Jumat, 25 Oktober 2019

(Ngaji of the Day) Fath al-Dzari’ah, Manhaj Inovatif dalam Penetapan Hukum Islam


Fath al-Dzari’ah, Manhaj Inovatif dalam Penetapan Hukum Islam

Jika sebelumnya kita pernah membahas manhaj antisipatif (sadd al-dzarâi’), maka kali ini kita akan membahas antitesa dari manhaj antisipatif tersebut, yaitu manhaj inovatif. Manhaj inovatif ini dalam ushul fiqih ditengarai sebagai fathu al-dzarâi’

Pernahkah Anda bertanya mengapa boleh melakukan jual beli alat-alat pertanian seperti sabit dan cangkul? Sudah pasti Anda akan menjawab bahwa alat-alat itu dimaksudkan untuk alasan mempermudah pengelolaan lahan pertanian dan perkebunan. Padahal, bisa juga orang menilai bahwa alat-alat sebagaimana dimaksud itu adalah senjata tajam, yang bisa dipakai untuk melakukan aksi kejahatan. Tapi, pemerintah tidak melarangnya dalam aksi jual beli di pasaran. Bahkan tanpa izin. Alasan apakah yang dipakai? 

Tadi dijawab bahwa alat itu dimaksudkan untuk mempermudah pengelolaan lahan pertanian. Aspek ini disebut dengan aspek maslahah (kebaikan dan positif). Dampak lainnya adalah meningkatkatkan ekonomi petaninya. Ini juga bagian dari maslahah kedua. Bagi lembaga amil zakat infak dan shadaqah, bisa membantu peningkatan perolehan zakat. Dengan hasil pertanian yang berlimpah, maka zakat masyarakat yang bisa diserap menjadi semakin meningkat pula. Ini masuk maslahah yang ketiga, demikian seterusnya. 

Jika demikian, apakah itu berarti bahwa jual beli alat pertanian menjadi wajib? Logikanya begini: “karena zakat itu wajib, maka mengupayakan peningkatan pendapatan dari harta zakat menjadi wajib pula. Jika peningkatan pendapatan itu lahir dari akibat penyediaan sarana (wasîlah), maka mengupayakan terpenuhinya wasîlah menjadi wajib pula. Diksi “mengupayakan wasilah” inilah yang merupakan sasaran utama dari kajian kita yakni manhaj inovatif atau biasa yang dikenal sebagai fathu al-dzarâi’

Kemunculan teori fathu al-dzarâi’ ini pada dasarnya adalah dilatarbelakangi oleh sebuah kaidah fiqih, bahwasanya: مالايتم الواجب إلا به فهو واجب, yaitu: sarana yang bisa menyempurnakan perkara wajib maka mengusahakannya adalah wajib pula [Abdu al-Hamid Hakim, Al-Bayan, Semarang: Thaha Putra, 1994: 5]. Logikanya, penggalan dari kaidah ini secara tidak langsung juga mengamanatkan perlunya dibuka wasilah (keran) menuju pada tercapainya sempurnanya perkara wajib. Sebagaimana bunyi kaidah fiqih: الأمر بالشيء أمر بوسائله, yaitu “perintah melaksanakan suatu perkara, adalah perintah mengusahakan sarananya pula.” 

Sempurnanya perkara wajib adalah maslahah. Ketidaksempurnaannya adalah mafsadah (kerusakan). Jadi, dengan mengupayakan wasilah bagi sempurnanya perkara wajib adalah sebuah kemaslahatan. Membuka kran maslahah adalah wajib. So, perlu dilakukan inovasi dengan jalan mengusahakan. Jadi, kesimpulan lahirnya kewajiban “mengusahakan” (berinovasi), pada dasarnya adalah ditentukan oleh ‘illat hukum (alasan utama dari hukum). Wasîlah itu sendiri bahasa fiqihnya adalah al-dzarî’ah

Dilihat dari segi illat hukum (maslahah atau mafsadah), maka mengusahakan wasîlah adakalanya bisa diterima dan adakalanya harus ditolak. 

1. Boleh diupayakan sebab adanya unsur maslahah. Pengupayaan wasîlah semacam ini masuk bahasan manhaj fiqih inovatif (fathu al-dzarî’ah). 

2. Ketidakbolehan mengupayakan adalah disebabkan karena adanya faktor mafsadah yang bersifat potensial. Pencegahannya merupakan bahasan dari manhaj fiqih antisipatif (sadd al-dzarî’ah).

Dalam konteks ekonomi syariah, cara menentukan illat hukum ini bisa dilihat dari dua sudut pandang, antara lain: 1) berdasarkan motif (niat) pelaku sejak awal, dan 2) berdasarkan akibat/hasil akhir suatu produk. 

Motif

Yang dimaksud dengan motif (maqashid) di sini adalah niat/qashdu seseorang dalam melaksanakan suatu perbuatan, yaitu apakah motifnya mengarah kepada sesuatu yang dilarang syariat atau tidak. 

Suatu misal ketika ada sebuah dealer/showroom mobil menerapkan mekanisme pembayaran leasing sebagai sarana atau wasîlah perdagangannya untuk tujuan membantu pembeli yang tidak memiliki kecukupan finansial untuk membeli dan juga menjembatani keterbatasan modal pihak showroom mobil sehingga roda usahanya tetap terus bisa berputar meski ia melayani penjualan mobil dengan modal besar, maka unsur menjembatani keduanya melalui mekanisme leasing ini adalah merupakan maslahah. Kemaslahatan tampak dari tetap terjaganya roda usaha showroom, dan keterbatasan finansial pembeli yang bertanggung jawab. Pembatasan pembeli dengan memasukkan “unsur pembeli yang bertanggung jawab” ini tidak lain untuk menghindari sebab terjadinya kemacetan kredit sehingga berakibat pada tenggelamnya pembeli oleh tanggungan hutang yang tidak mampu ditanggungnya, dan juga menghindari gulung tikarnya bank selaku perantara kedua pihak showroom dan pembelinya. Adapun, untuk mengenal apakah pembeli termasuk pihak yang bertanggung jawab atau tidak, maka diperlukan survei. 

Kasus di atas, jika diklasifikasikan akan menjadi sebagai berikut: 

a. Survei merupakan wasîlah (dzarîah) untuk mendapatkan pembeli yang potensial. 

b. Pembeli yang potensial merupakan illat hukum (alasan hukum)

c. Penjagaan harta (hifdh al-mâl) dari bank yang menjadi wasilah keduanya merupakan maslahah

d. Pengalihan tanggungan dari “pembeli ke dealer” menjadi “pembeli ke bank” masuk menjadi bagian dari akad “hiwâlah”. Pengalihan tanggungan tujuannya adalah agar pihak dealer tetap bisa melangsungkan usahanya (hifdh al-mâl) adalah bagian dari maslahah yang dikehendaki. 

Akibat

Akibat yang dimaksud di sini adalah akhir daripada transaksi (purna akad). Mempertimbangkan “suatu akibat” tentunya adalah tanpa melihat motif atau niat pelaku, melainkan pada indikator potensi langsung dari pelaku. Siapa pelakunya? Tidak lain dan tidak bukan adalah dua orang yang melakukan transaksi. 

Jika akibat dari transaksi adalah sesuatu yang dilarang oleh syariat (mafsadah), maka membuka celah bagi terbukanya peluang transaksi, hukumnya adalah haram. Contoh dari mafsadah yang dimaksud di sini misalnya adalah macetnya dana bank yang berperan menjembatani kedua pihak antara dealer dan pembeli. Macetnya dana pihak yang memediasi adalah bagian dari tindakan itlâfu al-mâl (merusak harta), bisa diqiyaskan dengan orang yang memiliki hewan ternak, kemudian tanpa membuat kandang atau mencincangnya agar tidak merusak tanaman orang lain (Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhû, Juz II, Beirut: Dar al-Fikri al-Mu’âsir, 1986: 178-179). Ketiadaan mencincang hewan ternak menempati manzilah (derajat) ketiadaan survey pelaku transaksi. 

Indikator bolehnya menerapkan manhaj inovatif

Melihat dari uraian di atas, maka dalam praktik ekonomi, sebenarnya ada empat derajat kemungkinan bolehnya melakukan dorongan kepada suatu jenis usaha berdasarkan indikator potensial yang dimilikinya. Keempat hal tersebut adalah : 1) bisa diusahakan, 2) potensial diupayakan, 3) mungkin bisa diupayakan, 4) tidak mungkin diupayakan. Masing-masing memiliki indeks penilaian dan indeks kriteria yang menunjukkan. 

Sebuah usaha dipandang menempati derajat pertama (bisa diusahakan) manakala ia menunjukkan trend positif dalam perjalanan usahanya. Derajat penilaian ini semakin menurun seiring pengalaman usaha dari pelaku. Jika pelaku adalah seorang yang sudah amat pengalaman, maka dia bisa menempati derajat kedua (potensial). Demikian seterusnya, sampai derajat yang terakhir (tidak mungkin diupayakan). Suatu misal, ada orang yang tidak pernah melakukan niaga internasional dan setiap harinya hanya bergaul dengan orang-orang awam dalam niaga internasional, sudah barang pasti ia masuk kategori tidak mungkin diusahakan. Ketidakmungkinan diusahakan ini merupakan tindakan antisipatif (sadd al-dzariah). Sebaliknya, memungkinkan diusahakan atau bisa diusahakan dengan pasti adalah bagian dari fathu al-dzarî’ah

Kesimpulan 

Walhasil, dalam penerapannya, baik fathu al-dzarî’ah maupun sadd al-dzarîah pada dasarnya adalah ibarat dua keping mata uang logam yang menunjukkan sisi pandangan yang berbeda. Perbedaan ditentukan berdasarkan tingkat kejelekan dan kebaikan dari tujuan (sebab) dan hasil akhir (musabbab/akibat). Kualitas tujuan dan hasil akhir merupakan bagian dari yang dipertimbangkan dalam aplikasinya. Semakin baik kualitasnya, maka peluang fathu al-dzarîah semakin besar. Semakin buruk, maka tren sadd al-dzari’ah semakin memungkinkan dilakukan. Kualitas ditentukan berdasarkan standar maslahah dan mafsadah. Wallâhu a’lam. []

Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar