Fiqih Maqashid (5): Mengambil
Maslahah dan Menghindari Mafsadah
Bagaimanapun juga, yang menjadi fokus utama
dirumuskannya konsepsi maqashid al-syari’ah (tujuan pokok syariat) adalah untuk
mendapatkan maslahah serta menghindari timbulnya mafsadah (kerusakan). Menurut
Imam al-Ghazali, maslahah dibahasakan sebagai sabili al-ibtida’, mewujudkan
kesejahteraan. Upaya mewujudkan kesejahteraan adalah tidak boleh lepas dari
upaya menghindar dari timbulnya mafsadah itu. Jika kesejahteraan digapai justru
dengan menimbulkan mafsadah yang besar bagi manusia, maka tak urung kemaslahatan
itu pasti salah dalam menggapainya. Adanya penentangan terhadap konsep-konsep
kapitalisme dan liberalisme, adalah merupakan bagian yang menjadi kritik utama
konsep mewujudkan kemaslahatan.
Syekh Jalâl al-Dîn ‘Abdu al-Rahmân, di dalam
kitabnya yang bertajuk al-Mashâlihu al-Mursalah, secara lugas mendefinisikan
maslahah dari sudut pandang kebiasaan orang Arab sebagai:
المصلحة
وردت في لغة العرب الأعمال الباعثة على نفع الإنسان
Artinya: “Maslahah yang berlaku di lisan arab
bermakna segala bentuk amal yang lahir memuat kemanfaatan bagi manusia.” [Jalâl
al-Dîn ‘Abdu al-Rahmân, al-Mashâlih al-Mursalah, Kairo: Mathba’ah al-Sa’adah,
1983, 12]
Menurut Mahmud Musthafâ Sâlim al-Shamâdy,
maslahah menurut fiqih kedokteran dimaknai sebagai:
المصلحة....هي
ما يترتب على الفعل مما يبعث على الصلاح
Artinya: “Maslahah adalah apa saja yang berisi
tindakan yang bisa membawa kepada kondisi baik.” [Mahmud Musthafâ Sâlim
al-Shamâdy, al-Mashâlih al-Mursalah wa Dauruha fi al-Qadhaya al-Thibbiyyah
al-Mu’âshirah, Swaileh: Dâru al-Falâh li al-Nasyr wa al-Tauzî’, tt., 38]
Secara istilah, Al Ghazali mendefinisikan
maslahah itu sebagai:
المصلحة
.... هي جلب المنفعة ودفع المضرة أي المفسدة
Artinya: “Maslahah adalah menarik kemanfaatan
dan menolak kemudlaratan, yakni kerusakan.” [Abu Hâmid al-Ghazâly,
al-Mustashfâ, Beirut: Ihyâu al-Turâts al-‘Araby, 1977, Juz 2, 139]
Jadi, hakikat maslahah itu pada dasarnya adalah
menarik kemanfaatan dan menolak segala bentuk kemudlaratan atau kerusakan.
Sebagaimana definisi dari al-Ghazali inilah, maka para ulama sering memasukkan
maslahah ini dalam bab istishlah (mengikut al-maslahah al-mursalah). Rumpun
dari istishlah ini adalah persoalan ijma’ ulama, qiyas (anomali hukum),
istihsan (menganggap baik sesuatu), istishab (menetapkan sesuatu hukum pada
hukum sebelumnya sampai ditemui adanya dalil lain yang menunjukkan adanya
perubahan), saddu al-dzarâi’ (antisipasi), ‘urf (tradisi), madzhab shahâby
(pendapat sahabat) dan sebagian ulama ada yang memakai syar’u man qablanâ
(syariat umat terdahulu). Imam Malik memasukkan ijmâ’u ahli al-madînahi
(kesepakatan penduduk Madinah) sebagai salah satu rumpun istishlah. Adapun
tentang saddu al-dzarai’ ada banyak dijumpai pada pendapat ulama dari kalangan
pengikut madzhab Hanbali.
Di dalam memandang maslahah ini dan kaitannya
dengan teks, para ulama umumnya dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
1. Ulama yang memandang harus berpedoman pada
dhahir nash semata, tanpa perlu menimbang ada tidaknya maslahah lain. Kalangan
ini disebut kalangan literalis, terdiri atas pendaku Madzhab Dhahiriyyah,
termasuk di dalamnya adalah Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyah. Meskipun, jika
menelusuri dari tulisan sebelumnya, Ibnu Taimiyah masih tidak mutlak teks.
Namun jargon tajdidnya dengan pernyataan kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah
menjadi salah satu penyebab ia masuk dalam kelompok literal ini.
2. Ulama yang berusaha menggali maqashid
al-syari’ah berdasarkan nash, selanjutnya kemudian menetapkan hukum dan ‘illat
hukumnya. Para ulama dari kelompok ini menerima qiyas sebagai salah satu sarana
untuk menggali hukum problematika masalah yang baru berdasar hukum yang sudah
pernah ditetapkan sebelumnya. Hukum yang baru ini disebut sebagai maslahah,
apalagi bila ditemukan bukti lain yang menguatkannya, seperti teks nash
atau bahkan bukti lahir berupa hasil riset ilmiah. Hasil riset ilmiah inilah
yang selanjutnya membedakannya dari tuduhan sejumlah pihak sebagai ulama
pengikut hawa nafsu.
3. Ulama yang berusaha menggali hukum
problematika kekinian dengan “tanpa mendasarkan diri kepada dalil syara’” guna
menjaga maqâshid al-syarî’ah yang diakui oleh syara’ akan kebenarannya. Karena
tanpa didasari dalil, maka ulama dari kelompok ini acapkali terjebak dalam
kepentingan hawa nafsu. Saudara pembaca bias membaca kembali selintas tulisan
tentang Fiqih Maqashid Ibnu Taimiyah pada uraian terdahulu, yang mana di dalam
tulisan itu, penulis mencontohkan dua pendapat Ibnu Taimiyah sebagai yang tidak
berdasar atas dalil nash karena alasan kemaslahatan.
Perlu diketahui bahwa Fakhru al-Dîn al-Razi
dalam al-Mahshul fi ‘Ilmi al-Ushul menjelaskan bahwa syara’ memerintahkan
penjagaan terhadap 5 hal, yaitu nyawa, akal, kehormatan, agama dan nasab. Ibnu
Taimiyah dalam Qawâ’idu al-Ahkâm dan Majmu’ Fatawa-nya menyebutkan kewajiban
penjagaan 6 hal, yaitu: darah, harta, kelamin, akal, agama dan akhlak.
Al-Syathiby dalam masterpiece Al-Muwâfaqat-nya menyebut kewajiban penjagaan 5
hal, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Masing-masing tokoh memiliki
urutan stratifikasi kewajiban penjagaan itu sebagaimana yang telah
disebutkan mulai dari yang paling pokok, sampai dengan yang paling akhir harus
dipertimbangkan. Masing-masing dari urutan stratifikasi itu kelak membawa
dampak besar terhadap hukum.
Sebagai gambaran umum untuk pemikiran ekonomi
kasus ulama kelompok ketiga ini misalnya adalah pada kasus tas’ir atau
pematokan harga barang. Menurut salah satu ulama dari kalangan ketiga ini, ada
yang menyatakan bahwa penetapan harga oleh pemerintah dipandang sebagai tidak
adil dan cacat hukum apabila dilakukan saat terjadi kelangkaan bahan pokok yang
dijual dan tingginya permintaan. Pembaca bisa menemui pendapat ini pada salah
satu kitab fatwanya Ibnu Taimiyah.
Mengapa Ibnu Taimiyah berpendapat semacam? Jika
kita telusuri lebih jauh, tidak lain karena Ibnu Taimiyah mendudukkan
“penjagaan harta” pada stratifikasi kedua setelah “penjagaan darah”. Berbeda
dengan al-Syâthibi, yang mendasarkan pada pendapat al-Nawawi bahwa adalah hak
dan wewenang sulthan selaku pemegang hak ri’ayah untuk melakukan pematokan
harga karena adanya unsur kemaslahatan. Jika ditelusuri lebih jauh, ternyata
al-Syâthibi mendudukkan posisi penjagaan harta pada posisi terakhir dari
maqashid al-syari’ah yang berhasil digalinya. Sementara itu ia mendudukkan
penjagaan agama dan jiwa menduduki posisi yang pertama. Padahal konsep tas’ir
dan kepatuhan pada pemerintah memiliki dasar nash. Pernyataan yang sama dengan
al-Syathibi adalah pernyataan Fakhru al-Dîn al-Râzy yang secara lebih tegas
lagi mendudukan kewajiban penjagaan nyawa terlebih dahulu sebelum penjagaan
yang lain. Ia juga mendasarkan diri pada kepatuhan pada pemerintah selaku
pemegang hak ri’ayah, sebab hak ri’ayah memiliki dasar nash, yaitu:
أطيعوا
الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم
Artinya: “Taatlah kepada Allah, Rasul dan orang
yang menguasai urusan kalian (pemerintah).” (QS. Al-Nisa: 59)
Sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa
stratifikasi maqashid ternyata memiliki peran yang penting dalam hukum. Itulah
sebabnya mengapa fiqih maqâshid merupakan hal yang penting diperhatikan agar
kita tidak terjebak dalam persoalan hukum cabang yang lebih jauh lagi atau
salah dalam memposisikan nilai penting mana yang harus dijaga atau
dipertimbangkan dalam teks keputusan hukum. Bagaimanapun juga, hukum harus
memberikan porsi yang penting terhadap upaya menarik kemaslahatan dan
menghindar dari mafsadah. []
Muhammad Syamsudin, Penulis adalah Pengasuh PP
Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan
Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU JATIM dan Wakil
Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar