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pesantren
Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan
Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim dan Wakil
Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar