Meluruskan
Tuduhan Kondisi Islam di Negeri Tirai Bambu
Judul
Buku : Islam Indonesia dan China:
Pergumulan Santri Indonesia di Tiongkok
Editor
: Ahmad Syaifuddin Zuhri, dkk.
Cetakan
: April 2019
Tebal
buku : xxiv+220
Ukuran
: 14,8 cm x 21 cm
ISBN
: 978-602-61490-4-6
Penerbit
: Aswaja Nusantara Press
Peresensi
: Waki Ats Tsaqofi adalah Mahasiswa Master di Chongqing University, China serta
Wakil Ketua PCINU Tiongkok.
Perhatian
terhadap Muslim Uigur di Xinjiang sangat besar terutama negara Barat, lebih
suka memfokuskan perhatian pada isu pelanggaran hak asasi manusia yang diduga
dilakukan rezim komunis di bawah kepemimoinan Xi Jinping. Terlebih saat
pemerintah Tiongkok membangun kamp-kamp pendidikan dan pelatihan vokasi. Bahkan
masyarakat Indonesia menyoroti hal ini dengan sentimen agama. Apalagi dengan
suhu politik di Indonesia yang sangat panas terlebih masa Pemilihan Presiden
(Pilpres) kemarin. Terlebih saat bulan Ramadhan banyak media yang memberitakan
bahwa Muslim di Xinjiang dilarang untuk berpuasa.
Padahal
Isu tersebut adalah isu lama kurang lebih sudah 23 tahun konflik horizontal.
Tetapi kini isu Xinjiang diangkat kembali di tengah memanasnya hubungan dagang
antara Tiongkok dan Amerika Serikat dan juga sekutunya. Ini kebetulan atau
tidak, tetapi faktanya isu ini mengemuka pada saat perang dagang antara kedua
pemimpin ekonomi dunia sedang berkecamuk.
Terkait
kamp-kamp pendidikan yang ada di Xinjiang, seorang peserta didik Kamp
Vokasi, Mirkamiljan mengatakan: “Bagaimana tidak senang berada di sini.
Keterampilan bisa kami dapat, berbagai keperluan juga difasilitasi,” kata pria
20 tahun dari etnis Uigur ini mengaku bahwa keikutsertaannya dalam program
pendidikan dan pelatihan vokasi atas keinginan sendiri, tidak ada paksaan dari
pihak mana pun (h. 11).
Gubernur
Xinjiang Shohrat pernah menyampaikan secara terbuka kepada media dan para duta
besar negara sahabat Tiongkok. “Apakah ada yang salah dengan cara kami
memperbaiki kualitas hidup warga kami agar tidak semakin terperosok dalam
jurang kemiskinan. Kalaupun di kamp diajarkan bahasa nasional dan pemahaman
tentang undang-undang negara, maka itu sudah kewajiban bagi pemerintah manapun
untuk memfasilitasinya.”
Selain
mengulas terkait isu Muslim Uigur buku “Islam Indonesia dan China: Pergumulan
Santri Indonesia di Tiongkok” yang ditulis oleh para pelajar Indonesia di
Tiongkok juga mengulas bagaimana kondisi Islam sesungguhnya di Tiongkok. Buku
ini terdiri atas empat bagian. Bagian pertama menjelaskan pengalaman keislaman
di Tiongkok, pada bagian pertama penulis juga menggambarkan bagaimana
masyarakat Islam lokal menjalankan ibadah serta pandangan masyarakat non-Islam
terhadap Islam.
Dalam
bagian ini juga bisa dijadikan referensi bagi pembaca untuk mencari tempat
wisata religi juga bagaimana cara mendapatkan makanan halal di Tiongkok. Salah
satu cara mengatehui makanan halal, kita harus tahu karakter 清真 (qīngzhēn dibaca
chingchen), selain karakter China itu biasanya tertulis dengan bahasa
Arab yang bermakna makanan Muslim. Banyak sekali makanan dengan lebel halal
tersebut. Jadi tidak usah khawatir jika berwisata ke Tiongkok.
Muslim
Tiongkok sangat cinta terhadap tanah airnya sendiri. Seperti yang terdapat di
pintu masuk Masjid Agung Changchun, Provinsi Jilin. Ada sebuah prasasti besar
yang bertuliskan hubbul wathan minal iman dalam bahasa Arab dan di bawahnya
tertulis dalam bahasa mandarin 爱国是信仰的一部分(baca:
Àiguó shì xìnyǎng de yībùfèn) yang artinya cinta tanah air adalah sebagian dari
iman, tulisan serupa juga banyak dijumpai di masjid-masjid di Tiongkok lainnya.
(h. 71). Pada 21 Juni 2019 lalu Institut Pendidikan Islam Lanzhou (兰州伊斯兰教学院) mewisuda 106
mahasantri. Ada empat poin yang ditekankan oleh Dekan Institut Pendidikan Islam
Lanzhou, Ma Xuezhi (马学智) kepada para
wisudawan, yaitu: 1. Cinta tanah air dan juga menyebarkan sikap patriotrik, 2.
Menjadi komunikator Islam di Tiongkok, 3. Menjadi pelopor perilaku positif, 4.
Menjaga persatuan dan keharmonisan.
Artinya
spirit nasionalisme ini terus ditumbuhkan kepada kader-kader penerus Islam di
Tiongkok. Dengan mencintai tanah air, tentunya warga Muslim Tiongkok akan
semakin peduli pada negara dan berupaya terus untuk semakin memajukannya.
Ketika semua warga negara menunjukkan cinta dan kepeduliannya secara nyata,
tidak bisa dibendung lagi, negara Tiongkok akan menjadi negara yang populasi
Islam terbesar.
Tidak
hanya berbicara tentang kondisi keislaman di Tiongkok, pada bagian kedua para
penulis menceritakan proses pendaftaran beasiswa Tiongkok, juga kemajuan
Tiongkok baik dalam teknologi maupun ekonomi digital yang pesat. Berdasarkan
laporan dari Boston Consulting Group, saat ini nilai ekonomi berbasis digital
di Tiongkok sudah melampaui $16 trillion dan menjadi salah satu negara dengan
nilai ekonomi digital terbesar di dunia.
Ini
juga tidak lepas dari dukungan penuh pemerintah pusat untuk mengembangkan
ekonomi berbasis internet, (h. 115). Hal tersebut bisa dijadikan alasan mengapa
Tiongkok sebagai pilihan negara untuk melanjutkan studi ke jenjang lebih
tinggi.
Tidak
kalah pentingnya, buku ini juga menjelaskan persaudaraan bagsa Indonesia dan
masyarakat Tiongkok yang sudah terbangun dari ratusan tahun yang lalu. Selama
abad ke-15 dan ke-16 masehi, pengaruh Etnis Tinghoa di Jawa sangat kuat.
Terbukti ukiran batu di Mantingan Jepara, Masjid kuno, pecinan di Banten,
konstruksi pintu di makam Sunan Giri Gresik, arsitektur keraton Cirebon,
kontruksi masjid Agung Demak khususnya tiang penyangga masjid, dan kontruksi
Masjid Agung Semarang, (h. 142).
Kejadian
yang paling penting dalam penyebaran Islam Tionghoa di Indonesia dilakukan oleh
Cheng Ho. Dia adalah seorang duta diplomatik dari Dinasti Ming. Dia disambut
dengan hangat oleh masyarakat Indonesia. Tim ekspedisi Cheng Ho datang bersama
ke Indonesia menggunakan 208 kapal. Anak buah kapal yang paling banyak adalah
beragama Islam.
Buku
ini tidak hanya menyajikan data-data yang diambil dari arsip dan buku yang
ditulis oleh orang asing, namun juga menyertakan gambar penting tentang suasana
kehidupan berislam di Tiongkok. Dengan membaca buku ini, kebencian-kebencian
terhadap etnis Tionghoa yang selama ini muncul karena salah sangka dan
turbulensi politik dapat terkurangi dengan menyelami lebih mendalam silang
budaya maupun kisah-kisah kehidupan di Tiongkok yang ada di dalamnya. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar