Selasa, 22 Oktober 2019

(Ngaji of the Day) Hukum Tak Memberitahukan Cacat Barang kepada Pembeli


Hukum Tak Memberitahukan Cacat Barang kepada Pembeli

Sebuah kontrak jual beli, pada dasarnya adalah menghendaki didapatkannya barang yang baik dan selamat dari cacat oleh pembeli. Kaidah ini merupakan dasar utama berbagai macam transaksi jual beli. Untuk itulah dalam urusan transaksi jual beli, selalu disertai adanya akad khiyar. Khiyar, secara syara’ didefinisikan sebagai:

أن يكون لأحد العقدين أو كلهما الحق في اختيار أحد الأمرين: إما بإمضاء العقد أو فسخه

Artinya: “Suatu hak untuk menentukan pilihan oleh salah satu atau kedua-duanya dari orang yang melakukan transaksi, yaitu meneruskan akad atau membatalkannya.” (Al-Bujairâmî, Tuhfatu al-Habîb ‘ala Syarhi al-Khathîb, Beirut: Thab’atu Dâr al-Ma’rifah, tt., Juz 2: 26)

Ada 4 macam khiyar, yaitu khiyar majelis, khiyar aib, khiyar ru’yah dan khiyar ghabn. Terkait dengan penjelasan masing-masing khiyar, akan dibahas dalam tema kajian mendatang. Dalam kesempatan ini pengkaji ingin mengajak untuk membahas hubungan khiyar ini – dari sisi fiqih maqashid – dan hubungannya dengan tema kita tentang kewajiban pemberitahuan cacat kepada pembeli oleh penjual!

Kembali pada konteks keselamatan barang dari cacat, sebenarnya merupakan hak dan tanggung jawab pembeli untuk memeriksa setiap barang yang akan dibelinya. Bila ditemui adanya cacat pada barang, maka pembeli bisa memakai haknya untuk melakukan opsi membatalkan perjanjian, ataukah melanjutkan akad. Jadi, pada dasarnya cacat barang, tidaklah cukup untuk menjadi alasan bagi wajibnya penjual untuk memberitahukannya sebab ada hak pembeli untuk memeriksa barang yang dibutuhkannya serta hendak dibelinya. 

Kali ini mari kita hadirkan sebuah ilustrasi yang umum terjadi. Seorang pedagang telepon genggam (handphone), menjual berbagai merek handphone. Ada merk Samsung, OPO, Advan, LG, Lenovo dan lain sebagainya. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah wajib bagi penjual memberitahu kelemahan masing-masing dari HP tersebut kepada pembeli? Berikutnya adalah apakah wajib bagi penjual untuk mengetahui perbandingan keunggulan dan kelemahan dari masing-masing handphone lalu memberitahukannya kepada pembeli? Bukankah setiap kelemahan adalah termasuk cacat barang? 

Bayangkan bila memberitahukan tersebut adalah sebuah kewajiban yang harus diemban oleh penjual! Sudah pasti sebelum pedagang melakukan jual beli handphone, maka ia wajib untuk belajar dulu tentang handphone yang hendak diperjualbelikannya, bukan? Jika hal ini dibenarkan, lantas apa fungsinya hak rahasia dagang yang diatur oleh pemerintah dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang? Padahal jelas sekali di dalam undang-undang tersebut disebutkan hak kerahasiaan masing-masing merk dagang adalah dilindungi oleh pemerintah, termasuk juga sistem pemasarannya. Bagaimana sebuah produk dirakit dan disusun sehingga menjadi keunikan dan ciri khas sebuah produk, adalah dilindungi di dalam undang-undang tersebut. 

Bagaimanapun juga, setiap orang yang hendak melakukan transaksi jual beli, pasti mereka menyadari risiko masing-masing barang. Tidak ada barang produksi yang sempurna di dunia ini. Di dalam tiap-tiap produk sudah barang tentu ada kelemahannya. Namun, diperbolehkan oleh undang-undang untuk tidak diberitahukan mengingat hal itu adalah salah satu kerahasiaan dagang. Rahasia dagang tidaklah sama dengan istilah tadlîs (menyembunyikan cacat barang secara disengaja untuk tujuan mengelabui pembeli).

Selanjutnya kita beralih pada pedagang barang second (bekas), seperti mobil, laptop, komputer, sepeda motor dan sejenisnya. Setiap barang second, sudah pasti ada sisi lemahnya akibat dari pemakaian. Apakah wajib juga bagi pedagangnya untuk memberitahukan segala kelemahan dan cacat dari barang tersebut kepada pembeli? 

Penting digarisbawahi bahwa jika memberitahukan cacat adalah sebuah kewajiban penjual, maka agar dapat mengenali cacat barang dagangan sebagaimana telah disebutkan di atas, maka wajib pula bagi penjual untuk mempelajari seluk-beluk barang dagangan. Jika demikian halnya, maka lantas di mana kedudukan dari khiyar dalam jual beli? Tentu akan menjadi semakin ribet, bukan? Ribet itu tidak hanya bagi pembeli, sudah pasti dampak terbesarnya adalah pedagang, karena ia yang menjadi terkena khithab (perintah) untuk pemberitahuan tersebut.

Untuk menjawab segala persoalan itu semua, maka kita kembalikan pada asal perintah ditetapkannya khiyar dalam jual beli, adalah disebabkan karena adanya beberapa hikmah, antara lain: 

1. Bahwa di dalam jual beli, harus ada unsur kerelaan antara masing-masing pihak pelaku transaksi. Agar tercapai maksud dari kerelaan ini, maka diadakanlah khiyar (opsi pembatalan atau melanjutkan akad)

2. Bahwa yang disyaratkan dalam jual beli adalah terbebas dari unsur gharar (penipuan). Penipuan dianggap terjadi manakala barang yang dibeli tidak sesuai spesifikasinya dengan yang dikehendaki oleh pembeli, atau barang yang dibeli tidak sebagaimana yang dijanjikan oleh penjual kepada pembeli. Untuk itulah kemudian perlu adanya khiyar agar tercapai tujuan puasnya pembeli, karena bagaimanapun keduanya akan saling menyadari bahwa dalam setiap produk pasti memiliki nilai kelemahan yang tidak perlu disebutkan. 

3. Pada dasarnya, khiyar ditetapkan adalah fokus pada tercapainya kepuasan pembeli terhadap barang yang dibelinya. 

Ada perbedaan sedikit antara konsep kerelaan dengan kepuasan. Orang yang rela belum tentu dia puas, karena adanya peluang bahwa kerelaannya adalah karena terpaksa sebab tidak ada pilihan lain. Namun orang yang puas sudah pasti ia rela. Jadi, pada dasarnya tujuan puncak dari jual beli adalah pada kepuasan. Jika kepuasan ini tidak tercapai, maka paling tidak, opsi terakhir adalah keduanya saling merelakan. Unsur saling merelakan ini selanjutnya yang ditetapkan oleh syara’ sebagai ‘an tarâdlin (saling rela). Itulah sebabnya yang ditetapkan dalam syariat adalah upaya mewujudkan saling rela tersebut, melalui mekanisme penentuan opsi khiyar.

Mekanisme Penentuan Kerelaan

Di kalangan fiqih empat mazhab, ada perbedaan dalam menerapkan standar kerelaan. Mazhab Hanafi menyebutkan ada kurang lebih 17 macam mekanisme khiyar. Mazhab Maliki menyebutkan ada dua mekanisme, yaitu (1) mekanisme melihat dan meneliti yang selanjutnya dikenal dengan istilah khiyar al-tarawwi, dan (2) mekanisme garansi. Misalnya, untuk lampu Philips dengan jaminan 1 tahun garansi tidak akan putus, ternyata sebelum 1 tahun pemakaian, ia putus. Maka dalam hal ini pihak pembeli bisa mengembalikan barangnya disebabkan adanya garansi. Mekanisme semacam ini dikenal sebagai khiyar nâqishah. Mazhab Syafi’i mengakui adanya mekanisme khiyar nâqishah ini ditambah dengan satu mekanisme lagi yaitu mekanisme khiyar al-tasyahhi. Khiyar al-tasyahhi dilakukan dengan jalan memberi peluang kepada pembeli untuk menentukan pilihannya selang jangka waktu yang sedikit lama dari umumnya jual beli. Biasanya mekanisme ini ditujukan untuk memberi peluang kepada pembeli melakukan pertimbangan jadi atau tidaknya melakukan opsi jual beli, karena barang yang dibeli bernilai tinggi. Contoh penerapan khiyar al-tasyahhi ini adalah jual beli mobil, rumah, dan sejenisnya. Ulama Hanabilah menetapkan mekanisme khiyar menjadi 8. 

Penting dicatat bahwa dari keempat mazhab tersebut, tidak satu pun dari mereka menyebut kewajiban memberitahu cacatnya barang. Dalam salah satu khiyar, justru mereka menyebutkan adanya khiyar aib, dengan wujud aibnya barang yang sudah tampak secara jelas (aib jaly). Namun, untuk aib khafy (cacat barang yang bersifat samar dan tidak signifikan), tidak disebutkan kewajiban untuk memberitahu oleh penjual kepada pembeli. Yang dilarang oleh keempat mazhab tersebut adalah melakukan tadlis, yaitu menyembunyikan aib yang jaly (nyata), kemudian dipoles sedemikian rupa sehingga seolah-olah berwujud sebagai barang bagus, padahal aibnya ditutup dengan kemasan saja. Digambarkan dalam mazhab Syafi’i, ibarat jual beli kurma dalam tumpukan, lalu bagian luarnya diisi dengan kurma yang bagus, sementara bagian dalamnya diisi dengan kurma yang buruk. Untuk memahami hal ini, pembaca bisa kembali membaca tulisan sebelumnya tentang jual beli borongan. Inilah yang dimaksud dengan istilah tadlis yang diharamkan karena adanya unsur menipu. Wallahu a’lam bish shawab. []

Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU JATIM dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar