Mewujudkan
Indonesia sebagai Pusat Ekosistem Halal Dunia
Siapa pun orang saleh
tentu mengharapkan keberkahan. Orang Jawa menyebutnya ngalap berkah. Sedangkan
idiom berkah itu sendiri berarti ziyadah al-khayr, yakni bertambahnya
nilai kebaikan pada diri seseorang, profesi, pekerjaan yang sedang ditekuni
atau apapun yang berkaitan dengan kehidupannya.Mengharapkan berkah itu tentu
saja hanya kepada Allah SWT semata. Karena hanya Dia-lah yang memiliki
sekaligus sumber dari segala kebaikan yang ada di dunia ini dan di akhirat
nanti. Akan tetapi sebagaimana rezeki yang tidak jatuh di hadapan kita langsung
dari Allah SWT, namun dianugerahkan oleh hadirat-Nya kepada kita lewat sejumlah
relasi, maka demikian pula berkah itu diberikan kepada kita lewat perantara
orang-orang terkasih-Nya dari kalangan para nabi, wali atau mukmin hakiki.
Demikian diantara wejangan saat ngaos bersama Kiai Kuswaidi Syafi’ie,
pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi, Sewon, Bantul, Yogyakarta.
Terucap untaian
dzikir Alhamdulillah, dalam rangka mensyukuri nikmat dan mengharap berkah,
bahwa Indonesia adalah suatu negeri dengan berbagai sumber daya dan karunia
melimpahnya kekayaan alam, serta mayoritas muslim penduduknya yang selalu
memperhatikan segi kehalalan dalam mengelola sumber daya, proses produksi
maupun output berupa barang dan jasa yang diharapkan dapat menjadi keunggulan
daya saing (competitive advantage) pada era kerja sama masyarakat global
dan percaturan bisnis berbasis teknologi digital. Dalam perspektif nilai
universal, halal sesungguhnya adalah kualitas yang tentu diakui oleh warga
dunia.
Sebagai negara berpenduduk
mayoritas muslim terbesar di dunia, yang juga tercatat 91,2 juta jiwa warga
Nahdliyin (LSI), Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk
mengembangkan ekonomi syariah sebagai arus perekonomian baru yang berpotensi
mampu mendorong pertumbuhan ekonomi global. Potensi ekonomi syariah, atau
sering pula disebut ekonomi halal, dapat dilihat dari semakin meningkatnya
pertumbuhan populasi muslim dunia yang diperkirakan akan mencapai 27,5% dari
total populasi dunia pada 2030 dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi di
negara-negara muslim, serta munculnya pasar halal potensial seperti China dan
India.
Ekonomi syariah juga
sangat berpotensi untuk berkontribusi menekan defisit transaksi berjalan.
Pemerintah perlu terus berupaya mendorong perbaikan defisit neraca transaksi
berjalan, antara lain melalui peningkatan ekspor barang dan jasa. Di antara
komoditas yang permintaannya tinggi, salah satunya adalah produk dan jasa halal
yang menurut data Halal Industry Development Corporation tahun 2016, dikabarkan
mencapai USD 2,3 triliun. Produk dan jasa halal ini mencakup beberapa sektor,
di antaranya makanan, bahan dan zat adiktif, kosmetik, makanan hewan,
obat-obatan dan vaksin, keuangan syariah, farmasi, dan logistik.
Peran ekspor produk
halal Indonesia mencapai 21% dari total ekspor secara keseluruhan. Meski angka
tersebut belum maksimal, namun perkembangan ekspor produk halal Indonesia
mengalami peningkatan sebesar 19% sejak 2016.
Selanjutnya, di masa
mendatang, peran ekspor produk halal ini harus dapat ditingkatkan dengan
memaksimalkan pemanfaatan permintaan dari negara tujuan ekspor produk halal,
serta potensi ekspor ke negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI)
seperti Mesir dan Uni Emirat Arab. Terkait arus perekonomian syariah, Indonesia
berpeluang menjadi pasar produk halal terbesar di dunia sekaligus menjadi
produsen produk halal. Hal ini dikarenakan Indonesia berada di posisi strategis
bagi halal superhighway link dalam global halal supply chain.
Strategi-strategi di
sektor perdagangan dan upaya untuk diversifikasi produk perlu untuk difokuskan
pada beberapa pasar tujuan potensial produk halal. Selain itu, peningkatan
kuantitas dan kualitas produk yang didapatkan perlu juga untuk diperhatikan
agar mampu meningkatkan ekspor produksi barang dan jasa halal Indonesia.
Potensi segmen lain industri halal yang dapat dikembangkan oleh Indonesia
antara lain adalah di segmen pariwisata halal. Pariwisata halal saat ini tengah
populer dan menjadi fenomena di kalangan pelaku industri pariwisata global.
Pelancong muslim memiliki pengeluaran terbesar dunia pada sektor pariwisata,
yang besarnya mencapai USD 120 miliar pada 2015, tahun itu tercatat pertumbuhan
wisatawan muslim meningkat hingga 6,3%. Pengeluaran wisata muslim global ini
cenderung terus meningkat, mencapai USD 169 miliar pada 2016, dan diperkirakan
akan mencapai USD 283 miliar pada 2022. Tentu hal ini akan berdampak secara
luas (Multilplier effect) pada sektor-sektor strategis lainnya termasuk
industri makanan dan minuman di tanah air.
Data pariwisata halal
global saat ini menunjukkan Indonesia menempati peringkat keempat sebagai
negara dengan turis muslim terbesar, berpengeluaran mencapai USD 9,7 miliar
atau setara dengan Rp141 triliun, dengan total turis domestik sebesar 200 juta
orang. Indonesia berpotensi besar untuk terus berkontribusi meningkatkan
pendapatan negara melalui moslem-friendly tourism. Saat ini, Indonesia telah
masuk dalam kategori Top 5 Destinasi Pariwisata Halal Dunia, dengan penerimaan
devisa negara mencapai USD 13 miliar, yang berkontribusi terhadap PDB sebesar
USD 57,9 miliar. Pada 2020, sektor pariwisata diproyeksikan menjadi kontributor
terbesar bagi penerimaan devisa negara. Peningkatan ini merupakan hasil positif
dari akselerasi halal tourism di beberapa destinasi wisata Indonesia, seperti
Lombok, Padang, Aceh, Bangka Belitung, Jakarta, hingga Maluku.
Catatan penting
selanjutnya, bahwa faktor kunci pendukung wisata halal di Indonesia, di
antaranya adalah dukungan kebijakan dan regulasi, pemasaran dan promosi, serta
pengembangan destinasi melalui atraksi aksesibilitas dan amenitas. Selain itu,
peningkatan kapasitas pariwisata yang mencakup sumber daya manusia dan industri
juga menjadi unsur yang sangat penting. Dalam hal ini mencermati perekonomian
beberapa negara sahabat seperti Malaysia, Uni Emirat Arab, dan Turki yang telah
mengungguli beberapa sektor industri halal global seperti makanan, pariwisata,
kosmetik, busana muslim dan farmasi, Indonesia sesungguhnya dapat memetik best
practices terkait keuangan dan ekonomi syariah.
Tingkat kesadaran
yang tinggi akan potensi ekonomi syariah, kebijakan dan regulasi yang
mendukung, serta faktor kesiapan infrastruktur dalam membentuk ekosistem halal
menjadi kunci keberhasilan pengembangan ekonomi syariah, termasuk edukasi dan
pengayaan literasi terkait. Dalam perkembangannya, sebut saja Malaysia telah
memiliki beberapa indikator dalam pengembangan industri halal seperti strategi
nasional pada halal supply chain, Halal Assurance System, International
Halal Accreditation Forum (IHAF), dan intelijen pemasaran produk. Malaysia, Uni
Emirat Arab dan Turki telah mengungguli destinasi pariwisata halal karena telah
fokus pada kestabilan segmen pariwisata dan juga ekosistem halal. Diantara cara
yang ditempuh pada pariwisata halal, Malaysia melakukan peningkatan kesadaran
dan pendalaman masyarakat untuk dapat berkontribusi dalam aktivitas pariwisata
halal, untuk mempromosikan destinasi wisata kepada pelancong muslim.
Hal ini harus menjadi
pembelajaran dan perhatian bagi kita untuk dapat menerapkan best practices
tersebut untuk memajukan pariwisata halal di Indonesia yang diwujudkan dalam
bentuk cetak biru (blueprint) Ekonomi Syariah Republik Indonesia, yang
mendukung pencapaian nawacita arus baru perekonoman nasional.
Bisnis halal global
saat ini berkembang cukup pesat. Sebagai negara dengan penduduk Muslim
terbesar, Indonesia didorong untuk turut berperan dalam menikmati 'kue' pasar
halal dunia.
Pada dasarnya,
industri makanan halal di Indonesia sudah sangat berkembang. Hal itu terlihat
misalnya dari mudahnya mencari makanan-minuman halal. Namun demikian, industri
makanan halal Indonesia kalah dibandingkan Jepang, Korea Selatan, dan bahkan
Australia. Pasalnya, makanan halal di ketiga negara tersebut lebih menarik
dibandingkan yang ada di Indonesia, sebab wisata kuliner disana telah memiliki
sertifikasi yang jelas untuk makanan halal. Pasar halal dunia pada 2015 sebesar
US$1,9 triliun, atau setara Rp25.264 triliun. Angka ini diprediksi meningkat
menjadi US$3 triliun, setara Rp39.890 triliun pada 2021.
Cakupan halal makin
lama makin luas. Kalau dulu, hanya dikenal bank syariah dan makanan minuman
halal, sekarang sudah berkembang menjadi kosmetik dan pariwisata halal. Peluang
bisnis halal semakin besar. Setidaknya ada 5 (lima) hal yang perlu diperhatikan
pemerintah untuk mendorong Indonesia sebagai pusat industri halal. Pertama,
pemerintah perlu mempercepat penyelesaian peraturan pendukung untuk
Undang-Undang (UU) Jaminan Produk Halal (JPH). Regulasi itu telah disahkan
tahun 2014, namun peraturan pelaksana Undang-Undang dan Badan Pelaksana Jaminan
Halal (BPJH) saat ini masih berproses.
Kedua, pemerintah perlu
meningkatkan kapasitas lembaga sertifikasi halal. Saat ini, perusahaan yang
belum memiliki sertifikasi halal masih cukup banyak. Tahun lalu produk yang
bersertifikasi halal diperkirakan hanya 26 persen dari produk yang teregistrasi
di Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Oleh sebab itu, lembaga
sertifikasi halal nantinya harus mampu melakukan proses sertifikasi secara
cepat dan transparan.
Ketiga, pemerintah perlu
merancang agar regulasi sertifikasi halal tidak memberatkan pelaku ekonomi,
khususnya pelaku UMKM. Misalnya dengan memberikan subsidi pengurusan sertifikat
halal kepada UMKM. Selain itu, biaya sertifikasi halal juga harus dibuat lebih
transparan.
Keempat, pemerintah
diharapkan terus mendukung pertumbuhan industri halal domestik, diantaranya
mengembangkan ekosistem. Seperti memfasilitasi riset dan pengembangan bahan
baku halal dan kosmetik di sektor farmasi.
Kelima, kesadaran untuk
halal sebagai kebiasaan hidup-habit. Selama hampir dua dekade terakhir ini,
ekonomi syariah di Tanah Air terus bertumbuh dan maju seiring dengan awareness
pola hidup halal dan berkah (Halal life style).
Pertumbuhan dan
perkembangan yang pesat ekonomi syariah di level global dibuktikan dengan
pengakuan dunia. Ekonomi syariah terus tumbuh stabil, dengan lebih dari 1,8
miliar penduduk Muslim seluruh dunia, dan konsumsi penduduk Muslim mencapai US$
2,1 triliun di tahun 2017. Sementara itu, untuk aset total sektor keuangan
syariah mencapai US$ 2.4 triliun di tahun yang sama. Hal ini merupakan potensi
ekonomi syariah yang sangat besar dan akan terus berkembang di masa depan
(State of the Global Islamic Economy Report 2018/19).
Ekonomi global saat ini
sedang memasuki tren baru dengan adanya booming halal market serta
adanya berbagai negara yang mendeklarasikan diri sebagai pusat destinasi halal,
seperti Korea Selatan, Jepang, Thailand, Singapura dan berbagai negara
non-Muslim lainnya dalam rangka memanfaatkan pasar industri halal global yang
sedang berkembang pesat.Hal ini tidak lepas dari jumlah penduduk Muslim dunia
yang terus mengalami peningkatan, sehingga bertambah juga kebutuhan akan produk
dan jasa yang berlabel halal. Jumlah penduduk Muslim global pada tahun 2012
sebanyak 1,8 miliar jiwa, dan diproyeksikan mencapai 2,2 miliar jiwa pada tahun
2030 (Majlis Global, 2017), sehingga merupakan potensi pasar global yang sangat
besar.
Besarnya kebutuhan
produk halal global dapat dilihat pada 10 sektor industri yang secara ekonomi
dan bisnis berkontribusi besar dalam industri halal: sektor industri makanan,
wisata dan perjalanan, pakaian dan fashion, kosmetik, finansial, farmasi, media
dan rekreasional, kebugaran, pendidikan dan seni budaya. Data Thomson
Reuters-State of the Global Islamic Economy Report 2018-2019mencatat penduduk
muslim dunia menghabiskan kebutuhan makanan dan minuman sebesar US $ 1,3
triliun, dengan proporsi sebesar 13% oleh konsumen Indonesia. Selain itu
pengeluaran untuk wisata halal global mencapai US $ 177 miliar pada 2017, dan
diperkirakan akan mencapai US $ 274 miliar pada 2023.
Dalam sektor ini
Indonesia dan Kuwait sama-sama menghabiskan US $ 10 miliar untuk kebutuhan
halal travel. Sementara itu, total belanja global untuk busana muslim sebesar
US $ 270 miliar pada 2017, dan diperkirakan mencapai US $ 361 miliar pada 2023.
Kebutuhan akan farmasi dan kosmetik halal global mencapai US $ 148 miliar pada
tahun 2017, dan diperkirakan mencapai US $ 221 miliar pada 2023. Pada industri
busana muslim, farmasi dan kosmetik halal, Indonesia tetap masuk sebagai lima
konsumen terbesar global. Hal ini merupakan bukti kekuatan sekaligus tantangan
Indonesia untuk dapat beralih menjadi pemain global,tidak hanya sebagai
konsumen, tetapi diharapkan juga menjadi produsen utama.
Penerapan manajemen
rantai nilai halal (halal value chain) sangat diperlukan untuk membangun
sebuah kerangka dan infrastruktur pengembangan industri halal dengan menjamin
kualitas halalnya sebuah produk dan jasa. Dalam proses dari hulu hingga hilir,
penanganan produknya pun perlumemisahkan antara halal dengan tidak halal.
Selain itu, konsep logistik halal perlu segera dikembangkan serta
diimplementasikan oleh semua pelaku industri yang terlibat dalam rantai pasok
halal, termasuk makanan, minuman dan produk lainnya.
Mengingat Indonesia
merupakan konsumen makanan dan minuman halal terbesar di dunia, maka diperlukan
identifikasi secara strategis untuk melihat kondisi dan isu terkait agar dapat
memetakan peluang dan tantangan Indonesia dalam pengembangan industri makanan
dan minuman halal. Melalui penerapan halal value chain, harapan akan
standar mutu, kualitas dan pelayanan produk serta jasa halal dapat membentuk
sebuah ekosistem yang terintegrasi, mulai dari input, produksi, proses dan
pendistribusian, pemasaran serta konsumsi. Sebagai contoh, dalam rantai produk
makanan halal, diperlukan jaminan kehalalan atas input produksi, antara lain
asal usul ternak, pakan ternak, pupuk dan bahan kimia lain.
Dalam hal ini,
lembaga dan instansi terkait sangat berperan penting dalam rantai pasok
industri makanan halal; Rumah Potong Hewan (RPH), misalnya, berperan besar
sebagai hulu produk hewani pada proses peternakan dan penyembelihan yang sesuai
dengan syariah. Kemudian proses distribusi juga memainkan peran penting, yakni
pada pergudangan, kemasan, ruang pendinginan dan pengolahan yang sesuai dengan
syariah, dimana tidak hanya perlu adanya pemisahan dengan hal-hal yang bersifat
non-halal, namun juga penerapan standar kebersihan yang baik(steril dan
higenis). Setelah itu, proses pemasaran yang dilakukan perlu menunjukkan nilai-nilai
syariah dalam bertransaksi yang transparan, adil dan jujur, serta pengunaan
komponen pembiayaan syariah, seperti asuransi syariah sebagai langkah mitigasi
risiko.
Akan tetapi, di sisi
lain dalam penerapan halal value chain management masih terdapat beberapa
kendala yang dihadapi, seperti berikut:
1. Pada
pelaksanaannya, sertifikasi halal baru sebatas pada proses produksi saja,
sehingga perlu mencakup sisi pemasok, retailer, hingga pedagang eceran.
2. Belum adanya
standar biaya sertifikasi halal serta masih relatif mahal bagi pelaku usaha
mikro.
3. Sertifikat halal
yang dikeluarkan di Indonesia perlu diakui secara global, sehingga dapat
mendukung mutual recognition dalam melakukan ekspor produk halal ke luar
negeri, dikarenakan sertifikasi yang belum diakui secara internasional memiliki
kendala dalam bentuk tambahan beban operasional.
4. Beberapa
perusahaan belum memiliki sertifikat halal, padahal produknya merupakan bahan
primer yang dikonsumsi setiap hari. Perlu dilakukan analisa lebih lanjut terkait
isu dan kendala yang dihadapi.
5. Pentingnya peranan
aktif pelaku industri dan asosiasi terkait dalam mengembangkan halal value
chain dari hulu ke hilir, yakni pemasok makanan olahan dasar, pelaku usaha
makanan minuman, dan pelaku usaha transportasi & logistik, yang saat ini
masih belum optimal.
6. Undang-undang
Nomor 33 tahun 2014 mengenai Jaminan Produk Halal (JPH) merupakan payung hukum
yang belum diterapkan secara wajib (mandatory) bagi seluruh industri, sehingga
hal ini perlu analisa lebih lanjut terkait dampak bagi seluruh segmen
masyarakat, baik pelaku industri dan konsumen.
Oleh karena itu,
kerja sama dan sinergi dari semua pihak, mulai dari pelaku industri,
pemerintah, dan pengawas, sangatlah penting agar semua tantangan dapat segera
diatasi dan memberikan peluang industri halal Indonesia dapat terwujud secara
realistis, sehingga berkontribusi nyata pada perekonomian nasional.
Kita optimistis, jika
industri keuangan syariah diperkuat dan terus dikembangkan dengan ekonomi riil,
maka keuangan syariah akan dapat menjadi salah satu solusi utama dalam
pembiayaan pembangunan di negara Indonesia. Turut membangun perekonomian
nasional; seperti infrastruktur, jalan, jembatan, pelabuhan, kawasan industri,
pembangkit listrik maupun dalam pembiayaan program pengentasan kemiskinan dan
mengurangi persoalan ketimpangan sosial.
Kerja sama sinergi,
kerja sama dan dukungan semua pemangku kepentingan ekonomi syariah dalam
pengembangan ekosistem halal maka potensi Indonesia sebagai pusat ekonomi
syariah dunia dapat terwujud yang pada akhirnya dapat meningkatkan perekonomian
nasional dan kesejahteraan rakyat Indonesia, baldatun thayyibatun wa rabbun
ghafuur.. Insyaa Allah. []
Sugeng Priyono, Dosen
Fakultas Agama Islam dan sekretaris prodi Perbankan syariah Universitas
Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar