Presiden Jokowi 2019-2024
Oleh: Azyumardi Azra
Presiden Joko Widodo, atau yang biasa dipanggil Jokowi, dalam
waktu 10 hari (20 Oktober 2019) mendatang akan dilantik untuk periode kedua
jabatan kepresidenannya. Setelah memerintah Indonesia selama lima tahun bersama
Wakil Presiden M Jusuf Kalla, lima tahun ke depan, Jokowi akan memimpin
Indonesia dengan didampingi Wapres KH Ma’ruf Amin.
Pembangunan infrastruktur fisik secara besar-besaran di berbagai
pelosok Nusantara agaknya merupakan warisan utama Jokowi-Kalla. Hasil dan
dampak positif pembangunan itu mulai dirasakan masyarakat, dan dalam jangka menengah
serta panjang, dampak positifnya di berbagai lapangan kehidupan boleh jadi akan
semakin nyata.
Bagaimana di bidang lain, seperti infrastruktur sosial-budaya,
politik (demokrasi), agama, dan pendidikan? Mungkin, sebagian pengkaji dan
pengamat tidak terlalu yakin dengan pencapaian Jokowi-Kalla lima tahun ini;
cukup banyak pandangan dan penilaian kian kritis dari mereka.
Dalam dua tahun terakhir, semakin banyak literatur yang ditulis
ahli dari dalam atau luar negeri tentang kecenderungan meningkatnya
otoritarianisme dan oligarkisme di Indonesia. Kecenderungan ini juga mereka
lihat dalam beberapa kebijakan dan langkah Jokowi. Bagi mereka, demokrasi
Indonesia tidak mengalami kemajuan; sebaliknya cenderung merosot menjadi flawed democracy,
demokrasi cacat.
Namun, untuk bersikap adil pada Presiden Jokowi, diperlukan kajian
komprehensif tentang pencapaian pembangunan, baik di bidang infrastruktur,
ekonomi, maupun politik (demokrasi) sepanjang periode 2014-2019. Kajian
mengenai hal ini umumnya masih parsial dan sepotong-sepotong.
Bagaimana periode kedua Presiden Jokowi bersama Wapres Ma’ruf
Amin? Secara normatif berbagai target pemerintahan yang akan datang telah
terumuskan dalam Nawacita Jilid II.
Fokus utamanya bergeser dari pembangunan infrastruktur fisik ke
pembangunan sumber daya manusia (SDM) untuk menghasilkan manusia Indonesia yang
unggul dan maju. Nawacita II juga berfokus pada peningkatan produktivitas dan
daya saing ekspor manufaktur serta industri hulu strategis.
Dalam kaitan dengan itu, ada sejumlah langkah strategis yang akan
ditempuh, yaitu penguatan iklim investasi, keterbukaan perdagangan, dan
keterlibatan dalam jaringan produksi global. Langkah lainnya adalah penguatan
kemampuan riset dan inovasi, serta akselerasi adopsi teknologi.
Situasi dan kondisi yang mesti dilalui Jokowi untuk mewujudkan
Nawacita II cenderung lebih sulit dibandingkan dengan saat Nawacita I.
Lingkungan sosial, politik, dan ekonomi, khususnya di dalam negeri, telah
berubah, yang secara umum tidak lagi sekondusif 2014.
Berkurangnya tingkat kondusivitas tersebut, misalnya, terlihat
dengan berkurangnya antusiasme publik pada Jokowi dan Ma’ruf Amin. Secara
psikologi sosial politik, kemerosotan antusiasme itu mudah dipahami. Publik
umumnya menjadi sudah biasa dengan kebijakan, langkah, gaya dan gesture Jokowi; tidak
banyak lagi yang bisa membangkitkan antusiasme.
Kemerosotan kondusivitas itu terlihat jelas dengan maraknya unjuk
rasa berbagai elemen masyarakat menjelang akhir masa pemerintahan Jokowi-Kalla.
Unjuk rasa yang dipicu revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi serta
rencana pengesahan sejumlah RUU kontroversial lainnya itu melibatkan mahasiswa
dan pelajar di sejumlah kota di Tanah Air. Tingkat anarkisme yang terjadi di
lapangan di antara berbagai pihak yang terlibat unjuk rasa juga terlihat
cenderung meningkat.
Kini unjuk rasa sudah menyurut, tetapi bayang-bayang ketidakpuasan
masih mengimbas pada Presiden Jokowi. Di pihak lain, masih banyak organisasi
dan kelompok mahasiswa yang menuntut Jokowi segera mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK.
Dalam kaitan dengan penanganan unjuk rasa, pimpinan dan aktivis
mahasiswa yang didukung organisasi dan kelompok pembela hak asasi manusia mempersoalkan
komitmen Jokowi dalam penegakan HAM. Cukup banyak aktivis mahasiswa yang
ditahan aparat Polri dan diduga mendapat perlakuan tidak manusiawi seolah tanpa
ada kontrol.
Perasaan yang sama juga muncul dari kalangan masyarakat sipil,
yang baik secara sendiri maupun bersama mengimbau Jokowi untuk mengeluarkan
Perppu KPK. Mereka sempat seolah ”mendapat angin” dari Presiden, melalui
pernyataan yang disampaikan dalam jumpa pers seusai pertemuan (26/9/2019).
Saat itu, Jokowi menyatakan akan mempertimbangkan penerbitan
Perppu KPK. Namun, kini harapan itu terlihat makin sirna. Parpol-parpol koalisi
pendukung Jokowi sangat keberatan jika dia mengeluarkan Perppu KPK.
Situasi tidak kondusif yang dihadapi Jokowi pada akhir masa
pemerintahan pertama dan di awal masa keduanya juga terkait dengan kondisi
Papua dan Papua Barat. Meski Jokowi telah melakukan pembangunan infrastruktur
besar-besaran beserta penerapan satu harga BBM di kedua provinsi ini, bara
masih mengendap seperti dalam sekam.
Bermula dengan insiden bendera Merah Putih di depan asrama
mahasiswa Papua di Surabaya (16/8/2019), keresahan yang disertai kekerasan
tampak belum juga terselesaikan, bahkan meningkat dengan peristiwa kekerasan di
Wamena (23/8/2019). Kekerasan itu tidak hanya menewaskan sejumlah warga
pendatang yang menjadi penetap, tetapi juga banyak gedung dan fasilitas umum
lain rusak, serta membuat ribuan pendatang eksodus keluar dari Wamena dan
Jayapura.
Belum jelas formula atau kebijakan yang bakal diterapkan Jokowi
untuk menyelesaikan masalah Papua dan Papua Barat. Sejauh ini, ada pandangan
kritis, Jokowi tidak berbuat optimal dalam merespons perkembangan tidak
kondusif di Papua. Boleh jadi, Jokowi akan memberikan perhatian lebih serius
setelah pelantikannya pada 20 Oktober nanti.
Dengan demikian, tantangan Jokowi pada periode 2019-2024 jelas
tidak makin sederhana. Bahkan terlihat, berbagai tantangan yang dia hadapi
semakin berat dan kompleks di tengah psikologi sosial-politik yang tak lagi
sepenuhnya mendukung. Mereka yang nanti masuk ke dalam kabinet Jokowi-Amin
semestinya siap berjuang sungguh-sungguh bersama Presiden dan Wakil Presiden
untuk mengatasi keadaan tidak menguntungkan tersebut; mengubah tantangan menuju
Indonesia yang lebih baik dan lebih maju. []
KOMPAS, 10 Oktober 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar