Saat NU Mempertegas
Hasil Kongres Pemuda
Pergerakan nasional
dalam upaya membebaskan bangsa Indonesia dari kungkungan penjajah menempatkan
peran pemuda dalam posisi yang strategis. Karakter pemuda yang mempunyai
semangat, gesit, dan progresif perlu mendapat penguatan wawasan kebangsaan dan
cinta tanah air.
Untuk menanamkan
cinta tanah air tersebut, salah seorang kiai pesantren bernama KH Abdul Wahab
Chasbullah (1888-1971) pernah mendirikan madrasah dan perguruan Nahdlatul
Wathan pada tahun 1916 (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010).
Perguruan ini menampung para pemuda yang berusaha digembleng Kiai Wahab untuk
memperkuat cinta tanah selain ilmu agama berbasis keilmuan pesantren.
Sebutan Syubbanul
Wathan (para pemuda cinta tanah) disematkan oleh Kiai Wahab untuk mempertegas
komitmen kebangsaan para pemuda dalam upaya memerdekakan bangsa dan negara.
Berbeda dengan KH Mas Mansur yang memilih jalur perjuangan politik, Kiai Wahab
lebih menempuh jalur pendidikan untuk penanaman cintah tanah air kepada para
pemuda.
Ghirah kebangsaan
yang digelindingkan Kiai Wahab kepada para pemuda berhasil menyisir dan
mengubah pola pikir para pemuda di setiap daerah. Dengan semangat cinta tanah
air, perbedaan tidak menjadi hambatan untuk bersatu dalam memperjuangkan
kemerdekaan Republik Indonesia.
Dilandasi rasa
senasib dan sepenanggungan, para pemuda dari sejumlah suku dan pulau berkumpul
untuk menginiasi Kongres Pemuda. Kongres Pemuda pertama berhasil dilaksanakan
pada 2 Mei 1926, di mana pada tahun tersebut para kiai dan santri resmi
mendeklarasikan Jami’iyyah Nahdlatul Ulama.
Embrio gerakan pemuda
yang diperjuangkan Kiai Wahab Chasbullah coba dikristalkan oleh para pemuda
dalam Kongres Pemuda pertama pada 2 Mei 1926 untuk mempertegas persatuan
Indonesia. Pada kongres pertama tersebut, salah seorang perumus dalam Kongres
Pemuda Indonesia Mohammad Tabrani asal Pamekasan Madura menyarankan penggunaan
Bahasa Indonesia.
Dalam pidatonya
Mohammad Tabrani mengatakan: “Kita sudah mengaku bertumpah darah satu, tanah
Indonesia. Kita sudah mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Mengapa kita
harus mengaku bahasa persatuan, bukan bahasa Indonesia? Bahasa persatuan
hendaknya bernama bahasa Indonesia. Kalau bahasa Indonesia belum ada, kita
lahirkan bahasa Indonesia melalui Kongres Pemuda Pertama ini.” (Nuny
Sulistiyani Idris, tt)
Namun, dalam Kongres
Pertama tersebut belum menghasilkan rumusan aksi yang matang dan sistematis
sehingga para pemuda kembali menggelar Kongres Pemuda kedua pada 28 Oktober
2018. Pada kongres kedua ini berhasil menelurkan komitmen kebangsaan yang
disebut Sumpah Pemuda. Saran Bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan
diperluas ke dalam komitmen bangsa dan tanah air yang satu, yaitu Indoensia.
Isi Sumpah Pemuda
yang berhasil dirumuskan pada Kongres Pemuda kedua 28 Oktober 2018 ialah
sebagai berikut:
Soempah Pemoeda
Pertama: Kami poetra
dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea: Kami poetra
dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga: Kami poetra
dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Setahun sebelum
deklarasi Sumpah Pemuda, tepatnya pada tanggal 9 Oktober 1927, para kiai NU
dalam forum tertinggi NU memutuskan untuk melakukan perlawanan kultural. Para
kiai NU menyasar pada pelarangan budaya Belanda dalam hal model pakaian.
Keputusan NU tahun
1927 untuk melakukan perlawanan kultural menyebar ke tengah masyarakat. Muslim
Nusantara merespon kiai NU dengan dengan melakukan perlawanan yang sama. Segala
macam asesoris, ornamen, simbol yang berbau penjajah mendapatkan penolakan
keras dari masyarakat desa.
Selama satu tahun NU
melakukan perlawanan kultural dengan berbagai konsekuensi turunannya. Babak
selanjutnya terjadi pada tanggal 9 September 1928 saat NU menggelar Muktamar
sebulan sebelum deklarasi Sumpah Pemuda pada 22 Oktober.
Satu bulan pasca
Muktamar ke-3 NU, tepatnya pada 28 Oktober 1928, Sumpah Pemuda dideklarasikan.
Tema besar Sumpah Pemuda juga mendapat respon cepat masyarakat mengingat Sumpah
Pemuda adalah bagian dari babak perjuangan anak bangsa, termasuk Nahdlatul
Ulama yang sejak lama sudah melakukan gerakan sistemik kebangkitan nasional.
Dalam catatan Abdul
Mun’im DZ (Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011), gema Sumpah Pemuda Satu Nusa,
Satu Bangsa, dan Satu Bahasa yaitu Indonesia menggelora di seluruh penjuru
Nusantara sehingga menjadi bahasan semua kalangan pergerakan termasuk dalam NU
dan dunia pesantren secara umum.
Namun, salah satu
butir yang menjadi perhatian adalah munculnya aspirasi negara bangsa (nation
state) sebagaimana diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tersebut. Konsep negara
bangsa tersebut sekaligus menjadi persoalan krusial bagi sebagian umat Islam
yang masih berpandangan untuk mendirikan negara Islam.
Karena persoalan ini
menjadi bahan perbincangan umat Islam, maka sebagai bentuk tanggung jawab
sosial, NU kemudian membawa persoalan tersebut ke dalam Muktamar ke-11 NU tahun
1936 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Singkatnya, dalam
Muktamar tersebut, NU mempertegas bahwa nation state tidak bertentangan dengan
prinsip dan ajaran Islam, juga sudah memenuhi aspirasi umat Islam. Karena di
dalamnya ada jaminan bagi umat Islam untuk mengajarkan dan menjalankan agamanya
secara bebas. Dengan demikian, Islam tidak perlu membuat negara lain yang
berdasarkan syariat Islam, karena negara yang dirumuskan (negara bangsa) telah
memenuhi aspirasi Islam. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar