Rabu, 23 Oktober 2019

Dua Klinik Saat KH Syam’un Syuriyah NU Serang


Dua Klinik Saat KH Syam’un Syuriyah NU Serang

Pada tahun 1936, di Muktamar NU kesebelas di Masin, Kalimantan Selatan, NU Serang Banten, melaporkan kepada forum tertinggi organisasi para kiai itu bahwa mereka telah mempunyai klinik sebanyak dua buah. Klinik tersebut berjalan dua tahun, berarti dimulai sejak tahun 1924. Namun, sayang sekali karena dokter itu klinik dipindahtugaskan ke daerah Kalimantan, sehingga dua klinik itu berhenti. 

Dari laporan itu, sepertinya Cabang NU serang hanya menyediakan tempat untuk klinik, sementara dokter yang bertugas adalah orang pribumi yang bekerja di pemerintah Hindia Belanda yang berkedudukan di Serang. 

Meskipun klinik itu terhenti, informasi yang disampaikan pada Verslag Muktamar NU Kesebelas di Banjarmasin yang dimuat Majalah Berita Nahdlatoel Oelama sangat penting. Informasi tersebut menunjukkan bahwa Nahdlatul Ulama, sejak awal berdiri tidak hanya mengurusi pesantren, madrasah, masjid, dan kuburan, tapi bidang sosial.

Kemudian, usaha-usaha kesehatan melalui klinik itu diupayakan juga oleh cabang NU di daerah lain semisal Jombang pada tahun 1936 (lihat Berita Nahdlatoel Oelama, 1 Juni 1936, No 15, tahun ke-5, hal. 15). Lima tahun kemudian hal serupa didirikan oleh Cabang NU Bandung, 1941.  

KH Syam'un dan NU Serang

Setelah NU tertanam di Menes oleh KH Mas Abdurrahman dengan baik, sepertinya kemudian tersebar ke daerah-daerah sekitar, atau ke utara. Buktinya pada muktamar Semarang telah ada perwakilan dari NU Cilegon pada tahun 1929. Pada tahun 1930 ada perwakilan NU dari Serang. Nah, pada tahun tersebut itulah, KH Syam’un datang sebagai perwakilannya. KH Syam'un juga hadir pada Muktamar NU kesebelas di Banjarmasin pada 1936.

Meskipun dalam verslag Muktamar NU Banjarmasin tidak disebutkan nama perwakilannya, yang jelas KH Syam'un hadir. Dan dia, berdasarkan absensi muktamar tahun itu posisinya sebagai syuriyah. Waktu itu, NU memiliki statuten (AD/ART) yang menempatkan kedudukan syuriyah sebagai pihak yang paling dominan di NU. Statuten mengatakan, NU adalah organisasi yang dikelola oleh ulama dan bukan ulama. Ulama berada di syuriyah, bukan ulama di tanfidziyah. Cara bekerjanya adalah syuriyah tidak boleh menghalangi tanfidziyah, sementara tanfidziyah harus tunduk kepada syuriyah. 

Dua klinik yang dilaporkan NU Serang waktu jelas tidak lepas dari pengaruh KH Syam'un sebagai pihak yang memegang kendali di NU Serang.  

Siapa KH Syam’un? Ia lahir pada 5 April 1894 dari pasangan H Alwiyan dan Hj Hajar di Banten. Di dalam darahnya mengalir darah tokoh pejuang di masa sebelumnya dalam melawan dan upaya mengusir penjajah. Ia merupakan keturunan dari KH Wasid tokoh pemberontakan yang dikenal Geger Cilegon pada 1888.

Masa kecil KH Syam’un memperoleh pendidikan di pesantren Dalingseng milik KH Sa’i pada 1901. Dia pindah ke Pesantren Kamasan, asuhan KH Jasim di Serang pada 1904. Tahun berikutnya, KH Syam’un belajar ke Mekkah. Dia menghabiskan waktu lima tahun di tanah suci kepada ahli-ahli keislaman terbaik di dunia saat itu. Lalu ia melanjutkan pencarian ilmunya ke Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dari 1910 hingga 1915.

Menurut sejarawan Agus Sunyoto, ia memiliki kemampuan bahasa asing yang fasih, setidaknya tiga bahasa yaitu Arab, Inggris, dan Belanda. Dari kemampuan berbahasa itu, kemungkinan dia untuk menyerap ilmu dari berbagai sumber sangat besar melengkapi dan mengembangkan kemampuannya. Reputasinya dalam bidang keilmuan, terutama agama, ditunjukkan dengan ia mampu mengajar di Masjidil Haram, Mekkah. 

Sebagaimana dijelaskan Rahayu yang dikutip Historia.id, seusai memperoleh ijazah Al-Azhar, KH Syam’un kembali ke Mekkah untuk mengajar di Masjid al-Haram. Muridnya dari berbagai negara aneka suku bangsa. Namun, yang terbanyak dari Jawa. Meskipun cuma setahun mengajar, di sini namanya mulai sohor sebagai ulama Banten yang besar.

Ia melanjutkan reputasi ulama-ulama Nusantara dari masa sebelumnya yang mampu mengajar di masjid prestisius itu, seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz Tremas, dan lain-lain. 

Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di lingkungan pesantren, ketika pulang ke tempat kelahirannya, ia mengembangkan pesantren juga. KH Syam’un pulang ke Hindia Belanda pada 1915. Menurut Rahayu, lagi-lagi sebagaimana dikutip Historia, KH Syam’un meletakkan ilmu pada tingkat paling atas dalam pencapaian kehidupan manusia. Dia juga memiliki gagasan tentang hubungan ilmu pengetahuan dan masyarakat. 

“Bahwa pendidikan merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengatasi segala persoalan hidup,” ungkap Rahayu.

Wujud gagasan KH Syam’un terlihat dari pendirian pesantren di Citangkil, Cilegon, pada 1916. Sepuluh tahun awal, materi ajarnya masih terbatas pada ilmu agama seperti tata bahasa Arab, fiqih, hadits, tafsir, dan akidah. Santrinya pun hanya berjumlah puluhan. Lama-kelamaan pesantren Citangkil berkembang. Tidak hanya dari jumlah santri, melainkan juga materi ajar dan metode pembelajaran.

Masih dikutip dari Historia.id dari sumber Abdul Malik dkk., dalam Jejak Ulama Banten Dari Syekh Yusuf Hingga Abuya Dimyati, KH Syam’un menggabungkan pola pendidikan tradisional pesantren dengan sekolah modern pada 1926. 

“KH Syam’un berusaha mengembangkan rasionalitas Islam dengan seruan kembali kepada ajaran Islam yang pokok,” tulisnya.

Kemungkinan karena merasa satu visi dengan kiai-kiai asal pesantren, di dalam berorganisasi ia memilih aktif di Nahdlatul Ulama. Ia tercatat sebagai salah seorang syuriyah dari NU Serang. Buktinya sebagai pengurus, menurut data yang ditemukan di Majalah Swara Nahdlatoel Oelama dan Berita Nahdlatoel Oelama, ia hadir di muktamar NU. Paling tidak, di Muktamar NU kelima di Pekalongan pada 1930 dan Banjarmasin 1936. []

(Abdullah Alawi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar