Jumat, 11 Oktober 2019

(Ngaji of the Day) Fiqih Maqashid (2): Solusi Problem Ekonomi Syariah


Fiqih Maqashid (2): Solusi Problem Ekonomi Syariah

Al-Syâthiby di dalam kitab al-Muwâfaqat-nya mengatakan bahwa:

هذه الشريعة ....وضعت لتحقيق مقاصد الشارع في قيام مصالحهم في الدين والدنيا معا

Artinya: “Syariat ini….. adalah diturunkan guna mewujudkan tujuan-tujuan (maqâshid) Sang Pencipta di dalam mewujudkan kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.” (Al-Syâthibî, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah ditahqiq oleh ‘Abdullah Darrâz, Kairo: Maktabah al-Tijâriyah al-Kubrâ, tt., 322)

Berdasarkan keterangan di atas, titik sentral maqashid al-Syathiby ada pada kemaslahatan. Maslahah ini oleh al-Ghazali dibahasakan sebagai sabîli al-ibtida, yaitu suatu jalan menggapai kesejahteraan. Tidak ada kesejahteraan tanpa upaya menjaga kemaslahatan. Hanya saja, dalam mewujudkan kemaslahatan tersebut, ada perbedaan yang menyolok antara al-Syathiby dan al-Ghazali. Al-Ghazali menerima beberapa kaidah mutlak istihsân, sementara al-Syathiby lebih memilih melalui proses evolusi manath menjadi tiga, yaitu: takhriju al-manath (identifikasi masalah), tahqîqu al-manath (analisis masalah) dan tanqîhu al-manath (keputusan hukum). 

Penting diketahui bahwa antara al-Syathiby dan al-Ghazâli memiliki perbedaan dalam memandang kemaslahatan. Menurut al-Ghazâly, maslahah (maslahat) hanya bisa dicapai dengan jalan dar-ul-mafâsid muqaddam ‘ala jalbi al-mashâlih, yaitu mengutamakan menolak timbulnya mafsadah dibanding mencari kemaslahatan. Konsep al-Ghazâli ini umum berlaku dalam kaidah maslahatu al-mursalah. Sebagaimana kasus sebelumnya dicontohkan misalnya antara makan atau sholat dulu, Imam al-Ghazali memilih makan dulu disebabkan hilangnya kekhusyukan karena lapar atau makanan adalah dianggap sebagai mafsadah (kerusakan). 

Adapun al-Syathiby, memandang bahwa yang dinamakan maslahah itu harus bersifat universal dan umum (kully). Dengan kata lain, menurut konsep al-Syathiby, suatu perkara disebut maslahah manakala ia tidak hanya dirasakan kebaikannya oleh mukallaf saja, melainkan harus bisa diterima oleh semua kalangan. Itulah sebabnya, konsep manath (doktrin syarî’ah) ia bagi menjadi tiga, yakni takhrîju al-manath, tahqîqu al-manath dan tanqîhu al-manath. Karena alasan ini pula, selanjutnya al-Syathibi membagi maslahah menjadi dua, yaitu mashlahah ashly dan mashlahah tâbi’.

Mashlahah ashly merupakan instruksi langsung dari Syari’. Sementara mashlahah tâbi’ merupakan hasil olah akal yang diselaraskan dengan mashlahah ashly. Upaya menuju ke mashlahah tabi’ dari mashlahah ashly wajib melalui tiga tahapan deskripsi, analisis dan keputusan manath. Dengan kasus sederhana yang sama dengan sebelumnya, hal ini dicontohkan, makan dulu ataukah sholat dulu? Berdasar maqashidnya al-Syathiby, hal itu diperinci. Jika karena meninggalkan makan dulu hal itu tidak sampai menimbulkan mudlarat yang besar bagi musholli - seperti kematian - maka hal yang harus didahulukan adalah sholat dulu dibandingkan memakan hidangan yang ada di sampingnya. 

Contoh lain dalam kasus pembiayaan ekonomi syariah misalnya, konsep bai’u al-’uhdah adalah dipandang sebagai pengalihan isue (hilah) dari aslinya pinjaman berbunga menjadi akad jual-beli. Menurut konteks maqashid-nya al-Syathibi, bai’u al-’uhdah, maka hukumnya adalah tidak mutlak haram juga tidak mutlak diperbolehkan sebagaimana hal itu disampaikan oleh Ibnu Qudamah dari kalangan Hanabilah. Ada catatan yang menyebabkan kebolehan bai’u al-’uhdah, yang di sisi lain juga memandang keharamannya bila tidak ditemui illat hukum. Illat hukum kebolehan adalah manakala tidak dijumpai sistem pembiayaan yang lain yang jelas kehalalannya. Hal itu berangkat dari konsep bahwa yang dinamakan akad qardlu adalah mustinya qardlu hasan (pinjaman lunak) dan diperuntukkan untuk tolong-menolong (ta’awun). Namun, apabila dijumpai adanya sistem pembiayaan yang jelas kehalalannya, maka bai’u al-’uhdah menjadi tidak boleh disebabkan ada unsur pengalihan diri dari transaksi riba tersebut.

Semestinya, bai’u al-uhdah masuk dalam akad rahn (gadai). Namun, jika memakai akad rahn, maka pihak penerima gadai (murtahin) tidak boleh memanfaatkan barang, karena pemanfaatan ini akan diputus sebagai riba. Persoalannya, jika kemudian yang digadaikan adalah tanah/tambak. Apakah akan dibiarkan begitu saja tanah dan tambak itu? Jika dibiarkan begitu saja, maka justru akan timbul mafsadah berupa rusaknya tanah dan tambak disebabkan tumbuhnya tumbuhan yang membutuhkan biaya besar mengembalikan ke kondisi siap operasional lagi. Jadi, pemanfaatan ini sifatnya adalah suatu keharusan. Jika sifatnya adalah sebuah keharusan, maka tidak bisa memakai akad rahn. Jadi akad apa yang bisa dipakai? Tentu harus berupa akad jual beli. Namun di sisi yang lain, pihak pemilik tidak menghendaki kehilangan barang akibat terjual. Masak hanya butuh dana 10 juta lantas harus menjual tanah seluas satu hektar tambak? Inilah illat hukum yang bisa dipergunakan lewat maqashid al-Syathibi sehingga bisa beralih ke bai’u al-uhdah disebabkan karena mempertimbangkan faktor kemaslahatan sementara konteks dalil asal rahn tidak mungkin diterapkan. 

Kasus pemecahan yang sama akan berbeda bila memakai konteks maqashid Imam al-Ghazali. Menurut maqâshid al-Ghazali, bai’u al-’uhdah bisa diputus langsung sebagai mutlak dibolehkan sebab unsur menghindar dari mafsadah. Apalagi konsep dasar bai’u al-’uhdah adalah “jual beli”, meskipun ada syarat tempo berupa waktu yakni harus dijual kembali kepada pemilik asalnya setelah selesai masanya. Jual beli adalah jelas kehalalannya berdasarkan teks Al-Qur’an selagi syarat yang disertakan tidak bersifat menghilangkan hak memanfaatkan barang. Jadi kuncinya terletak pada pemanfaatan harta. Harta tidak hanya terdiri atas ‘ainun wujud. Harta juga bisa terdiri atas manfaat. Anda membeli pulsa, maka pulsa yang sifatnya tidak tampak ini adalah disebut harta manfaat, sehingga ia bukan termasuk ainun wujud. 

Contoh aplikasi maqashid al-Ghazali ini misalnya adalah pada kasus bai’u al-‘uhdah jual beli sende. Jual beli sende hukumnya boleh disebabkan jelas peralihan haknya. Tidak bolehnya pembeli menjual barang yang sudah dibelinya secara ‘uhdah tersebut ke pihak lain disebabkan keharaman lain yaitu khianat terhadap janji/amanah. Itulah sebabnya dalam banyak ibarat dan dalil yang ditemui di dalam kitab, banyak fuqaha’ yang menyebut bai’u al-‘uhdah (jual beli sende) ini sebagai bai’u al-amanah atau bai’ bi al-amânah. Pembaca bisa merujuk pada kitab karya Habib ‘Alawi al-Segaf, Tarsyikhu al-Mustafiddin ‘ala Fath al-Mu’în, terbitan Dar al-Fikr, halaman 226. []

Muhammad Syamsudin, Pengasuh PP Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU JATIM dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar