Senin, 14 Oktober 2019

(Ngaji of the Day) Fiqih Maqashid (5): Mengambil Maslahah dan Menghindari Mafsadah


Fiqih Maqashid (5): Mengambil Maslahah dan Menghindari Mafsadah

Bagaimanapun juga, yang menjadi fokus utama dirumuskannya konsepsi maqashid al-syari’ah (tujuan pokok syariat) adalah untuk mendapatkan maslahah serta menghindari timbulnya mafsadah (kerusakan). Menurut Imam al-Ghazali, maslahah dibahasakan sebagai sabili al-ibtida’, mewujudkan kesejahteraan. Upaya mewujudkan kesejahteraan adalah tidak boleh lepas dari upaya menghindar dari timbulnya mafsadah itu. Jika kesejahteraan digapai justru dengan menimbulkan mafsadah yang besar bagi manusia, maka tak urung kemaslahatan itu pasti salah dalam menggapainya. Adanya penentangan terhadap konsep-konsep kapitalisme dan liberalisme, adalah merupakan bagian yang menjadi kritik utama konsep mewujudkan kemaslahatan. 

Syekh Jalâl al-Dîn ‘Abdu al-Rahmân, di dalam kitabnya yang bertajuk al-Mashâlihu al-Mursalah, secara lugas mendefinisikan maslahah dari sudut pandang kebiasaan orang Arab sebagai: 

المصلحة وردت في لغة العرب الأعمال الباعثة على نفع الإنسان

Artinya: “Maslahah yang berlaku di lisan arab bermakna segala bentuk amal yang lahir memuat kemanfaatan bagi manusia.” [Jalâl al-Dîn ‘Abdu al-Rahmân, al-Mashâlih al-Mursalah, Kairo: Mathba’ah al-Sa’adah, 1983, 12]

Menurut Mahmud Musthafâ Sâlim al-Shamâdy, maslahah menurut fiqih kedokteran dimaknai sebagai: 

المصلحة....هي ما يترتب على الفعل مما يبعث على الصلاح

Artinya: “Maslahah adalah apa saja yang berisi tindakan yang bisa membawa kepada kondisi baik.” [Mahmud Musthafâ Sâlim al-Shamâdy, al-Mashâlih al-Mursalah wa Dauruha fi al-Qadhaya al-Thibbiyyah al-Mu’âshirah, Swaileh: Dâru al-Falâh li al-Nasyr wa al-Tauzî’, tt., 38]

Secara istilah, Al Ghazali mendefinisikan maslahah itu sebagai:

المصلحة .... هي جلب المنفعة ودفع المضرة أي المفسدة

Artinya: “Maslahah adalah menarik kemanfaatan dan menolak kemudlaratan, yakni kerusakan.” [Abu Hâmid al-Ghazâly, al-Mustashfâ, Beirut: Ihyâu al-Turâts al-‘Araby, 1977, Juz 2, 139]

Jadi, hakikat maslahah itu pada dasarnya adalah menarik kemanfaatan dan menolak segala bentuk kemudlaratan atau kerusakan. Sebagaimana definisi dari al-Ghazali inilah, maka para ulama sering memasukkan maslahah ini dalam bab istishlah (mengikut al-maslahah al-mursalah). Rumpun dari istishlah ini adalah persoalan ijma’ ulama, qiyas (anomali hukum), istihsan (menganggap baik sesuatu), istishab (menetapkan sesuatu hukum pada hukum sebelumnya sampai ditemui adanya dalil lain yang menunjukkan adanya perubahan), saddu al-dzarâi’ (antisipasi), ‘urf (tradisi), madzhab shahâby (pendapat sahabat) dan sebagian ulama ada yang memakai syar’u man qablanâ (syariat umat terdahulu). Imam Malik memasukkan ijmâ’u ahli al-madînahi (kesepakatan penduduk Madinah) sebagai salah satu rumpun istishlah. Adapun tentang saddu al-dzarai’ ada banyak dijumpai pada pendapat ulama dari kalangan pengikut madzhab Hanbali. 

Di dalam memandang maslahah ini dan kaitannya dengan teks, para ulama umumnya dikelompokkan menjadi tiga yaitu: 

1. Ulama yang memandang harus berpedoman pada dhahir nash semata, tanpa perlu menimbang ada tidaknya maslahah lain. Kalangan ini disebut kalangan literalis, terdiri atas pendaku Madzhab Dhahiriyyah, termasuk di dalamnya adalah Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyah. Meskipun, jika menelusuri dari tulisan sebelumnya, Ibnu Taimiyah masih tidak mutlak teks. Namun jargon tajdidnya dengan pernyataan kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah menjadi salah satu penyebab ia masuk dalam kelompok literal ini. 

2. Ulama yang berusaha menggali maqashid al-syari’ah berdasarkan nash, selanjutnya kemudian menetapkan hukum dan ‘illat hukumnya. Para ulama dari kelompok ini menerima qiyas sebagai salah satu sarana untuk menggali hukum problematika masalah yang baru berdasar hukum yang sudah pernah ditetapkan sebelumnya. Hukum yang baru ini disebut sebagai maslahah, apalagi bila ditemukan bukti  lain yang menguatkannya, seperti teks nash atau bahkan bukti lahir berupa hasil riset ilmiah. Hasil riset ilmiah inilah yang selanjutnya membedakannya dari tuduhan sejumlah pihak sebagai ulama pengikut hawa nafsu. 

3. Ulama yang berusaha menggali hukum problematika kekinian dengan “tanpa mendasarkan diri kepada dalil syara’” guna menjaga maqâshid al-syarî’ah yang diakui oleh syara’ akan kebenarannya. Karena tanpa didasari dalil, maka ulama dari kelompok ini acapkali terjebak dalam kepentingan hawa nafsu. Saudara pembaca bias membaca kembali selintas tulisan tentang Fiqih Maqashid Ibnu Taimiyah pada uraian terdahulu, yang mana di dalam tulisan itu, penulis mencontohkan dua pendapat Ibnu Taimiyah sebagai yang tidak berdasar atas dalil nash karena alasan kemaslahatan.

Perlu diketahui bahwa Fakhru al-Dîn al-Razi dalam al-Mahshul fi ‘Ilmi al-Ushul menjelaskan bahwa syara’ memerintahkan penjagaan terhadap 5 hal, yaitu nyawa, akal, kehormatan, agama dan nasab. Ibnu Taimiyah dalam Qawâ’idu al-Ahkâm dan Majmu’ Fatawa-nya menyebutkan kewajiban penjagaan 6 hal, yaitu: darah, harta, kelamin, akal, agama dan akhlak. Al-Syathiby dalam masterpiece Al-Muwâfaqat-nya menyebut kewajiban penjagaan 5 hal, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Masing-masing tokoh memiliki urutan stratifikasi  kewajiban penjagaan itu sebagaimana yang telah disebutkan mulai dari yang paling pokok, sampai dengan yang paling akhir harus dipertimbangkan. Masing-masing dari urutan stratifikasi itu kelak membawa dampak besar terhadap hukum. 

Sebagai gambaran umum untuk pemikiran ekonomi kasus ulama kelompok ketiga ini misalnya adalah pada kasus tas’ir atau pematokan harga barang. Menurut salah satu ulama dari kalangan ketiga ini, ada yang menyatakan bahwa penetapan harga oleh pemerintah dipandang sebagai tidak adil dan cacat hukum apabila dilakukan saat terjadi kelangkaan bahan pokok yang dijual dan tingginya permintaan. Pembaca bisa menemui pendapat ini pada salah satu kitab fatwanya Ibnu Taimiyah. 

Mengapa Ibnu Taimiyah berpendapat semacam? Jika kita telusuri lebih jauh, tidak lain karena Ibnu Taimiyah mendudukkan “penjagaan harta” pada stratifikasi kedua setelah “penjagaan darah”. Berbeda dengan al-Syâthibi, yang mendasarkan pada pendapat al-Nawawi bahwa adalah hak dan wewenang sulthan selaku pemegang hak ri’ayah untuk melakukan pematokan harga karena adanya unsur kemaslahatan. Jika ditelusuri lebih jauh, ternyata al-Syâthibi mendudukkan posisi penjagaan harta pada posisi terakhir dari maqashid al-syari’ah yang berhasil digalinya. Sementara itu ia mendudukkan penjagaan agama dan jiwa menduduki posisi yang pertama. Padahal konsep tas’ir dan kepatuhan pada pemerintah memiliki dasar nash. Pernyataan yang sama dengan al-Syathibi adalah pernyataan Fakhru al-Dîn al-Râzy yang secara lebih tegas lagi mendudukan kewajiban penjagaan nyawa terlebih dahulu sebelum penjagaan yang lain. Ia juga mendasarkan diri pada kepatuhan pada pemerintah selaku pemegang hak ri’ayah, sebab hak ri’ayah memiliki dasar nash, yaitu: 

أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم

Artinya: “Taatlah kepada Allah, Rasul dan orang yang menguasai urusan kalian (pemerintah).”  (QS. Al-Nisa: 59)

Sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa stratifikasi maqashid ternyata memiliki peran yang penting dalam hukum. Itulah sebabnya mengapa fiqih maqâshid merupakan hal yang penting diperhatikan agar kita tidak terjebak dalam persoalan hukum cabang yang lebih jauh lagi atau salah dalam memposisikan nilai penting mana yang harus dijaga atau dipertimbangkan dalam teks keputusan hukum. Bagaimanapun juga, hukum harus memberikan porsi yang penting terhadap upaya menarik kemaslahatan dan menghindar dari mafsadah. []

Muhammad Syamsudin, Penulis adalah Pengasuh PP Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU JATIM dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar