Kamis, 24 Oktober 2019

Alissa Wahid: Konspirasi


Konspirasi
Oleh: Alissa Wahid

Dalam hitungan jam setelah Menko Polhukam Wiranto ditusuk perutnya di Pandeglang, kanal-kanal media sosial dibanjiri spekulasi. Bertebaran tuduhan, ini hanya rekayasa dalam berbagai versi, misal soal baju yang tidak sobek, peluit polisi yang berbunyi, dan jarak waktu penusukan dengan perban.

Puncaknya adalah framing teori konspirasi: rekayasa ini adalah bagian dari proyek berjualan radikalisme dan mengambinghitamkan kelompok agama tertentu.

Sejak teknologi informasi, khususnya media sosial, makin canggih, teori konspirasi juga makin membanjiri. Ini sejalan dengan derasnya kabar palsu, terutama terkait kontestasi kekuasaan dan politik. Konspirasi memang telah menjadi salah satu elemen penting untuk melakukan rekayasa sosial sejak awal sejarah manusia.

Persekongkolan biasanya melibatkan pihak atau tokoh yang memiliki kekuasaan, dilakukan secara rahasia, dan berkaitan dengan pencapaian tujuan tertentu. Salah satu contoh klasiknya adalah Watergate di Amerika Serikat. Dari Tanah Air adalah lakon konspirasi Ken Arok untuk membunuh Tunggul Ametung di Kerajaan Kediri.

Karena rekaman sejarah konspirasi inilah, berkembang berbagai teori konspirasi. Berbeda dengan konspirasi yang hampir selalu dibuktikan dengan laporan investigasi mendalam, teori konspirasi biasanya diembuskan sebagai analisis tanpa bukti yang memadai dan membawa pesan sentimen emosi yang lebih intens.

Teori konspirasi menuduh sebuah peristiwa terjadi karena ada konspirasi untuk mencapai tujuan tertentu. Alih-alih membuktikan konspirasi itu dengan analisis mendalam dan faktual, teori konspirasi lebih banyak berfungsi sebagai alat propaganda untuk agenda sendiri atau untuk menyerang musuh.

Karena itu, begitu teori konspirasi ini menyebar, tidak ada upaya untuk membuktikan klaim-klaim dalam teori konspirasi ini. Yang terpenting, sentimen publik sudah dipengaruhi, seperti pada kasus teori konspirasi Ratna Sarumpaet (sebelum terekspos). Atau teori konspirasi masuknya jutaan pekerja China di Indonesia yang viral tapi tidak pernah dibuktikan secara konklusif.

Jika pun ada upaya menjelaskan, biasanya tidak disertai dengan bukti, tetapi lebih bersifat analisis abstrak dan bias.

Misalnya, teori konspirasi The Great (White) Replacement tentang adanya persekongkolan besar atas nama multikulturalisme untuk mengganti populasi kulit putih dengan kulit berwarna di negara-negara dominan kulit putih di Eropa Utara dan Amerika Utara. Teori konspirasi ini tidak pernah dianalisis menyeluruh dan ditemukan fakta-fakta pendukungnya, tetapi tetap diyakini sebagai kebenaran.

Apa yang menyebabkan banyak orang, bahkan kaum sekolahan sekalipun, memercayai teori konspirasi? Barkun (2003) menyimpulkan, teori konspirasi dapat memengaruhi publik karena beberapa hal.

Pertama, teori konspirasi membuat hal-hal yang sulit dijelaskan secara faktual jadi ”jelas”. Kedua, teori konspirasi menyederhanakan situasi jadi polarisasi antara pihak korban dan pihak penjahat. Misalnya, teori konspirasi bahwa radikalisme di Indonesia adalah agenda Barat yang ingin menghancurkan Islam.

Selain itu, teori konspirasi dinilai cukup sakti untuk mencuci otak publik dengan penuh kerahasiaan. Teori konspirasi menjadi alat yang mudah untuk menunjuk hidung tertuduh pelaku kejahatan. Dengan teori konspirasi, kecenderungan distorsi kognitif untuk menyalahkan orang lain secara hitam putih (ya atau tidak sama sekali) mendapatkan salurannya. Teori konspirasi mempermudah seseorang menyalahkan liyan untuk persoalan-persoalan sosial.

The Great Replacement, misalnya, adalah teori konspirasi yang mengilhami beberapa pelaku teror kepada kelompok nonkulit putih, termasuk pelaku teror Masjid An-Noor di Christchurch, Selandia Baru.

Konyolnya, orang sering kali tidak mampu membedakan berpikir kritis dengan terjebak teori konspirasi. Mempertanyakan bagaimana mungkin Menko Polhukam bisa diserang sebrutal itu, tentu berbeda dengan mengklaim bahwa posisi berdiri si pelaku menunjukkan adanya rekayasa.

Di sinilah letak bahaya teori konspirasi yang membanjiri kanal-kanal kehidupan kita. Social distrust (ketidakpercayaan antarwarga), segregasi sosial, dan konflik horizontal menjadi risiko besar akibat teori konspirasi.

Padahal, kuncinya cukup jelas: teori konspirasi yang beredar tanpa disertai bukti-bukti yang memadai melalui investigasi yang dapat dipertanggungjawabkan adalah sejenis hoaks yang menyesatkan dan membahayakan.

Beberapa hari lalu, James Fetzer diganjar Pengadilan Wisconsin, Amerika Serikat, untuk membayar 450.000 dollar AS kepada Leonard Pozner setelah Fetzer menyatakan bahwa Pozner memalsukan surat kematian anaknya, Noah (6). Noah adalah satu dari 26 korban jiwa—guru dan murid—dalam serangan teroris di sekolah Sandy Hook.

Fetzer bersama koleganya menyebarkan teori konspirasi bahwa insiden Sandy Hook adalah rekayasa dan tidak benar-benar terjadi. Menurut Pozner, teori konspirasi itu menyakitkan para orangtua yang sedang berduka kehilangan anak-anaknya dan bahwa para produsen teori konspirasi ini tak dapat dibiarkan melenggang begitu saja.

Bagaimana dengan di Indonesia? Akankah kita sampai ke masa saat penyebar teori konspirasi dapat diadili?

Mampukah kita membekali keluarga Indonesia dengan keterampilan berpikir kritis sehingga dapat menekan jebakan teori konspirasi? Di negara yang warganya sangat lekat dengan media sosial, keterampilan ini sungguh menjadi sangat krusial agar jurang kepercayaan tidak makin menganga. []

KOMPAS, 20 Oktober 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar