Jumat, 11 Oktober 2019

(Ngaji of the Day) Hari-hari Penuh Ujian Sang Imam Penggagas Istishlah dan Istihsan


Hari-hari Penuh Ujian Sang Imam Penggagas Istishlah dan Istihsan

Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, bahwa mazhab Mâlikî dan mazhab Hanbali, keduanya adalah mazhab penerima konsepsi istishlâh (maslahatu al-mursalah), yaitu suatu metode penarikan maslahat dari suatu objek hukum yang sedang diamati. Jika kita terpaku pada pemaknaan maslahat saja tanpa adanya ilustrasi gambaran kehidupan Sang Imam, ada muncul kekhawatiran bahwa yang dinamakan sebagai istishlâh adalah mencari kemudahannya saja tanpa berani menghadapi risiko.

Bagaimanapun juga konsep ini cenderung sering menjebak fuqahâ’ sehingga kemudian ia bersikap tasâhul (menggampangkan) di dalam hukum tanpa berusaha mencari konsepsi idealitasnya. Konsep idealitas yang dimaksud di sini adalah ihtiyâth (kehati-hatian dalam menggali hukum), sebagaimana salah satu ciri khas mazhab Syâfi’i. 

Penting diketahui bahwa Imâm Ahmad Ibnu Hanbal Al-Syaibâni adalah murid dari Sang Imam al-Syâfi’i. Di dalam sebuah teks disebutkan bahwa al-Thabârî (pemilik kitab Tafsir Al-Thabâri) pernah menolak menyebut Imâm Ahmad sebagai mujtahid. Beliau lebih suka menyebut pendiri mazhab Hanbali ini sebagai muttabi’ dari Imâm al-Syâfii disebabkan karena dalam banyak hal, ia mengadopsi pemikirannya.

Suatu ketika pernah keluar pernyataan, bahwa Imam Ahmad ibnu Hanbal, apabila dihadapkan pada sebuah problem fiqih, dalam kondisi ia belum mengetahui solusi dalil pemecahannya, maka ia akan merujuk ke al-Syâfii. Sikap ini diambil khususnya apabila dia belum menjumpainya di dalam teks-teks hadîts yang berhasil dihimpunnya. Itulah sebabnya, warna pemikiran fiqih mazhab Hanbali terkadang memiliki kesesuaian dengan mazhab al-Syâfii di dalam perihal hukum, meskipun juga warna dari pola pemikiran Mâlikiyah juga kerap mewarnai fiqih Hanbali ini.

Lantas bagaimana penerapan maslahat itu sendiri digambarkan oleh Sang Imam Ahmad ibnu Hanbal? Kita bisa merujuk pada sejarah saat beliau dihadapkan pada satu problem yang beliau sendiri selaku individu yang terlibat dalam masalah hukum itu. Kebetulan masalah tersebut adalah berkaitan dengan persoalan tauhid. Masa itu dikenal dengan masa ayyâmu al-mihnah (hari-hari penuh dengan ujian). Para ahli sejarah Islam menyebutnya sebagai masa inkuisisi, yaitu masa penuh cobaan  bagi Sang Imam.

Saat itu, Bani Abbâsiyyah menduduki puncak kekuasaannya dengan pusat pemerintahan di Damaskus Siria yang berhasil direbutnya dari wilayah kekuasaan Bani Umayyah. Adapun Bani Umayyah memiliki pusat pemerintahan di Madînah. Saat peristiwa ayyâmu al-mihnah ini terjadi, tampuk kekhalifahan Banî Abbâsiyah (Damaskus) dipegang oleh khalifah al-Makmun (218 H). Bentuk mihnah ini adalah Sang Khalifah memberikan “dekret” bahwasanya wajib bagi setiap hakim (qâdlî), ahli hadits (muhaddits) dan imam-imam masjid di Baghdad memiliki i’tiqad (keyakinan) bahwa “Al-Qur’an adalah makhluk”. Seorang Imam dan qâdli akan dinilai baik, manakala ia menjawab bahwasanya Al-Qur’an adalah makhluk ciptaan Allah SWT. Sebaliknya, ia akan dinilai buruk manakala ia menjawab bahwasanya Al-Qur’an bukanlah makhluk. 

Peristiwa ini mengantarkan Imam Ahmad ibnu Hanbal ke penjara selama beberapa kali karena beliau menolak untuk mengatakan hal itu. Ia tetap berkeyakinan bahwasanya Al-Qur’an adalah Kalam Allah SWT yang bersifat Qadîm sebagaimana Qadîmnya Dzat Allah SWT. Puncaknya, beliau pernah diekstradisi dari Baghdad pada masa khalifah Al-Wasiq. Imbasnya kemudian, pada masa kekhalifahan Al-Mutawakkil (232 H), ideologi negara yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dicabut. 

Pengalaman yang sama juga terjadi pada pengasas istihsân, yaitu Imam Abû Hanîfah. Dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Ubaidillah ibnu Amr disebutkan bahwa sang imam pernah menerima dera (cambuk) dari kekhalifahan Abû al-Manshûr sebanyak 110 kali cambukan. Masalahnya sederhana, yaitu beliau menolak diangkat sebagai hakim negara (qâdli). Apa sih beratnya menjadi seorang qâdli? Bukankah beliau sang imam saat itu adalah seorang pakar hukum di bidang fiqih? Mengapa beliau menolak dan justru lebih memilih untuk menolak jabatan yang disampaikan oleh seorang kepala negara? Inilah uniknya. Padahal, beliau adalah pengasas istihsân itu. [Ahmad Ibnu Ali Ibnu Tsabit Ibnu Ahmad Ibnu Muhdi al-Baghdâdî, Tarikh Al-Baghdâdî, Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmî, 2001: 13/326]. 

Yang menarik untuk kita cermati di sini adalah, mengapa para pengasas istihsân dan istishlâh seolah tidak menggunakan kaidah yang mereka ajarkan? Andaikan Imam Abû Hanîfah tidak menolak jabatan qâdli, bisa jadi beliau tidak akan menerima hukum dera. Demikian juga, Imam Ahmad ibnu Hanbal, andaikan beliau cukup dengan mengatakan bahwa “Al-Qur’an ini (yang ada di tangan) adalah makhluk,” bukankah itu akan lebih menyelamatkan”. Namun, kedua hal itu tidak dilakukan oleh masing-masing Imam. Tampaknya ada pertimbangan dasar yang menyebabkan keduanya menolak apa yang dipaksakan oleh sang khalifah kepada beliau. Lantas apa yang menjadi dasar pertimbangannya?


Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan beliau bersikukuh untuk tidak menerapkan kaidah yang diasaskannya. Pertama, adalah beliau menimbang bahwa apa yang dipaksakan kepada beliau adalah hal yang bersifat prinsipil. Apa yang dipaksakan kepada Imam Ahmad ibnu Hanbal adalah berhubungan dengan masalah i’tiqad (keyakinan) sebagai buah dari i’tiqad Mu’tazilah yang saat itu menjadi mazhab resmi negara. Istishlâh dalam urusan i’tiqad merupakan bagian yang dilarang disebabkan ada kekhawatiran masyarakat yang mengetahuinya menjadi salah duga bahwa apa yang dinyatakan oleh sang imam adalah pandangan baru hasil ijtihad beliau. 

Pernyataan Al-Qur’an adalah makhluk dapat menunjuk pada dua makna majâzî dan makna haqîqî. Khawatirnya masyarakat menganggapnya sebagai bermakna haqîqî, padahal sang imam bermaksud pada makna majâzî yaitu Al-Qur’an yang ada di tangan yang terdiri atas lembar mushaf dan dicetak. Maka tak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an tersebut adalah makhluk. Adapun hakikinya Al-Qur’an adalah Kalam Allah SWT yang bersifat Qadîm sebagaimana Qadimnya Dzat Allah SWT yang bersifat al-Kalîm. Jadi, dalam hal ini beliau (Ahmad ibnu Hanbal) menolak penerapan istishlâh untuk hal yang berhubungan dengan i’tiqâd. 

Kedua, ada dugaan beliau menolak adalah semata untuk menghindari masalah politis yang saat itu tengah marak terjadi. Sebagaimana diketahui bahwa pada masa sang imam, tengah gencar-gencarnya dilakukan perburuan hadits. Keberpihakan Imam pada salah satu dinasti, akan dapat berakibat resistensi kelompok yang berada di kubu yang berseberangan. Padahal, dari kubu yang berseberangan tersebut terdapat sejumlah perawi hadits yang tidak ditemukan di kubu lainnya. Misalnya adalah hadits yang meriwayatkan tentang perihal ahlu bait Nabi, dan hal ihwal Nabi ketika berada di lingkungan keluarga. Sudah pasti, hadits-hadits yang berhubungan dengan hal tersebut ada pada para perawi yang berkaitan langsung dengan keluarga Nabi, seperti Siti Aisyah radliyallâhu ‘anhâ. Jadi, hikmah penolakan Sang Imam adalah bermanfaat besar bagi keselamatan riwayat hadits guna menggali hukum yang terdapat di dalam ayat-ayat Al-Qur’an al-Karîm. Adanya maslahat yang lebih besar tersebut dikenal dengan istilah fathu al-dzarî’ah, antitesa dari manhaj antisipatif saddu al-dzarîah.

Namun, bagaimanapun juga, sikap sang imam ini secara tidak langsung juga membawa pengaruh bagi para pengikutnya untuk merumuskan batasan-batasan kebolehan menerapkan istihsân dan istislâh. Batas-batas inilah yang kelak lebih memperkaya wacana penerapan kedua instrumen hukum ini untuk diaplikasikan dalam menggali hukum fiqih di era-era berikutnya, khususnya dalam bidang ekonomi syarîah. Wallâhu a’lam bish shawâb. []

Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar