KHUTBAH JUMAT
Menahan Diri Menyakiti Sesama Anak Bangsa
Khutbah I
اَلْحَمْدُ
للهِ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ مَنَعَنَا بِالتَّعَاوُنِ عَلَى اْلِإثْمِ
وَالْعُدْوَانِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ
لَهُ الْمَلِكُ الدَّيَّانْ، وَأَشْهَدُ أَنَّ محمدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
الْمَبْعُوْثُ إِلَى سَائِرِ الْعَرَبِ وَالْعَجَم، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ
عَلَى مَنْ اَثْنَى اللهُ عَلَيْهِ بِخُلُقٍ حَسَن، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَان. أما بعد
فَيَا
عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْنِيْ نَفْسِيْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ. فَقَدْ فَازَ
الْمُتَّقُوْنَ.
وقال
تعالى في كتابه الكريم، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ
اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا
آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا
وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ
صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى
الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Ma’asyiral hadhirin, jamaah jumat
hafidhakumullah,
Saya berwasiat kepada pribadi saya sendiri,
juga kepada hadirin sekalian. Marilah kita senantiasa meningkatkan takwa kita
kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan berusaha melaksanakan
perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Semoga kita kelak
dimasukkan surga Allah bersama orang-orang yang bertakwa, amin.
Hadirin hafidhakumullah,
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam
Al-Qur’an:
وَالَّذِينَ
يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ
احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
Artinya: “Dan orang-orang yang menyakiti
orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka
sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” (QS Al-Ahzab:
85).
Menurut sebagian mufassir ayat tersebut
secara jelas berpesan bahwa menyakiti orang lain tanpa kesalahan merupakan
perbuatan dosa. Hal ini berbeda dengan “menyakiti” dalam konteks sanksi yang
memang diatur dalam syariat. Misalnya, pemerintah menghukum pencuri, menghukum
pembunuh, atau menghukum pelaku zina dengan hukuman yang sesuai, maka hal
tersebut diperbolehkan. Kebolehan menyakiti dalam konteks sanksi ini pun bukan
tanpa batas. Ada aturan yang mesti ditaati, seperti eksekutor adalah negara,
bukan perorangan atau kelompok; yang dihukum terbukti benar-benar melakukan
kesalahan; serta sanksi yang dijatuhkan sesuai kadar kesalahan dan aturan,
bukan semena-mena.
Menyakiti orang lain terdiri dari berbagai
macam bentuk. Ada yang menyakiti berbentuk ucapan, memukul secara fisik,
juga—pada zaman sekarang— menyakiti melalui ketikan status atau komentar di
media sosial. Apa pun bentuknya, selama itu menyinggung perasaan orang lain
tanpa hak, maka tidak diperbolehkan.
Contohnya perkataan yang menyakitkan adalah
misalnya seorang anak mengatakan kalimat “ah” kepada orang tua:
فَلَا
تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Artinya: “Maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (QS
Al-Isra’: 23).
Perkataan menyakitkan biasa kita kenal dengan
istiah ujaran kebencian. Di media sosial, fenomena demikian amat mudah kita
jumpai dan biasanya beriringan dengan provokasi permusuhan, fitnah, dan hoaks
alias berita palsu.
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,
Kita seringkali mendapat sebaran berita yang
kita sendiri tidak bisa memastikan keakuratan berita tersebut lalu kita
menyebarkannya kepada khalayak. Kita perlu belajar kepada Al-Qur’an sebagai
berikut:
إِذْ
تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ
بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ
Artinya: “(Ingatlah) di waktu kamu menerima
berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang
tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja.
Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS An-Nur: 15)
Ayat di atas melarang kita untuk menyebarkan
informasi yang kita tidak mengetahui keakuratan berita tersebut secara pasti.
Hal yang seperti demikian, bagi kita banyak yang menganggap sebagai masalah
yang remeh-temeh, tapi di hadapan Allah, masalah yang seperti ini menjadi
sangat besar.
Hadirin…
Kita patut mengambil pelajaran dengan
kisahnya Nabi Sulaiman tatkala beliau melakukan perjalanan dan beristirahat,
burung hud-hud adalah burung yang tidak tampak ketika Nabi Sulaiman mengabsen
semua pasukannya. Pada saat burung hud-hud tersebut datang, dia ditanya oleh
Nabi Sulaiman, lalu burung hud-hud menjelaskan bahwa ia menemukan seorang
wanita yang menjadi ratu dengan singgasana yang besar sedangkan sang ratu
bersama masyarakatnya tidak ada yang menyembah Allah subhanahu wa
ta’ala.
Mendapat informasi yang demikian, Nabi
Sulaiman tidak cepat-cepat percaya kepada informasi yang diberikan burung
Hud-hud. Dalam Al-Qur’an dikisahkan, Nabi Sulaiman berkata akan memverifikasi
kebenaran laporan yang diberikan burung:
قَالَ
سَنَنْظُرُ أَصَدَقْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْكَاذِبِينَ
Artinya: “Dia (Sulaiman) berkata ‘akan kami
lihat apakah kamu benar atau kamu termasuk yang berdusta’” (QS An-Naml: 27).
Dengan demikian, Al-Qur’an mengajarkan kepada
kita terhadap informasi apapun, supaya kita cek terlebih dahulu. Burung hud-hud
yang tidak bagian daripada makhluk munafiq saja, Nabi Sulaiman perlu
antisipasi, terlebih terhadap orang fasiq, dengan jelas Allah berfirman dalam
Al-Qur’an:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ
تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti
agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS
Al-Hujurat: 6)
Hadirin . .. .
Kenapa masalah informasi ini sangat penting
kita perhatikan?
Karena hal tersebut merupakan permulaan
terjadinya salah faham sehingga orang bisa menyakiti orang lain berawal dari
informasi yang ia terima, tidak difilter dengan baik.
Setelah kita bisa menerima informasi dengan
sebaik mungkin, tahap berikutnya, kita perlu mengontrol diri kita supaya jangan
menyakiti sesama umat Islam.
Rasulullah ﷺ bersabda:
المُسْلِمُ
مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، وَالمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ
مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
Artinya: “Orang Islam adalah orang yang
orang-orang muslim lain selamat atas perilaku buruk lisan dan tangannya.
Sedangkan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang
oleh Allah” (HR Bukhari).
Oleh karena itu, kalau kita mengaku sebagai
muslim sejati, Muslim yang rahmatan lil alamin, Muslim yang kaffah,
seharusnya kita menjaga mulut dan tangan kita agar orang-orang Islam semuanya
merasa nyaman dengan sikap kita. Kita perlu menjaga dan menahan diri kita untuk
tidak menyakiti orang lain. Apalagi bagi semua anak bangsa Indonesia. Kita
tidak patut berpecah belah. Jangan sampai kita mudah dipancing dan diprovokasi
dari berita-berita yang menjadikan kita bercerai berai.
Di sinilah pentingnya nilai-nilai akhlak.
Apabila kita hanya berilmu saja, iblis pun justru mempunyai ilmu yang tinggi.
Tapi agama, tidak hanya melulu membahas tentang ilmu saja. Bagaimana jadinya
apabila ada orang bertambah ilmunya namun ia tidak lebih berhati-hati dalam
sikapnya?
Bisyr bin Harits mengatakan:
مَنِ
ازْدَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ وَرَعًا؛ لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلَّا
بُعْدًا.
Artinya: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya
namun tidak bertambah kehati-hatiannya, maka tidak akan bertambah dari Allah
(untuknya) kecuali semakin jauh (dari Allah)” (Al-Mujalasah wa Jawahirul Ilm,
juz 4, hal. 107).
Kita seringkali mengklaim sebagai orang yang
berada pada peradaban modern, berteknologi canggih dan berilmu, berwawasan
luas. Seharusnya, keluasan ilmu yang kita punya tidak untuk berbangga-banggaan
saja, tapi menambah takut kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Abu Nu’aim al-Asfihani mengisahkan perkataan Sufyan ats-Tsauri dalam
kitab Hilyatul Auliya’:
مَنِ
ازْدَادَ عِلْمًا، ازْدَادَ وَجَعًا
Artinya: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya,
bertambah pula kesedihannya.” (Hilyatul Auliya’, juz 6, hal. 363)
Orang berilmu seharusnya bersedih karena
semakin banyak ilmu yang ia dapatkan, semakin banyak pula tuntutan agama kepada
pribadinya untuk menyesuaikan sikapnya dengan ilmu yang ia terima.
Hadhirin hafidhakumullah,.
Rasulullah SAW tidak menginginkan umatnya
hanya banyak ilmu tapi miskin amal, tinggi pengetahuan tapi rendah perilaku dan
kepribadian. Nabi mengajarkan sebuah doa:
اللَّهُمَّ
إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ وَالأَعْمَالِ وَالأَهْوَاءِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari
akhlak, perbuatan-perbuatan dan dari hawa nafsu yang mungkar.” (HR. Tirmidzi)
Semoga dengan doa ini, kita menjadi orang
yang mempunyai kepribadian baik, tidak mudah menyakiti orang lain terlebih kita
tidak menyebarkan berita-berita tidak jelas yang bisa menyebabkan perpecahan
antar anak bangsa yang mayoritas dihuni oleh masyarakat muslim ini. Semoga
Allah menjadikan kita termasuk orang yang meninggal husnul
khatimah kelak pada saat Allah memanggil kita pada waktunya. Amin
allahumma amin.
بَارَكَ
اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَجَعَلَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا
فِيْهِ مِنَ الْآيَاِت وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. إِنَّهُ هُوَ البَرُّ التَّوَّابُ
الرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمُ. أعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيْم، بسم الله
الرحمن الرحيم، وَالْعَصْرِ (١) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢) إِلَّا
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا
بِالصَّبْرِ (٣) ـ
وَقُلْ
رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرّاحِمِيْنَ ـ
Khutbah II
اَلْحَمْدُ
للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِي إلىَ
رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ
وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا
بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا
عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ
بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ
وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا
صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ
وَمَلآئِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ
الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ
اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ
الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ
اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ
اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ، اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ
وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ
الْمُوَحِّدِيْنَ، وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ
اْلمُسْلِمِيْنَ وَدَمِّرْ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَأَعْلِ كَلِمَاتِكَ
إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ
وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتَنِ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ،
عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خَآصَّةً وَعَنْ سَائِرِ اْلبُلْدَانِ
اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى
الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا
لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ
بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ
وَالْمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا
اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ
وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren
Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar