Konspirasi
Oleh: Alissa Wahid
Dalam hitungan jam setelah Menko Polhukam Wiranto ditusuk perutnya
di Pandeglang, kanal-kanal media sosial dibanjiri spekulasi. Bertebaran
tuduhan, ini hanya rekayasa dalam berbagai versi, misal soal baju yang tidak
sobek, peluit polisi yang berbunyi, dan jarak waktu penusukan dengan perban.
Puncaknya adalah framing teori
konspirasi: rekayasa ini adalah bagian dari proyek berjualan radikalisme dan
mengambinghitamkan kelompok agama tertentu.
Sejak teknologi informasi, khususnya media sosial, makin canggih,
teori konspirasi juga makin membanjiri. Ini sejalan dengan derasnya kabar
palsu, terutama terkait kontestasi kekuasaan dan politik. Konspirasi memang
telah menjadi salah satu elemen penting untuk melakukan rekayasa sosial sejak
awal sejarah manusia.
Persekongkolan biasanya melibatkan pihak atau tokoh yang memiliki
kekuasaan, dilakukan secara rahasia, dan berkaitan dengan pencapaian tujuan
tertentu. Salah satu contoh klasiknya adalah Watergate
di Amerika Serikat. Dari Tanah Air adalah lakon konspirasi Ken Arok untuk
membunuh Tunggul Ametung di Kerajaan Kediri.
Karena rekaman sejarah konspirasi inilah, berkembang berbagai
teori konspirasi. Berbeda dengan konspirasi yang hampir selalu dibuktikan
dengan laporan investigasi mendalam, teori konspirasi biasanya diembuskan
sebagai analisis tanpa bukti yang memadai dan membawa pesan sentimen emosi yang
lebih intens.
Teori konspirasi menuduh sebuah peristiwa terjadi karena ada
konspirasi untuk mencapai tujuan tertentu. Alih-alih membuktikan konspirasi itu
dengan analisis mendalam dan faktual, teori konspirasi lebih banyak berfungsi
sebagai alat propaganda untuk agenda sendiri atau untuk menyerang musuh.
Karena itu, begitu teori konspirasi ini menyebar, tidak ada upaya
untuk membuktikan klaim-klaim dalam teori konspirasi ini. Yang terpenting,
sentimen publik sudah dipengaruhi, seperti pada kasus teori konspirasi Ratna
Sarumpaet (sebelum terekspos). Atau teori konspirasi masuknya jutaan pekerja China
di Indonesia yang viral tapi tidak pernah dibuktikan secara konklusif.
Jika pun ada upaya menjelaskan, biasanya tidak disertai dengan
bukti, tetapi lebih bersifat analisis abstrak dan bias.
Misalnya, teori konspirasi The Great (White) Replacement tentang
adanya persekongkolan besar atas nama multikulturalisme untuk mengganti
populasi kulit putih dengan kulit berwarna di negara-negara dominan kulit putih
di Eropa Utara dan Amerika Utara. Teori konspirasi ini tidak pernah dianalisis
menyeluruh dan ditemukan fakta-fakta pendukungnya, tetapi tetap diyakini
sebagai kebenaran.
Apa yang menyebabkan banyak orang, bahkan kaum sekolahan
sekalipun, memercayai teori konspirasi? Barkun (2003) menyimpulkan, teori
konspirasi dapat memengaruhi publik karena beberapa hal.
Pertama, teori konspirasi membuat hal-hal yang sulit dijelaskan
secara faktual jadi ”jelas”. Kedua, teori konspirasi menyederhanakan situasi
jadi polarisasi antara pihak korban dan pihak penjahat. Misalnya, teori
konspirasi bahwa radikalisme di Indonesia adalah agenda Barat yang ingin
menghancurkan Islam.
Selain itu, teori konspirasi dinilai cukup sakti untuk mencuci
otak publik dengan penuh kerahasiaan. Teori konspirasi menjadi alat yang mudah
untuk menunjuk hidung tertuduh pelaku kejahatan. Dengan teori konspirasi,
kecenderungan distorsi kognitif untuk menyalahkan orang lain secara hitam putih
(ya atau tidak sama sekali) mendapatkan salurannya. Teori konspirasi
mempermudah seseorang menyalahkan liyan untuk persoalan-persoalan sosial.
The Great Replacement, misalnya, adalah teori konspirasi yang
mengilhami beberapa pelaku teror kepada kelompok nonkulit putih, termasuk
pelaku teror Masjid An-Noor di Christchurch, Selandia Baru.
Konyolnya, orang sering kali tidak mampu membedakan berpikir kritis
dengan terjebak teori konspirasi. Mempertanyakan bagaimana mungkin Menko
Polhukam bisa diserang sebrutal itu, tentu berbeda dengan mengklaim bahwa
posisi berdiri si pelaku menunjukkan adanya rekayasa.
Di sinilah letak bahaya teori konspirasi yang membanjiri
kanal-kanal kehidupan kita. Social
distrust (ketidakpercayaan antarwarga), segregasi sosial, dan
konflik horizontal menjadi risiko besar akibat teori konspirasi.
Padahal, kuncinya cukup jelas: teori konspirasi yang beredar tanpa
disertai bukti-bukti yang memadai melalui investigasi yang dapat
dipertanggungjawabkan adalah sejenis hoaks yang menyesatkan dan membahayakan.
Beberapa hari lalu, James Fetzer diganjar Pengadilan Wisconsin,
Amerika Serikat, untuk membayar 450.000 dollar AS kepada Leonard Pozner setelah
Fetzer menyatakan bahwa Pozner memalsukan surat kematian anaknya, Noah (6).
Noah adalah satu dari 26 korban jiwa—guru dan murid—dalam serangan teroris di
sekolah Sandy Hook.
Fetzer bersama koleganya menyebarkan teori konspirasi bahwa insiden
Sandy Hook adalah rekayasa dan tidak benar-benar terjadi. Menurut Pozner, teori
konspirasi itu menyakitkan para orangtua yang sedang berduka kehilangan
anak-anaknya dan bahwa para produsen teori konspirasi ini tak dapat dibiarkan
melenggang begitu saja.
Bagaimana dengan di Indonesia? Akankah kita sampai ke masa saat
penyebar teori konspirasi dapat diadili?
Mampukah kita membekali keluarga Indonesia dengan keterampilan
berpikir kritis sehingga dapat menekan jebakan teori konspirasi? Di negara yang
warganya sangat lekat dengan media sosial, keterampilan ini sungguh menjadi
sangat krusial agar jurang kepercayaan tidak makin menganga. []
KOMPAS, 20 Oktober 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar