Ketika Nabi Musa Bingung Cara Bersyukur
kepada Allah
Dalam kitab al-Zuhd, Imam Ahmad bin
Hanbal mencatat sebuah riwayat tentang Nabi Musa ‘alaihissalam yang kebingungan
bersyukur. Berikut riwayatnya:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا أبِي، أَخْبَرَنَا هَاشِمٌ، أَخْبَرَنَا صَالِحٌ،
عَنْ أَبِي عِمْرَانَ الْجَوْنِيِّ، عَنْ أَبِي الْجَلْدِ قَالَ: قَالَ مُوسَى: إِلَهِي، كَيْفَ أَشْكُرُكَ وَأَصْغَرُ
نِعْمَةٍ وَضَعْتَهَا عِنْدِي مِنْ نِعَمِكَ لَا يُجَازِي بِهَا عَمَلِي كُلُّهُ؟
قَالَ: فَأَوْحَى
اللَّهُ إِلَيْهِ أَنْ يَا مُوسَى، الْآنَ شَكَرْتَنِي
Abdullah bercerita, Ayahku mengabarkan,
Hasyim mengabarkan, Shalih mengabarkan, dari Abu ‘Imran, dari Abu al-Jald, ia
berkata:
“Musa berkata: “Tuhanku, bagaimana cara(ku)
bersyukur kepada-Mu, sedangkan nikmat terkecil yang Kau letakkan di sisiku,
termasuk nikmat-nikmat-Mu yang tidak mungkin berbalas dengan semua amalku?”
Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa, (Allah
berfirman): “Wahai Musa, sekarang ini kau sudah bersyukur kepada-Ku.” (Imam
Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h.
85)
****
Dalam beragama banyak hal yang perlu
diperbincangkan, termasuk “syukur”. Allah berfirman (QS. Ibrahim: 7):
وَإِذْ
تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيْدَنَّكُمْ, وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ
إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيْدٌ
“Dan (ingatlah juga) ketika Tuhanmu
memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami tambah nikmat
kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sungguh azab-Ku sangat
pedih.”
Namun, banyak orang yang tidak tahu bagaimana
seharusnya ekspresi syukur itu, karena kadar nikmat yang Allah berikan kepada
kita tidak mungkin diimbangi dengan semua amal baik kita. Belum lagi dosa yang
semakin menjauhkan kita. Sampai Nabi Musa ‘alaihissalam bingung
bagaimana cara mensyukuri nikmat Allah yang sedemikian banyak, bahkan yang
terkecilnya saja tidak sanggup diimbangi oleh semua amalnya.
Di sinilah Allah menunjukkan kasih sayangNya.
Salah satu nama-Nya (al-Asmâ’ al Husnâ) adalah, “al-Syakûr—Yang
Maha Mensyukuri”, yaitu Allah mengapresiasi semua amal yang dilakukan hambaNya.
Bahasa zaman sekarangnya, Allah itu Maha Mengapresiasi, dan menerima amal
hamba-Nya, sekecil apapun itu. Dalam sebuah hadits diceritakan (HR. Imam
Muslim):
عَنْ
اَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلي الله عليه وسلم قَالَ: بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِى بِطَرِيْقٍ وَجَدَ غُصْنَ شَوْكٍ
فَاَخَّرَهُ، فَشَكَرَ اللهُ لَهُ، فَغَفَرَ اللهُ لَهُ
“Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu,
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata: “Suatu ketika
ada laki-laki yang berjalan di sebuah jalan, ia menemukan dahan berduri lalu
menyingkirkannya. Maka Allah berterima kasih kepadanya (menerima amalnya),
kemudian Allah mengampuninya.”
Dalam hadits di atas, ada kalimat, “syakarallahu
lahu—Allah berterima kasih kepadanya,” yang mengindikasikan diterimanya
amal laki-laki tersebut. Artinya, setiap kali ada hamba-Nya yang beramal, Allah
akan berterima kasih dengan cara menerima amalnya. Dan, kisah di atas merupakan
gambaran termudah dari sifat “al-Syakûr” Allah.
Kita pun harus tahu, bahwa kebingungan
Sayyidina Musa adalah kebingungan yang bernilai tinggi. Kebingungan yang
berasal dari ketaatan dan kesalehannya. Bukan kebingungan sembarangan. Karena
tidak banyak orang yang memandang dirinya terlebih dahulu sebelum bersyukur.
Mereka hanya bersyukur saja, tanpa repot mentafakkuri begitu melimpahnya nikmat
Allah, yang jika dibahasakan tidak ada kalimat yang bisa melukiskan
keberlimpahannya.
Dalam kebingungannya itu, Sayyidina Musa ‘alaihissalam
menampilkan penghambaannya. Karena ia tahu begitu banyak nikmat Allah di
sekelilingnya, hingga ia merasa tak pantas “berterima kasih”. Jika yang
terkecil saja masih terlalu besar andai ditimbang dengan semua amalnya, apalagi
nikmat-Nya yang terbesar. Inilah yang dimaksud kebingungan yang berasal dari
kesalehan, karena orang saleh terbiasa mengukur dirinya sendiri terlebih
dahulu; apakah ia laik atau tidak. Oleh sebab itu, tidak sedikit para wali yang
kebingungan dalam bersyukur, hingga sebagian dari mereka berdoa:
اللهمّ
إِنَّكَ تَعْمَلُ عَجْزِي عَنْ مَوَاضِعِ شُكْرِكَ، فَاشْكُرْ نَفْسَكَ عَنِّي
“Ya Allah, sungguh Kau mengetahui
ketidak-mampuanku bersyukur sesuai dengan (semua karunia)-Mu, maka bersyukurlah
pada DiriMu sendiri sebab (ketidak-mampuan)ku (itu).” (Imam Abu Bakr Muhammad
al-Kalabadzi, Kitâb al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, Kairo:
Maktabah al-Khanji, tt, h. 71)
Akan tetapi, bukan berarti kita berhenti
bersyukur. Kita harus tetap bersyukur atas nikmat-nikmat Allah. Jika kita
berhenti bersyukur karena alasan di atas, artinya kita telah menyamakan diri
kita dengan Nabi Musa; kita telah menyamakan kualitas kesalehan kita dengannya.
Padahal, Nabi Musa, dalam kisah di atas, sedang mempersembahkan syukur dalam
level tertingginya. Hadirnya perasaan “tak pantas” yang dirasakannya bukanlah
rekayasa, dibuat-buat atau dipelajari, melainkan ketulusan rasa yang dihasilkan
dari tafakkur diri dan sekitarnya.
Paling tidak, kita bisa mensyukuri nikmat
Allah dengan berusaha istiqamah mengingat-Nya di hati, lisan dan perbuatan;
mengenali pemberian-Nya dan memanfaatkannya di jalan kebaikan, seperti yang
dikatakan Imam Ibnu Mandhur, “’irfânul ihsân wa nasyruhu—(syukur adalah)
mengetahui kebaikan dan menyebarkannya.” (Imam Abu al-Fadl Jamaluddin Muhammad
bin Mandhur al-Anshari, Lisân al-‘Arab, Kairo: Darul Ma’arif, tt, juz 4,
h. 2305). Dalam bahasa hadits dikatakan, “khairunnâs anfa’uhum linnâs—sebaik-baiknya
mansuia adalah yang paling bermanfaat untuk lainnya.”
Sebagai penutup, kita perlu menghayati doa
Nabi Musa di bawah ini, karena bedoa juga termasuk bentuk syukur kepada Allah.
Bila perlu, kita seringkan membaca doa di bawah ini:
اللَّهُمَّ
لَيِّنْ قَلْبِي بِالتَّوْبَةِ، وَلَا تَجْعَلْ قَلْبِي قَاسِيًا كَالْحَجَرِ
“Ya Allah, lunakkan hatiku dengan taubat, dan
jangan jadikan hatiku mengeras seperti batu.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd,
1992, h. 85)
Wallahu a’lam bish shawwab... []
Muhammad Afiq Zahara, alumnus PP.
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar