Hukum Tak Memberitahukan
Cacat Barang kepada Pembeli
Sebuah kontrak jual beli, pada dasarnya
adalah menghendaki didapatkannya barang yang baik dan selamat dari cacat oleh
pembeli. Kaidah ini merupakan dasar utama berbagai macam transaksi jual beli.
Untuk itulah dalam urusan transaksi jual beli, selalu disertai adanya akad
khiyar. Khiyar, secara syara’ didefinisikan sebagai:
أن
يكون لأحد العقدين أو كلهما الحق في اختيار أحد الأمرين: إما بإمضاء العقد أو فسخه
Artinya: “Suatu hak untuk menentukan pilihan
oleh salah satu atau kedua-duanya dari orang yang melakukan transaksi, yaitu
meneruskan akad atau membatalkannya.” (Al-Bujairâmî, Tuhfatu al-Habîb ‘ala
Syarhi al-Khathîb, Beirut: Thab’atu Dâr al-Ma’rifah, tt., Juz 2: 26)
Ada 4 macam khiyar, yaitu khiyar majelis,
khiyar aib, khiyar ru’yah dan khiyar ghabn. Terkait dengan penjelasan
masing-masing khiyar, akan dibahas dalam tema kajian mendatang. Dalam
kesempatan ini pengkaji ingin mengajak untuk membahas hubungan khiyar ini –
dari sisi fiqih maqashid – dan hubungannya dengan tema kita tentang kewajiban
pemberitahuan cacat kepada pembeli oleh penjual!
Kembali pada konteks keselamatan barang dari
cacat, sebenarnya merupakan hak dan tanggung jawab pembeli untuk memeriksa
setiap barang yang akan dibelinya. Bila ditemui adanya cacat pada barang, maka
pembeli bisa memakai haknya untuk melakukan opsi membatalkan perjanjian,
ataukah melanjutkan akad. Jadi, pada dasarnya cacat barang, tidaklah cukup
untuk menjadi alasan bagi wajibnya penjual untuk memberitahukannya sebab ada
hak pembeli untuk memeriksa barang yang dibutuhkannya serta hendak
dibelinya.
Kali ini mari kita hadirkan sebuah ilustrasi
yang umum terjadi. Seorang pedagang telepon genggam (handphone), menjual berbagai
merek handphone. Ada merk Samsung, OPO, Advan, LG, Lenovo dan lain sebagainya.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah wajib bagi penjual memberitahu kelemahan
masing-masing dari HP tersebut kepada pembeli? Berikutnya adalah apakah wajib
bagi penjual untuk mengetahui perbandingan keunggulan dan kelemahan dari
masing-masing handphone lalu memberitahukannya kepada pembeli? Bukankah setiap
kelemahan adalah termasuk cacat barang?
Bayangkan bila memberitahukan tersebut adalah
sebuah kewajiban yang harus diemban oleh penjual! Sudah pasti sebelum pedagang
melakukan jual beli handphone, maka ia wajib untuk belajar dulu tentang
handphone yang hendak diperjualbelikannya, bukan? Jika hal ini dibenarkan,
lantas apa fungsinya hak rahasia dagang yang diatur oleh pemerintah dalam
Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang? Padahal jelas sekali di
dalam undang-undang tersebut disebutkan hak kerahasiaan masing-masing merk
dagang adalah dilindungi oleh pemerintah, termasuk juga sistem pemasarannya.
Bagaimana sebuah produk dirakit dan disusun sehingga menjadi keunikan dan ciri
khas sebuah produk, adalah dilindungi di dalam undang-undang tersebut.
Bagaimanapun juga, setiap orang yang hendak
melakukan transaksi jual beli, pasti mereka menyadari risiko masing-masing
barang. Tidak ada barang produksi yang sempurna di dunia ini. Di dalam
tiap-tiap produk sudah barang tentu ada kelemahannya. Namun, diperbolehkan oleh
undang-undang untuk tidak diberitahukan mengingat hal itu adalah salah satu
kerahasiaan dagang. Rahasia dagang tidaklah sama dengan istilah tadlîs
(menyembunyikan cacat barang secara disengaja untuk tujuan mengelabui pembeli).
Selanjutnya kita beralih pada pedagang barang
second (bekas), seperti mobil, laptop, komputer, sepeda motor dan sejenisnya.
Setiap barang second, sudah pasti ada sisi lemahnya akibat dari pemakaian.
Apakah wajib juga bagi pedagangnya untuk memberitahukan segala kelemahan dan
cacat dari barang tersebut kepada pembeli?
Penting digarisbawahi bahwa jika
memberitahukan cacat adalah sebuah kewajiban penjual, maka agar dapat mengenali
cacat barang dagangan sebagaimana telah disebutkan di atas, maka wajib pula
bagi penjual untuk mempelajari seluk-beluk barang dagangan. Jika demikian
halnya, maka lantas di mana kedudukan dari khiyar dalam jual beli? Tentu akan
menjadi semakin ribet, bukan? Ribet itu tidak hanya bagi pembeli, sudah pasti
dampak terbesarnya adalah pedagang, karena ia yang menjadi terkena khithab
(perintah) untuk pemberitahuan tersebut.
Untuk menjawab segala persoalan itu semua,
maka kita kembalikan pada asal perintah ditetapkannya khiyar dalam jual beli,
adalah disebabkan karena adanya beberapa hikmah, antara lain:
1. Bahwa di dalam jual beli, harus ada unsur
kerelaan antara masing-masing pihak pelaku transaksi. Agar tercapai maksud dari
kerelaan ini, maka diadakanlah khiyar (opsi pembatalan atau melanjutkan akad)
2. Bahwa yang disyaratkan dalam jual beli
adalah terbebas dari unsur gharar (penipuan). Penipuan dianggap terjadi
manakala barang yang dibeli tidak sesuai spesifikasinya dengan yang dikehendaki
oleh pembeli, atau barang yang dibeli tidak sebagaimana yang dijanjikan oleh
penjual kepada pembeli. Untuk itulah kemudian perlu adanya khiyar agar tercapai
tujuan puasnya pembeli, karena bagaimanapun keduanya akan saling menyadari
bahwa dalam setiap produk pasti memiliki nilai kelemahan yang tidak perlu
disebutkan.
3. Pada dasarnya, khiyar ditetapkan adalah
fokus pada tercapainya kepuasan pembeli terhadap barang yang dibelinya.
Ada perbedaan sedikit antara konsep kerelaan
dengan kepuasan. Orang yang rela belum tentu dia puas, karena adanya peluang
bahwa kerelaannya adalah karena terpaksa sebab tidak ada pilihan lain. Namun
orang yang puas sudah pasti ia rela. Jadi, pada dasarnya tujuan puncak dari
jual beli adalah pada kepuasan. Jika kepuasan ini tidak tercapai, maka paling
tidak, opsi terakhir adalah keduanya saling merelakan. Unsur saling merelakan
ini selanjutnya yang ditetapkan oleh syara’ sebagai ‘an tarâdlin (saling rela).
Itulah sebabnya yang ditetapkan dalam syariat adalah upaya mewujudkan saling
rela tersebut, melalui mekanisme penentuan opsi khiyar.
Mekanisme Penentuan Kerelaan
Di kalangan fiqih empat mazhab, ada perbedaan
dalam menerapkan standar kerelaan. Mazhab Hanafi menyebutkan ada kurang lebih
17 macam mekanisme khiyar. Mazhab Maliki menyebutkan ada dua mekanisme, yaitu
(1) mekanisme melihat dan meneliti yang selanjutnya dikenal dengan istilah khiyar
al-tarawwi, dan (2) mekanisme garansi. Misalnya, untuk lampu Philips dengan
jaminan 1 tahun garansi tidak akan putus, ternyata sebelum 1 tahun pemakaian,
ia putus. Maka dalam hal ini pihak pembeli bisa mengembalikan barangnya
disebabkan adanya garansi. Mekanisme semacam ini dikenal sebagai khiyar
nâqishah. Mazhab Syafi’i mengakui adanya mekanisme khiyar nâqishah ini ditambah
dengan satu mekanisme lagi yaitu mekanisme khiyar al-tasyahhi. Khiyar
al-tasyahhi dilakukan dengan jalan memberi peluang kepada pembeli untuk
menentukan pilihannya selang jangka waktu yang sedikit lama dari umumnya jual
beli. Biasanya mekanisme ini ditujukan untuk memberi peluang kepada pembeli
melakukan pertimbangan jadi atau tidaknya melakukan opsi jual beli, karena
barang yang dibeli bernilai tinggi. Contoh penerapan khiyar al-tasyahhi ini
adalah jual beli mobil, rumah, dan sejenisnya. Ulama Hanabilah menetapkan
mekanisme khiyar menjadi 8.
Penting dicatat bahwa dari keempat mazhab
tersebut, tidak satu pun dari mereka menyebut kewajiban memberitahu cacatnya
barang. Dalam salah satu khiyar, justru mereka menyebutkan adanya khiyar aib,
dengan wujud aibnya barang yang sudah tampak secara jelas (aib jaly). Namun,
untuk aib khafy (cacat barang yang bersifat samar dan tidak signifikan), tidak
disebutkan kewajiban untuk memberitahu oleh penjual kepada pembeli. Yang
dilarang oleh keempat mazhab tersebut adalah melakukan tadlis, yaitu
menyembunyikan aib yang jaly (nyata), kemudian dipoles sedemikian rupa sehingga
seolah-olah berwujud sebagai barang bagus, padahal aibnya ditutup dengan
kemasan saja. Digambarkan dalam mazhab Syafi’i, ibarat jual beli kurma dalam
tumpukan, lalu bagian luarnya diisi dengan kurma yang bagus, sementara bagian
dalamnya diisi dengan kurma yang buruk. Untuk memahami hal ini, pembaca bisa
kembali membaca tulisan sebelumnya tentang jual beli borongan. Inilah yang
dimaksud dengan istilah tadlis yang diharamkan karena adanya unsur menipu.
Wallahu a’lam bish shawab. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pesantren
Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan
Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU JATIM dan Wakil
Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar