Jumat, 11 Oktober 2019

Zuhairi: Demokrasi Kaum Milenial Irak


Demokrasi Kaum Milenial Irak
Oleh: Zuhairi Misrawi

Aksi demonstrasi besar-besaran meletus di beberapa kota besar Irak, khususnya di Baghdad. Negeri yang relatif mampu mengelola demokrasi dengan baik berdasarkan musyawarah mufakat di antara berbagai faksi -- Syiah, Sunni, dan Kurdi-- itu akhirnya harus melalui musim semi. Demokrasi di Irak makin bergeliat dan menghadapi fase baru.

Saya menulis kolom ini dalam perjalanan ke Irak di dalam pesawat Qatar Airways. Saya merasakan betapa Irak sedang menghadapi goncangan politik yang tidak sederhana. Irak harus hati-hati memahami gejolak yang sedang terjadi, karena tidak menutup kemungkinan apa yang terjadi sekarang akan membuka ruang gerak pihak-pihak yang ingin menggunakan kesempatan dalam kesempitan.

Demonstrasi yang bergemuruh di Irak sebenarnya fenomena yang biasa dalam alam demokrasi. Ketidakpuasan publik terhadap kinerja demokrasi menjadi sebuah fenomena yang alami dalam konteks check and balance system. Publik mengevaluasi perjalanan demokrasi yang semakin tidak menentu karena maraknya korupsi, pelayanan publik yang buruk, dan pengangguran.

Utamanya kalangan milenial yang tidak mempunyai kesabaran revolusioner untuk melihat dan merasakan perubahan yang bersifat revolusioner. Kaum milenial merasa tidak mendapatkan harapan dari para elite politik perihal masa depan mereka, sehingga mereka harus turun ke jalan untuk mendapatkan kepastian peta pembangunan Irak yang berkemajuan dan berkeadilan.

Demokrasi Irak merupakan salah satu demokrasi yang relatif memberikan harapan karena pembagian kekuasaan berhasil dilakukan melalui musyawarah mufakat. Setiap faksi politik mendapatkan kesempatan yang sama dalam konteks membangun negara yang kaya peradaban itu.

Namun persoalannya pada kapasitas mereka yang mendapatkan mandat dari rakyat. Mereka tidak cukup melakukan terobosan dan langkah konkret dalam membangun pemerintahan yang transparan dan akuntabel, serta merancang program-program kerakyatan yang diharapkan dapat mengentaskan pengangguran.

Dalam hal ini, sudah barang tentu, bahwa demokrasi bukan sesuatu yang taken for granted. Semua belum tentu beres setelah proses demokrasi berlangsung. Demokrasi membutuhkan kerja-kerja kongkrit yang setidak-tidaknya membangun peta jalan yang jelas ke arah perubahan yang dapat menyentuh semua kalangan, khususnya kelompok milenial. Ketika pemilihan umum selesai, maka di situlah sebenarnya demokrasi mulai bekerja untuk menuntaskan janji-janji politik selama kampanye.

Di sini, elite-elite politik harus cepat merespons tuntutan kalangan milenial itu. Apalagi isu yang dituntut merupakan sesuatu yang harus mendapatkan perhatian serius. Isu korupsi, pengangguran, dan pelayanan publik merupakan sesuatu yang menyentuh jantung dan denyut nadi warga sehari-hari. Lihat betapa masifnya demonstrasi di Baghdad dan beberapa kota lainnya tidak lain karena isu-isu yang dikemukakan para pendemo harus direspons cepat. Bahkan, jika responsnya telat, maka akan memberikan dampak yang tidak sederhana.

Suara-suara agar Perdana Menteri meletakkan jabatan dan tuntutan harus dilakukan pemilu dalam waktu yang cepat terus mengemuka, bahkan dari kelompok mayoritas Syiah yang sangat dihormati di Irak. Ini artinya, tuntutan para pendemo bukan sesuatu yang mengada-ada, tetapi isu yang sangat sensitif dan berkaitan langsung dengan hajat orang banyak.

Yang dikhawatirkan dari aksi demonstrasi besar-besaran di Irak, yaitu adanya pihak yang ingin menimba air keruh. Isu hubungan Sunni-Syiah yang selama ini relatif mampu dikelola dengan baik akan menjadi pertaruhan yang tidak sederhana. Kemampuan Irak dalam membangun hubungan baik antara komunitas Sunni-Syiah dapat menjadi modal demokrasi yang sangat baik. Karenanya, Irak harus berhati-hati dari konspirasi dan intervensi pihak luar yang kerap menggunakan narasi Sunni-Syiah.

Apa yang dilakukan oleh komunitas Sunni di Anbar, Shalahuddin, Kirkuk, dan Mosul yang memilih untuk tidak turun ke jalan dalam rangka menghindari dampak-dampak destruktif dari isu Sunni-Syiah patut diapresiasi. Mereka memilih untuk menggunakan media sosial sebagai instrumen untuk menyuarakan aspirasi mereka perihal pentingnya dalam memerangi korupsi, memperbaiki pelayanan publik, dan mengentaskan pengangguran.

Di samping itu, Irak masih trauma dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria). Dalam situasi politik yang sedang labil, ISIS dikhawatirkan dapat mengonsolidasikan kekuatannya. Jika ini yang terjadi, maka akan memberikan dampak yang tidak mudah bagi Irak. Kemunculan ISIS telah memberikan trauma yang sangat berat bagi warga Irak.

Belum lagi, negara-negara Teluk dan Amerika Serikat dikhawatirkan juga akan bermain dalam kekisruhan politik belakangan ini. Sinyalemen keterlibatan negara-negara asing dalam demonstrasi mutakhir bukan isapan jempol. Apalagi Irak sedang menggelar perayaan Arba'in di Karbala dalam rangka mengenang kepahlawanan Imam Husein.

Maka dari itu, elite politik di Irak tidak boleh melihat aksi demonstrasi dengan sebelah mata. Apalagi hingga saat ini sudah ada 100 warga yang meninggal dunia dan 4.000 lainnya luka-luka dalam demonstrasi yang menyerupai musim semi Arab itu. Rakyat benar-benar marah terhadap kinerja para elite yang tidak kunjung menjalankan amanat rakyat.

Satu-satunya jalan, para elite politik harus merespons secepat-cepatnya peta baru dalam memerangi korupsi, meningkatkan pelayanan publik, dan mengentaskan pengangguran. Dalam memecahkan masalah ini, para elite politik harus melibatkan banyak pihak, khususnya kaum milenial.

Sebagai generasi yang mempunyai harapan besar bagi perubahan, kalangan milenial merupakan entitas yang saat ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Kalangan milenial menjadi faktor penting dalam lanskap demokrasi di belahan dunia. Mereka bisa muncul ke permukaan sebagai aktor demokrasi yang mampu menekan pemerintahan yang dipilih secara demokratis sekalipun.

Dengan demikian, demokrasi kaum milenial Irak memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Tidak mungkin lagi kita mengabaikan kaum milenial dalam demokrasi kontemporer. Mereka adalah komunitas yang determinan dalam arah perjalanan sebuah negara. Jika kita mengabaikan mereka, maka mereka pun akan menjadi elemen kontrol yang bisa membesar dan meledak kapan saja. []

DETIK, 10 Oktober 2019
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar