Dua Klinik Saat KH
Syam’un Syuriyah NU Serang
Pada tahun 1936, di
Muktamar NU kesebelas di Masin, Kalimantan Selatan, NU Serang Banten,
melaporkan kepada forum tertinggi organisasi para kiai itu bahwa mereka telah
mempunyai klinik sebanyak dua buah. Klinik tersebut berjalan dua tahun, berarti
dimulai sejak tahun 1924. Namun, sayang sekali karena dokter itu klinik
dipindahtugaskan ke daerah Kalimantan, sehingga dua klinik itu berhenti.
Dari laporan itu,
sepertinya Cabang NU serang hanya menyediakan tempat untuk klinik, sementara
dokter yang bertugas adalah orang pribumi yang bekerja di pemerintah Hindia
Belanda yang berkedudukan di Serang.
Meskipun klinik itu
terhenti, informasi yang disampaikan pada Verslag Muktamar NU Kesebelas di
Banjarmasin yang dimuat Majalah Berita Nahdlatoel Oelama sangat penting.
Informasi tersebut menunjukkan bahwa Nahdlatul Ulama, sejak awal berdiri tidak
hanya mengurusi pesantren, madrasah, masjid, dan kuburan, tapi bidang sosial.
Kemudian, usaha-usaha
kesehatan melalui klinik itu diupayakan juga oleh cabang NU di daerah lain
semisal Jombang pada tahun 1936 (lihat Berita Nahdlatoel Oelama, 1 Juni
1936, No 15, tahun ke-5, hal. 15). Lima tahun kemudian hal serupa didirikan
oleh Cabang NU Bandung, 1941.
KH Syam'un dan NU
Serang
Setelah NU tertanam
di Menes oleh KH Mas Abdurrahman dengan baik, sepertinya kemudian tersebar ke
daerah-daerah sekitar, atau ke utara. Buktinya pada muktamar Semarang telah ada
perwakilan dari NU Cilegon pada tahun 1929. Pada tahun 1930 ada perwakilan NU
dari Serang. Nah, pada tahun tersebut itulah, KH Syam’un datang sebagai
perwakilannya. KH Syam'un juga hadir pada Muktamar NU kesebelas di Banjarmasin
pada 1936.
Meskipun dalam
verslag Muktamar NU Banjarmasin tidak disebutkan nama perwakilannya, yang jelas
KH Syam'un hadir. Dan dia, berdasarkan absensi muktamar tahun itu posisinya
sebagai syuriyah. Waktu itu, NU memiliki statuten (AD/ART) yang menempatkan
kedudukan syuriyah sebagai pihak yang paling dominan di NU. Statuten
mengatakan, NU adalah organisasi yang dikelola oleh ulama dan bukan ulama.
Ulama berada di syuriyah, bukan ulama di tanfidziyah. Cara bekerjanya adalah
syuriyah tidak boleh menghalangi tanfidziyah, sementara tanfidziyah harus
tunduk kepada syuriyah.
Dua klinik yang
dilaporkan NU Serang waktu jelas tidak lepas dari pengaruh KH Syam'un sebagai
pihak yang memegang kendali di NU Serang.
Siapa KH Syam’un? Ia
lahir pada 5 April 1894 dari pasangan H Alwiyan dan Hj Hajar di Banten. Di
dalam darahnya mengalir darah tokoh pejuang di masa sebelumnya dalam melawan
dan upaya mengusir penjajah. Ia merupakan keturunan dari KH Wasid tokoh
pemberontakan yang dikenal Geger Cilegon pada 1888.
Masa kecil KH Syam’un
memperoleh pendidikan di pesantren Dalingseng milik KH Sa’i pada 1901. Dia
pindah ke Pesantren Kamasan, asuhan KH Jasim di Serang pada 1904. Tahun
berikutnya, KH Syam’un belajar ke Mekkah. Dia menghabiskan waktu lima tahun di tanah
suci kepada ahli-ahli keislaman terbaik di dunia saat itu. Lalu ia melanjutkan
pencarian ilmunya ke Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dari 1910 hingga 1915.
Menurut sejarawan
Agus Sunyoto, ia memiliki kemampuan bahasa asing yang fasih, setidaknya tiga
bahasa yaitu Arab, Inggris, dan Belanda. Dari kemampuan berbahasa itu,
kemungkinan dia untuk menyerap ilmu dari berbagai sumber sangat besar
melengkapi dan mengembangkan kemampuannya. Reputasinya dalam bidang keilmuan,
terutama agama, ditunjukkan dengan ia mampu mengajar di Masjidil Haram,
Mekkah.
Sebagaimana
dijelaskan Rahayu yang dikutip Historia.id, seusai memperoleh ijazah Al-Azhar,
KH Syam’un kembali ke Mekkah untuk mengajar di Masjid al-Haram. Muridnya dari
berbagai negara aneka suku bangsa. Namun, yang terbanyak dari Jawa. Meskipun
cuma setahun mengajar, di sini namanya mulai sohor sebagai ulama Banten yang
besar.
Ia melanjutkan
reputasi ulama-ulama Nusantara dari masa sebelumnya yang mampu mengajar di
masjid prestisius itu, seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz Tremas,
dan lain-lain.
Sebagai orang yang
lahir dan dibesarkan di lingkungan pesantren, ketika pulang ke tempat
kelahirannya, ia mengembangkan pesantren juga. KH Syam’un pulang ke Hindia
Belanda pada 1915. Menurut Rahayu, lagi-lagi sebagaimana dikutip Historia, KH
Syam’un meletakkan ilmu pada tingkat paling atas dalam pencapaian kehidupan
manusia. Dia juga memiliki gagasan tentang hubungan ilmu pengetahuan dan
masyarakat.
“Bahwa pendidikan
merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengatasi segala persoalan hidup,”
ungkap Rahayu.
Wujud gagasan KH
Syam’un terlihat dari pendirian pesantren di Citangkil, Cilegon, pada 1916.
Sepuluh tahun awal, materi ajarnya masih terbatas pada ilmu agama seperti tata
bahasa Arab, fiqih, hadits, tafsir, dan akidah. Santrinya pun hanya berjumlah
puluhan. Lama-kelamaan pesantren Citangkil berkembang. Tidak hanya dari jumlah
santri, melainkan juga materi ajar dan metode pembelajaran.
Masih dikutip dari
Historia.id dari sumber Abdul Malik dkk., dalam Jejak Ulama Banten Dari Syekh
Yusuf Hingga Abuya Dimyati, KH Syam’un menggabungkan pola pendidikan
tradisional pesantren dengan sekolah modern pada 1926.
“KH Syam’un berusaha
mengembangkan rasionalitas Islam dengan seruan kembali kepada ajaran Islam yang
pokok,” tulisnya.
Kemungkinan karena
merasa satu visi dengan kiai-kiai asal pesantren, di dalam berorganisasi ia
memilih aktif di Nahdlatul Ulama. Ia tercatat sebagai salah seorang syuriyah
dari NU Serang. Buktinya sebagai pengurus, menurut data yang ditemukan di
Majalah Swara Nahdlatoel Oelama dan Berita Nahdlatoel Oelama, ia hadir di
muktamar NU. Paling tidak, di Muktamar NU kelima di Pekalongan pada 1930 dan
Banjarmasin 1936. []
(Abdullah Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar