Sebab Munculnya Kredo
KH Wahab Chasbullah
Kekuatan organisasi
NU bukan hanya terletak pada jumlah jamaahnya, tetapi juga sanad keilmuan dan
gerakan-gerakan sosial yang telah jauh dilakukan, bahkan sebelum NU dilahirkan
pada 31 Januari 1926. Namun, kekuatan di segala lini tersebut kerap tidak dipahami
oleh sejumlah pengurus NU dan warganya sehingga membuat KH Abdul Wahab
Chasbullah (1888-1971) menegaskan sebuah kredo (pernyataan keyakinan).
Dalam kredonya, Kiai
Wahab mengatakan, “Banyak pemimpin NU di daerah-daerah maupun di pusat yang
tidak yakin akan kekuatan NU. Mereka lebih menyakini kekuatan
golongan lain. Orang-orang ini terpengaruh oleh bisikan orang yang
menghembuskan propaganda agar tidak yakin akan kekuatan yang dimilikinya.
Kekuatan NU itu ibarat senjata adalah meriam, betul-betul meriam. Tetapi
digoncangkan hati mereka oleh propaganda luar yang menghasut seolah-olah
senjata itu bukan meriam tetapi hanya gelugu alias batang pohon kelapa sebagai
meriam tiruan. Pemimpin NU yang tolol itu tidak sadar siasat lawan dalam
menjatuhkan NU melalui cara membuat pemimpin NU ragu-ragu akan kekuatannya
sendiri.” (Sumber: KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, LKiS, 2013:
497)
Hal itu disampaikan
oleh Kiai Wahab saat dirinya telah dipilih sebagai Rais ‘Aam Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam Muktamar di Jakarta tahun 1950. Kredo tersebut
ditegaskan kembali pada Konferensi Dakwah yang berlangsung pada 29 September-1
Oktober 1951.
Kiai Wahab merupakan
guru tidak tetap di Madrasah Muballighin yang didirikan Kiai Saifuddin Zuhri
pada 1 Januari 1952. Madrasah ini didirikan sebagai hasil konkret Konferensi
Dakwah tersebut. Lembaga ini juga merupakan salah satu upaya strategis untuk membangkitkan
NU dalam bentuk pengkaderan.
Suatu kebanggaan,
karena menjadi cerminan besarnya tanggung jawab dan kerja sama yang baik bahwa
media pendidikan kader NU itu hanya disiapkan dalam tempo tiga bulan di tengah
suasana membangun NU kembali pascaperang kemerdekaan dan revolusi bersenjata
antara 1945-1950.
Kiai Saifuddin Zuhri
menegaskan bahwa peran Konferensi Dakwah di Magelang tersebut besar dan
berhasil menggali gairah dan semangat membangun kembali jam’iyah NU. ‘Semangat
Magelang’ itu pula yang menghayati Konferensi Dakwah untuk mempelopori
kebangkitan NU setelah perang kemerdekaan.
Sejumlah tokoh NU
kala itu memberikan pengarahan di hadapan 131 juru dakwah yang mewakili
cabang-cabang NU di seluruh Indonesia, khususnya Jawa. Sebab, daerah di luar pulau
Jawa masih sukar dicapai melalui jalur organisasi akibat perang kemerdekaan.
Tidak ada yang
meragukan kemampuan KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) dalam setiap lini
kehidupan bangsa dan agama. Kiai yang dikenal ahli di bidang Ushul Fiqih ini
menjadi motor penggerak umat Islam Indonesia, terutama kalangan pesantren dalam
menghadapi penjajah bersama Hadlratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari dan
kiai-kiai lain.
Dalam pergerakan
nasional, Kiai Wahab berjasa menumbuhkan dan mewariskan sikap nasionalisme dalam
diri bangsa Indonesia hingga saat ini. Madrasah Nahdlatul Wathan yang
dibentuknya sekitar tahun 1916 untuk membentuk generasi muda cinta tanah air
membuahkan warisan manis bagi persatuan bangsa Indonesia berdasar keyakinan
agama para pemeluknya. Sejak dulu, para ulama pesantren menekankan bahwa cinta
tanah air dan menjaga negara adalah kewajiban agama.
Besarnya jasa dan
peran Kiai Wahab Chasbullah dalam membawa setiap pergerakan keagamaan dan
kebangsaan ke arah persatuan dan kedaulatan bangsa membuatnya disebut sebagai
seorang ‘sopir’, pengemudi, pengendali. Meskipun dirinya juga pernah menjadi
sopir beneran ketika membawa para kiai ke sebuah kota di Banyumas, Jawa Tengah.
Perjuangan keras Kiai
Wahab dalam membangkitkan pergerakan kaum pesantren juga telah dilakukan ketika
menginisiasi pendirian Nahdlatut Tujjar dan Tashwirul Afkar.
Ketiga perkumpulan
tersebut (Nahdlatul Wathan, Nahdlatut Tujjar, dan Tashwirul Afkar) dikatakan
oleh sejumlah pakar merupakan embrio pendirian Nahdlatul Ulama, yakni kebangkitan
ulama yang didasari oleh cinta tanah air, kebangkitan ekonomi, dan tradisi
pemikiran akademik pesantren. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar