Nabi Muhammad SAW dan
Bid‘ah Sahabatnya dalam Shahih Bukhari
Bid’ah ada dua macam: bid’ah terpuji dan
bid’ah tercela. Bid’ah terpuji atau populer dengan sebutan bid’ah hasanah
adalah setiap perbuatan baru yang tidak bertentangan dengan syariat. Meskipun
Nabi Muhammad SAW tidak pernah melakukan, tapi bukan berarti tidak boleh
dilakukan. Sementara bid’ah tercela adalah setiap perbuatan baru yang
bertentangan dengan syariat Islam.
Sebagian orang menolak pembagian bid’ah ini
karena mereka memahami bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Dengan logika
demikian, setiap hal yang tidak dilakukan Rasulullah terutama yang berkaitan
dengan urusan ibadah, dianggap salah dan bid’ah.
Namun, kalau melihat sejarah Rasulullah dan
sahabatnya, ada beberapa fakta yang menunjukkan bahwa Rasulullah pun dalam
beberapa hal mengamini “bid’ah” yang dilakukan oleh sahabat, termasuk dalam
ibadah sekali pun. Misalnya, Shahih Al-Bukhari menyebutkan:
عن
رفاعة بن رافع رضي الله عنه قال: كنا يومًا نصلي وراء النبي صلى الله عليه وآله
وسلم فلما رفع رأسه من الركعة قال: «سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ»، قَالَ رَجُلٌ
وَرَاءَهُ: رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ،
فَلَمَّا انْصَرَفَ، قَالَ: «مَنِ المُتَكَلِّمُ» قَالَ: أَنَا، قَالَ: «رَأَيْتُ
بِضْعَةً وَثَلاَثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ
Artinya, “Rifa’ah bin Rafi’ berkata, ‘Kami
pernah shalat bersama Rasulullah, saat bangun dari ruku’ ia membaca,
‘Sami’allahu liman hamidah.” Tiba-tiba ada seorang sahabat yang membaca,
‘Rabbana wa lalakal hamd hamdan katsiran tayyiban mubarakan fihi (wahai Rabb
kami, bagi-Mu segala puji, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak, yang baik
dan penuh dengan berkah). Setelah selesai shalat, Rasul bertanya, ‘Siapa yang
mengucapkan kalimat itu?’ Sahabat itu berkata, ‘Saya Rasulullah.’ Kemudian
Rasulullah berkata, ‘Saya melihat sekitar tiga puluhan malaikat berloma-lomba
untuk siapa pertama kali yang mencatat (pahalanya),’” (HR Al-Bukhari).
Hadits ini menjelaskan bahwa lafal yang
dibaca sahabat dalam shalat tersebut tampaknya belum pernah dijelaskan Nabi
Muhammad SAW. Ketika ada sahabat yang membaca doa tersebut Rasulullah tidak
marah dan malah memuji sehingga kita pun boleh mengamalkannya. Sebab itu, Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari mengatakan:
واستدل
به على جواز إحداث ذكر في الصلاة غير مأثور إذا كان غير مخالف للمأثور
Artinya, “Hadits di atas dijadikan dalil
sebagai kebolehan membuat dzikir baru dalam shalat yang tidak ma’tsur selama
tidak bertentangan dengan ma’tsur.”
Dengan demikian, melakukan bid’ah dalam
ibadah juga dibolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat. Tentu maksud
bid’ah di sini adalah bid’ah hasanah, bukan bid’ah sayyi’ah atau dhalalah. Hal
ini sudah dilakukan pula oleh sahabat Rasulullah di hadapan beliau SAW.
Dari sini kita dapat menarik pelajaran agar
tidak terlalu cepat menyalahkan amalan yang dilakukan sekelompok orang atas
dasar Rasul tidak pernah melakukan. Karena bisa jadi apa yang dilakukan itu
merujuk pada dalil-dalil umum dalam syariat yang sebetulnya kalau dikaji tidak
bertentangan dengan syariat. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar