Kenyang sebelum Makanan
Habis, Apa yang Harus Dilakukan?
Sebagian masyarakat seringkali merasa
dilematis saat makanan mereka tidak habis dan kondisi perut sudah terasa
kenyang. Pada saat keadaan seperti inilah mereka dihadapkan pada dua pilihan
antara menghabiskan makanan atau justru menyudahi makanan seketika itu juga.
Ada yang memilih untuk menghabiskan makanan dengan dalih bahwa tidak
menghabiskan makanan dan membiarkannya tidak termakan adalah perbuatan mubazir
atau menyia-nyiakan harta, perbuatan ini jelas dilarang oleh syariat. Seperti
yang dijelaskan dalam Al-Qur’an:
وَآتِ
ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلا تُبَذِّرْ
تَبْذِيرًا* إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ
الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
"Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga
yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanandan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya
orang-orang yang pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu
sangat inkar kepada tuhannya” (QS. Al-Isra’, Ayat 26-27).
Sedangkan yang memilih menyudahi meneruskan
makan saat sudah kenyang juga memiliki landasan bahwa makan di atas rasa
kenyang (akl fauqa as-syiba’) adalah perbuatan yang juga dilarang oeh syariat,
karena tergolong sebagai perbuatan israf yaitu berlebih-lebihan. Larangan ini
seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an:
وكُلُواْ
وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Makan dan minumlah kalian dan janganlah
kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan” (QS. Al-A’raf, Ayat 31)
Berdasarkan berbagai dalil dan ketentuan di
atas, manakah yang di dahulukan antara keduanya?
Dalam menjawab pertanyaan tersebut kiranya
patut dipahami secara utuh apakah benar logika yang disampaikan bahwa tidak
meneruskan atau tidak menghabiskan makanan termasuk bagian dari mubazir,
seperti halnya yang sudah tertancap dalam persepsi umum masyarakat? Pada titik
inilah perlu ditekankan pengertian dan ketentuan dari mubazir itu sendiri.
Mubazir memiliki arti menggunakan sesuatu tidak pada tempat yang selayaknya,
atau dalam istilah lain biasa dikenal dengan idlâ‘ah al-mâl (menyia-nyiakan
harta) misalnya seperti makanan dilempar di jalan, minuman dibuang di tempat
sampah, dan contoh-contoh lain yang sama.
Pengertian ini persis seperti yang dijelaskan
dalam kitab Faid al-Qadir:
والسرف
صرف الشئ فيما ينبغي زائدا على ما ينبغي والتبذير صرفه فيما لا ينبغي.
“Arti israf adalah menggunakan sesuatu
berlebihan dari ketentuan yang dianjurkan. Sedangkan arti mubazir adalah
menggunakan sesuatu pada tempat yang tidak dianjurkan” (Abdurrouf al-Munawi,
Faid al-Qadir, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1994, juz 5 Hal. 131)
Jika dipandang dari sudut pandang pengertian
mubazir saja seolah-olah permasalahan ini (kenyang sebelum makanan habis)
terhimpun dalam kategori mubazir. Yaitu ketika seseorang membiarkan makanannya
tidak habis. Namun rupanya secara ketentuan dari haramnya mubazir atau
menyia-nyiakan harta hanya terlaku dalam penggunaan yang muncul dari sebuah
perbuatan seseorang (fi’lu) sehingga tidak mencakup terhadap membiarkan makanan
untuk tidak dihabiskan, sebab hal ini tergolong bagian dari meninggalkan
pekerjaan (tark) yang tidak sampai terkena hukum haram untuk dilakukan. Seperti
yang tersirat dalam teks I’anah at-Thalibin:
ويكره
أيضا ترك سقي الزرع والشجر عند الامكان لما فيه من إضاعة المال. فإن قيل: إضاعة المال تقتضي التحريم. أجيب: بأن محل الحرمة حيث كانت
الاضاعة ناشئة عن فعل كإلقاء متاع في البحر بلا خوف ورمي الدراهم في الطريق، بخلاف
ما إذا كانت ناشئة عن ترك عمل كما هنا فإنها لا تحرم، ولكنها تكره، كما علمت.
“Dimakruhkan pula membiarkan tanaman dan
pepohonan tidak disirami air meski dalam keadaan bisa melakukannya. Sebab hal
ini tergolong menyia-nyiakan harta. Jika dikritisi “menyia-nyiakan harta
menuntut hukum haram (kenapa dalam permasalahan ini dihukumi makruh?)” maka Aku
menjawabnya: “Haramnya menyia-nyiakan harta hanya ketika muncul dari sebuah
perbuatan seperti membuang harta di laut tanpa adanya rasa khawatir (kapal
tenggelam karena keberatan muatan), membuang uang di jalan. Berbeda ketika
menyia-nyiakan harta muncul dari meninggalkan perbuatan (membiarkan harta)
seperti dalam permasalahan ini. Maka hal ini tidak sampai dihukumi haram,
tetapi hanya sebatas makruh, seperti halnya yang telah engkau ketahui” (Sayyid
Abu Bakar Syatho’ Al-Dimyathi, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, Juz 4, Hal. 108)
Berdasarkan pemahaman referensi di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa persepsi sebagian masyarakat mengenai mubazir dalam
hal tidak menghabiskan makanan saat kenyang adalah hal yang keliru. Sehingga
dalam keadaan demikian, sikap yang baik bagi seseorang adalah menyudahi
makanannya saat sudah merasa kenyang, agar terhindar dari perbuatan israf
(berlebih-lebihan) yang dilarang oleh syara’.
Belum lagi ketika kita meninjau berbagai
mudarat yang dihasilkan dari rasa kenyang bagi seseorang, seperti yang
disinggung oleh Imam Syafi’i:
لأنّ
الشبع يثقل البدن ويقسي القلب ويريل الفطنة ويجلب النوم ويضعف عن العبادة
"Karena kekenyangan akan memberatkan
badan, mengeraskan (menghilangkan kepekaan) hati, menghilangkan kecerdasa,
menarik rasa kantuk dan melemahkan (Seseorang) dalam ibadah" (Adz-Dzahabi,
Siyar A’lam an-Nubala’, Beirut, Muasssasah Ar-Risalah, 1993, juz 10, hal, 36)
Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa
tindakan yang baik untuk diambil dalam keadaan demikian adalah menyudahi
makanannya dan membiarkan makanan itu tidak habis, sebab hal ini tidak termasuk
bagian mubazir yang diharamkan oleh syariat. Terlebih jika makanan yang tidak
kita habiskan tersebut masih bisa kita manfaatkan untuk hal lain yang
mendatangkan nilai ibadah, seperti disedekahkan pada orang lain yang tidak
mampu. Maka hal demikian justru akan mendatangkan pahala tersendiri. Wallahu
a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar