Fiqih Maqashid (2): Solusi
Problem Ekonomi Syariah
Al-Syâthiby di dalam kitab al-Muwâfaqat-nya
mengatakan bahwa:
هذه
الشريعة ....وضعت لتحقيق مقاصد الشارع في قيام مصالحهم في الدين والدنيا معا
Artinya: “Syariat ini….. adalah diturunkan
guna mewujudkan tujuan-tujuan (maqâshid) Sang Pencipta di dalam mewujudkan
kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.” (Al-Syâthibî,
al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah ditahqiq oleh ‘Abdullah Darrâz, Kairo:
Maktabah al-Tijâriyah al-Kubrâ, tt., 322)
Berdasarkan keterangan di atas, titik sentral
maqashid al-Syathiby ada pada kemaslahatan. Maslahah ini oleh al-Ghazali
dibahasakan sebagai sabîli al-ibtida, yaitu suatu jalan menggapai
kesejahteraan. Tidak ada kesejahteraan tanpa upaya menjaga kemaslahatan. Hanya
saja, dalam mewujudkan kemaslahatan tersebut, ada perbedaan yang menyolok
antara al-Syathiby dan al-Ghazali. Al-Ghazali menerima beberapa kaidah mutlak
istihsân, sementara al-Syathiby lebih memilih melalui proses evolusi manath
menjadi tiga, yaitu: takhriju al-manath (identifikasi masalah), tahqîqu
al-manath (analisis masalah) dan tanqîhu al-manath (keputusan hukum).
Penting diketahui bahwa antara al-Syathiby
dan al-Ghazâli memiliki perbedaan dalam memandang kemaslahatan. Menurut
al-Ghazâly, maslahah (maslahat) hanya bisa dicapai dengan jalan dar-ul-mafâsid
muqaddam ‘ala jalbi al-mashâlih, yaitu mengutamakan menolak timbulnya mafsadah
dibanding mencari kemaslahatan. Konsep al-Ghazâli ini umum berlaku dalam kaidah
maslahatu al-mursalah. Sebagaimana kasus sebelumnya dicontohkan misalnya antara
makan atau sholat dulu, Imam al-Ghazali memilih makan dulu disebabkan hilangnya
kekhusyukan karena lapar atau makanan adalah dianggap sebagai mafsadah
(kerusakan).
Adapun al-Syathiby, memandang bahwa yang
dinamakan maslahah itu harus bersifat universal dan umum (kully). Dengan kata
lain, menurut konsep al-Syathiby, suatu perkara disebut maslahah manakala ia
tidak hanya dirasakan kebaikannya oleh mukallaf saja, melainkan harus bisa
diterima oleh semua kalangan. Itulah sebabnya, konsep manath (doktrin syarî’ah)
ia bagi menjadi tiga, yakni takhrîju al-manath, tahqîqu al-manath dan tanqîhu
al-manath. Karena alasan ini pula, selanjutnya al-Syathibi membagi maslahah
menjadi dua, yaitu mashlahah ashly dan mashlahah tâbi’.
Mashlahah ashly merupakan instruksi langsung
dari Syari’. Sementara mashlahah tâbi’ merupakan hasil olah akal yang
diselaraskan dengan mashlahah ashly. Upaya menuju ke mashlahah tabi’ dari
mashlahah ashly wajib melalui tiga tahapan deskripsi, analisis dan keputusan
manath. Dengan kasus sederhana yang sama dengan sebelumnya, hal ini
dicontohkan, makan dulu ataukah sholat dulu? Berdasar maqashidnya al-Syathiby,
hal itu diperinci. Jika karena meninggalkan makan dulu hal itu tidak sampai
menimbulkan mudlarat yang besar bagi musholli - seperti kematian - maka hal
yang harus didahulukan adalah sholat dulu dibandingkan memakan hidangan yang
ada di sampingnya.
Contoh lain dalam kasus pembiayaan ekonomi
syariah misalnya, konsep bai’u al-’uhdah adalah dipandang sebagai pengalihan
isue (hilah) dari aslinya pinjaman berbunga menjadi akad jual-beli. Menurut
konteks maqashid-nya al-Syathibi, bai’u al-’uhdah, maka hukumnya adalah tidak
mutlak haram juga tidak mutlak diperbolehkan sebagaimana hal itu disampaikan
oleh Ibnu Qudamah dari kalangan Hanabilah. Ada catatan yang menyebabkan
kebolehan bai’u al-’uhdah, yang di sisi lain juga memandang keharamannya bila
tidak ditemui illat hukum. Illat hukum kebolehan adalah manakala tidak dijumpai
sistem pembiayaan yang lain yang jelas kehalalannya. Hal itu berangkat dari
konsep bahwa yang dinamakan akad qardlu adalah mustinya qardlu hasan (pinjaman
lunak) dan diperuntukkan untuk tolong-menolong (ta’awun). Namun, apabila
dijumpai adanya sistem pembiayaan yang jelas kehalalannya, maka bai’u al-’uhdah
menjadi tidak boleh disebabkan ada unsur pengalihan diri dari transaksi riba
tersebut.
Semestinya, bai’u al-uhdah masuk dalam akad
rahn (gadai). Namun, jika memakai akad rahn, maka pihak penerima gadai
(murtahin) tidak boleh memanfaatkan barang, karena pemanfaatan ini akan diputus
sebagai riba. Persoalannya, jika kemudian yang digadaikan adalah tanah/tambak.
Apakah akan dibiarkan begitu saja tanah dan tambak itu? Jika dibiarkan begitu
saja, maka justru akan timbul mafsadah berupa rusaknya tanah dan tambak
disebabkan tumbuhnya tumbuhan yang membutuhkan biaya besar mengembalikan ke
kondisi siap operasional lagi. Jadi, pemanfaatan ini sifatnya adalah suatu
keharusan. Jika sifatnya adalah sebuah keharusan, maka tidak bisa memakai akad
rahn. Jadi akad apa yang bisa dipakai? Tentu harus berupa akad jual beli. Namun
di sisi yang lain, pihak pemilik tidak menghendaki kehilangan barang akibat
terjual. Masak hanya butuh dana 10 juta lantas harus menjual tanah seluas satu
hektar tambak? Inilah illat hukum yang bisa dipergunakan lewat maqashid
al-Syathibi sehingga bisa beralih ke bai’u al-uhdah disebabkan karena
mempertimbangkan faktor kemaslahatan sementara konteks dalil asal rahn tidak
mungkin diterapkan.
Kasus pemecahan yang sama akan berbeda bila
memakai konteks maqashid Imam al-Ghazali. Menurut maqâshid al-Ghazali, bai’u
al-’uhdah bisa diputus langsung sebagai mutlak dibolehkan sebab unsur
menghindar dari mafsadah. Apalagi konsep dasar bai’u al-’uhdah adalah “jual
beli”, meskipun ada syarat tempo berupa waktu yakni harus dijual kembali kepada
pemilik asalnya setelah selesai masanya. Jual beli adalah jelas kehalalannya
berdasarkan teks Al-Qur’an selagi syarat yang disertakan tidak bersifat
menghilangkan hak memanfaatkan barang. Jadi kuncinya terletak pada pemanfaatan
harta. Harta tidak hanya terdiri atas ‘ainun wujud. Harta juga bisa terdiri
atas manfaat. Anda membeli pulsa, maka pulsa yang sifatnya tidak tampak ini
adalah disebut harta manfaat, sehingga ia bukan termasuk ainun wujud.
Contoh aplikasi maqashid al-Ghazali ini
misalnya adalah pada kasus bai’u al-‘uhdah jual beli sende. Jual beli sende
hukumnya boleh disebabkan jelas peralihan haknya. Tidak bolehnya pembeli
menjual barang yang sudah dibelinya secara ‘uhdah tersebut ke pihak lain
disebabkan keharaman lain yaitu khianat terhadap janji/amanah. Itulah sebabnya
dalam banyak ibarat dan dalil yang ditemui di dalam kitab, banyak fuqaha’ yang
menyebut bai’u al-‘uhdah (jual beli sende) ini sebagai bai’u al-amanah atau
bai’ bi al-amânah. Pembaca bisa merujuk pada kitab karya Habib ‘Alawi al-Segaf,
Tarsyikhu al-Mustafiddin ‘ala Fath al-Mu’în, terbitan Dar al-Fikr, halaman 226.
[]
Muhammad Syamsudin, Pengasuh PP Hasan Jufri
Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang
Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU JATIM dan Wakil Sekretaris Bidang
Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar