Imam di Lantai Atas, Makmum
Tahu Gerakan Imam lewat Proyektor
Pertanyan:
Assalamu’alikum wr. wb. Izinkan saya
bertanya. Di sini ada masjid dua lantai, kalau shalat Jumat penuh, sementara
posisi imam ada di lantai atas, jamaah di lantai bawah tidak bisa melihat imam
secara langsung. Jadi di lantai bawah dipasangi layar proyektor yang
menampilkan imam di lantai atas. Bagaimana hukumnya? Mohon penjelasannya untuk al-faqir
ini.
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi
wabarakatuh.
Penanya yang budiman, semoga kita senantiasa diberi kemudahan oleh Allah dalam
segala hal kebaikan.
Salah satu syarat sah shalat Jumat adalah
dilaksanakan secara berjamaah, minimal di rakaat pertama. Oleh karenanya,
ketentuan pelaksanaannya juga harus memperhatikan syarat-syarat dan ketentuan
pelaksanaan shalat jamaah.
Berkaitan dengan pertanyaan yang saudara
kemukakan, setidaknya ada dua sudut pandang yang perlu disikapi. Pertama,
terkait standar keabsahan berkumpulnya imam dan makmum dalam satu tempat.
Kedua, standar keabsahan mengetahuinya makmum terhadap gerakan-gerakan imamnya.
Pertama, berkaitan standar
keabsahan berkumpulnya Imam dan Makmum dalam satu tempat.
Bahwa salah satu syarat keabsahan jamaah
adalah berkumpulnya imam dan makmum dalam satu tempat, tidak sah bila posisi
berdiri imam dan makmum berlainan tempat. Hanya untuk menentukan berkumpul dan
tidaknya, fiqih sudah memiliki batas-batas tersendiri. Karena konteks
pertanyaan adalah di dalam masjid, maka tulisan ini kami fokuskan ketentuan
posisi imam dan makmum di dalam masjid
Posisi imam dan makmum yang sama-sama di
dalam masjid, disyaratkan tidak terpisah oleh bangunan atau benda lain yang
dapat menghambat berjalan sampai ke posisi berdirinya imam. Maka, menjadi tidak
sah misalkan posisi makmum terhalang oleh pintu yang ditutup secara permanen
(dengan dipaku), bangunan masjid berlantai yang tidak dihubungkan oleh tangga
atau bangunan kamar yang dapat menghambat berjalan sampai ke posisi imam.
Berbeda halnya bila bangunan atau benda
lainnya tidak dapat menghambat berjalan sampai ke posisi imam, misalkan posisi
lantai atas dan bawah masjid yang terhubung oleh tangga, maka sah dan boleh.
Pada prinsipnya, selama posisi imam dan
makmum masih terhubung oleh sebuah jalan yang dapat dilewati secara normal,
maka jamaahnya sah dan dinyatakan berkumpul dalam satu tempat.
Syekh Zakariyya al-Anshari berkata:
ـ
(فَإِنْ كَانَا
بِمَسْجِدٍ صَحَّ الِاقْتِدَاءُ وَإِنْ) بَعُدَتْ مَسَافَةٌ وَ (حَالَتْ
أَبْنِيَةٌ) كَبِئْرٍ وَسَطْحٍ بِقَيْدٍ زِدْته بِقَوْلِي (نَافِذَةً) إلَيْهِ
أُغْلِقَتْ أَبْوَابُهَا أَوْ لَا لِأَنَّهُ كُلَّهُ مَبْنِيٌّ لِلصَّلَاةِ
فَالْمُجْتَمِعُونَ فِيهِ مُجْتَمِعُونَ لِإِقَامَةِ الْجَمَاعَةِ مُؤَدُّونَ لِشَعَارِهَا
فَإِنْ لَمْ تَكُنْ نَافِذَةً إلَيْهِ لَمْ يُعَدَّ الْجَامِعُ لَهُمَا مَسْجِدًا
وَاحِدًا فَيَضُرُّ الشُّبَّاكُ
“Bila imam dan makmum di dalam masjid, maka
sah berjamaah meski jauh jaraknya dan terhalang bagunan-bangunan seperti sumur
dan atap dengan catatan yang aku tambahkan; yang terhubung sampai posisi imam,
baik dikunci pintu-pintunya atau tidak, karena keseluruhan masjid dibangun
untuk shalat, maka orang-orang yang berkumpul di dalamnya (dinyatakan)
berkumpul mendirikan jamaah, melaksanakan syiarnya. Bila bangunan-bangunan
tersebut tidak terhubung sampai posisi imam, maka tidak terhitung satu masjid,
maka bermasalah (terhalang) oleh jendela,” (Syekh Zakariyya al-Anshari, Fath
al-Wahhab, juz 1, hal. 323).
Mengomentari referensi di atas, Syekh
Sulaiman al-Bujairimi menegaskan:
ـ
(قَوْلُهُ: نَافِذَةٌ)
أَيْ بِحَيْثُ يُمْكِنُ الِاسْتِطْرَاقُ مِنْ ذَلِكَ الْمَنْفَذِ عَادَةً وَلَوْ
لَمْ يَصِلْ مِنْ ذَلِكَ الْمَنْفَذِ إلَى ذَلِكَ الْبِنَاءِ إلَّا بِازْوِرَارٍ
وَانْعِطَافٍ بِحَيْثُ يَصِيرُ ظَهْرُهُ لِلْقِبْلَةِ
“Maksud ucapan Syekh Zakariyya “yang
terhubung (antara imam dan makmum)” adalah terhubung dengan sekira mungkin
untuk berjalan dari jalan penghubung tersebut secara adat, meski dari jalan
tersebut tidak bisa sampai kepada bangunan kecuali dengan membelakangi qiblat.”
ـ
(قَوْلُهُ: أُغْلِقَتْ
أَبْوَابُهَا) أَيْ وَلَوْ بِقُفْلٍ أَوْ ضَبَّةٍ لَيْسَ لَهَا مِفْتَاحٌ مَا لَمْ
تُسَمَّرُ فَيَضُرُّ الشُّبَّاكُ وَكَذَا الْبَابُ الْمُسَمَّرُ بِالْأَوْلَى
لِأَنَّهُ يَمْنَعُ الِاسْتِطْرَاقَ وَالرُّؤْيَةَ قَالَ شَيْخُنَا: وَإِنْ كَانَ
الِاسْتِطْرَاقُ مُمْكِنًا مِنْ فُرْجَةٍ مِنْ أَعْلَاهُ فِيمَا يَظْهَرُ لِأَنَّ
الْمَدَارَ عَلَى الِاسْتِطْرَاقِ الْعَادِي وَكَذَا السَّطْحُ الَّذِي لَا
مَرْقَى لَهُ مِنْ الْمَسْجِدِ بِأَنْ أُزِيلَ سُلَّمُهُ وَمِنْ هَذَا يُعْلَمُ
بُطْلَانُ صَلَاةِ مَنْ يُصَلِّي بِدَكَّةِ الْمُؤَذِّنِينَ وَقَدْ رُفِعَ مَا
يُتَوَصَّلُ بِهِ مِنْهَا إلَى الْمَسْجِدِ
“Ucapan Syekh Zakariyya “dikunci
pintu-pintunya” meski dengan gembok atau tambalan yang tidak memiliki kunci
selama tidak dipaku, maka bermasalah jendela terlebih pintu yang dipaku, sebab
dapat mencegah berjalan sampai posisi imam dan mencegah melihat imam. Guruku
berkata, meski berjalan masih mungkin dari lubang di atas jendela, karena
standarnya adalah bisa berjalan secara adat (normal), demikian pula atap
(lantai atas) yang tidak memiliki tangga dari masjid, dengan sekira dihilangkan
tangganya. Dari ini diketahui batalnya shalat orang yang berada di tempat
naiknya muadzin yang dihilangkan jalan penghubung dari tempat tersebut menuju masjid,”
(Syekh Sulaiman al-Bujairimi, al-Tajrid li Naf’il Abid, juz 1, hal.
323).
Kedua, standar keabsahan
mengetahuinya makmum terhadap gerakan-gerakan imam.
Salah satu syarat berjamaah adalah makmum
harus mengetahui gerakan-gerakan shalatnya imam, mulai dari berdiri, ruku’,
sujud dan lain sebagainya. Pengetahuan akan hal ini bisa ditempuh dengan
beberapa cara, melihat imam secara langsung, melihat shaf bagian depan,
mendengar suara imam, mendengar suara muballigh (seseorang yang bertugas
menirukan suara imam agar didengar luas oleh seluruh makmum) atau dengan
gerakan rabith (makmum yang berdiri di jalan penghubung posisi imam dan
makmum lain agar bisa diikuti gerakan-gerakan imam atau sebagian makmum yang
lain).
Pada prinsipnya, makmum harus mengetahui
kapan imamnya berdiri, kapan ia ruku’, kapan ia sujud dan seterusnya. Dalam
konteks pertanyaan di atas, layar proyektor yang terpasang di lantai bawah,
sudah cukup untuk dijadikan media untuk mengetahui gerakan-gerakan imam,
terlebih dengan dukungan pengeras suara yang dapat memberikan informasi secara
akurat kapan imam berpindah pindah dari satu rukun ke rukun shalat lainnya.
Yang bermasalah adalah ketika proyektor mati atau pengeras suara error, karena
tidak ada media untuk mengetahui gerakan-gerakan imam, oleh karenanya usahakan
pihak yang bertugas untuk betul-betul memastikan layar proyektor atau pengeras
suara berfungsi dengan baik sampai selesainya jamaah Jumat.
Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi berkata:
ـ
(و) الثَّالِث (عِلْمٌ
بِانْتِقَالَاتِ إِمَامٍ) بِرُؤْيَتِهِ أَو رُؤْيَةِ صَفٍّ أَو بَعْضِهِ أَو
سَماعِ صَوْتِهِ أَو صَوْتِ مُبَلِّغٍ ثِقَةٍ أَو بِرَابِطَةٍ وَهُوَ شَخْصٌ
يَقِفُ أَمَامَ مَنْفَذٍ كَالْبَابِ لِيُرَى الْإِمَامُ أَو بعضُ الْمَأْمُومين
فَيَتْبَعُهُ مَنْ بِجَانِبِهِ أَوْ خَلْفَهُ
“Syarat yang ketiga, mengetahui
gerakan-gerakan imam dengan melihatnya, melihat barisan atau sebagiannya,
mendengar suara imam, suara muballigh atau dengan makmum penyambung, yaitu
seseorang yang berdiri di depan jalan penghubung (imam dan makmum) seperti
pintu, agar imam atau sebagiam makmum dapat dilihat gerakan-gerakannya, maka
makmum yang di samping atau di belakang rabith ini dapat mengikutinya”. (Syekh
Muhammad Nawawi al-Jawi, Nihayah al-Zain, hal. 121)
Kesimpulannya, pelaksanaan jamaah Jumat
sebagaimana ditanyakan oleh penanya di atas adalah sah dengan dua catatan.
Pertama, terdapat tangga penghubung lantai atas dan bawah masjid yang bisa
dilewati secara normal. Kedua, layar proyektor atau pengeras suara dipastikan
berjalan dengan baik sebagai media untuk mengetahui gerakan-gerakan imam.
Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan, kami terbuka untuk menerima kritik
dan saran. Semoga bermanfaat. []
Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina
Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar