Prinsip Kemaslahatan dalam
Fiqih Imam Ahmad ibnu Hanbal
Nama asli dari pendiri pendiri mazhab Hanbali
adalah Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Hanbal Ibnu Hilal Ibnu As’ad al-Marwazî
al-Baghdadî Ibnu Idris Ibnu Abdillah Ibnu Hayyan Ibnu Abdillah Ibnu Anas Ibnu
Auf Ibnu Qasith Ibnu Mazin Ibnu Syaiban Ibnu Zulal Ibnu Ismail Ibnu Ibrahim,
lahir pada tahun 164 H dan wafat pada tahun 241 H di kisaran usia 77 tahun.
Beliau merupakan keturunan Arab dari kabilah Bani Syaibân sehingga seringkali
dinisbahkan ke kabilah ini dengan laqab Abû Abdillah Ahmad ibnu Hanbal
Al-Syaibâny.
Kakek beliau yang bernama Hanbal ibnu Hilal
adalah mantan seorang Gubernur Sarakhsy pada masa kekuasaan Dinasti Banî
Abbâsiyah dan secara aktif menentang Dinasti Umayyah yang saat itu menguasai
Khurasân (Al-Hâfidh Abû al-Farrâj Abdurrahmân Ibn al-Jawzî, Manâqib al-Imâm
Ahmad Ibn Hanbal, Kairo: Mathba`at al-Sa`adah, t.th, hlm. 17-19). Sejak kecil
beliau sudah menjadi anak yatim karena ditinggal mangkat oleh ayahnya. Tumbuh
besar di bawah asuhan ibunya Shafiyyah bintu Maimûnah bintu Abdul Mâlik
al-Syaibân. Jadi beliau adalah seorang murni keturunan kabilah Banî
al-Syaibân.
Catatan rihlah keilmuannya, sejak kecil
beliau sudah menghafal Al-Qur’an (usia 15 tahun), lalu di usia 16 tahun pergi
berguru ke Abû Yûsuf, salah satu santri dari Imam Abû Hanîfah. Dan saat itu Abû
Yûsuf masih menjabat selaku Hakim Agung Dinasti Bani Abbasiyah. Penting untuk
diketahui bahwa sejak kecil beliau sudah memiliki konsentrasi studi hadits.
Dalam catatan sejarah, beliau pernah pergi hingga tanah Syam (Siria), Hijâz,
dan Yaman hanya untuk berburu hadîts. Selain Abû Yûsuf, beliau juga pernah guru
kepada al-Imâm Bahru al-Ilmi Muhammad ibnu Idris al-Syâfii dan tercatat sebagai
perawi dari Qaul Qadim al-Syâfii dengan kitabnya al-Hujjah. Di Yaman, beliau
pernah berguru kepada Abdu al-Razzâq ibnu Hammâm ibnu Nâfi’ al-Humairî
al-Shan’âny, atau yang biasa dikenal sebagai al-Imâm al-Shan’ânî (w. 211 H) dan
disebut sebagai salah satu yang meriwayatkan kitab karya beliau yang terkenal,
yaitu Mushannaf Abdu al-Razzâq yang terdiri atas 31 bab fiqih. (Al-Hâfidh
al-Dzahabi, Siyâru A’lâmin al-Nubalâ, Beirut: Dâr al-Kutub Al-Ilmiyyah,
tt.).
Sampai di sini kita langsung masuk pada
pemikiran maqâshid Imam Ahmad Ibnu Hanbal. Jika kita perhatikan dalam ushul
fiqh mazhab Imam Ahmad, stratifikasi bangunan sumber hukum Islam (مصادير الأحكام)
menurut beliau terdiri dari Al-Qur’an, Al-Sunnah, al-Ijmâ’ (konsensus) dan
al-Qiyâs (metode analogi). Khusus terkait dengan as-Sunnah, beliau tidak serta
merta menolak keberadaan hadits-hadits yang memiliki derajat dla’îf (lemah),
melainkan juga membolehkannya asal diperuntukkan untuk fadlâilu al-a’mâl
(mencari amal yang lebih utama). Sebagai bagian dari dalil hukum, beliau juga
menerima konsepsi istishlâh (mencari kemaslahatan) dan juga sadd al-dzarâi’
(manhaj antisipasi).
Dengan demikian, dalam konsep bangunan
adillatu al-ahkam (dalil hukum) di antara keempat mazhab, maka mazhab Mâlikî
dan mazhab Hanbali-lah yang sebenarnya secara tegas menerima konsep mencari
sisi kemaslahatan (istishlâh) risâlah ini. Adapun dua mazhab lainnya, tidak
secara tegas menampakkan konsepsi pencarian kemaslahatan tersebut melainkan lewat
konsepsi yang hampir mirip lewat jalur istihsân (yaitu upaya mencari yang lebih
baik [hasan]). Namun, pola istihsân dan istishlâh adalah memiliki kemiripan,
yaitu sama-sama dipengaruhi oleh faktor sosio-historis dan budaya masyarakat di
sekelilingnya.
Sebelumnya, kita kembali ke pembahasan
as-Sunnah dan al-Ijma’, di dalam formulasi ushul fiqih Ahmad Ibnu Hanbal, ada
metode penerimaan dalil yang menjadi perantara antara as-Sunnâh dan al-Ijmâ’.
Kalangan Hanabilah menyebutnya sebagai Fatwa Shahabat. Stratifikasi ini secara
gradual adalah sebagai berikut:
1. Ijmâ’ shahâbî, yang terdiri dari
konsensus/kesepakatan yang terjadi pada sahabat Rasulullah SAW. Untuk konsensus
ini mutlak harus diterima dan menyalahinya dipandang sebagai kufur.
2. Ijmâ’ al-khulafâ’ al-râsyidîn yang terdiri
atas kesepakatan empat pemangku kekhalifahan sepeninggal Baginda Rasulillah SAW
(Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib). Konon,
menurut kalangan Hanâbilah, ijma’ yang satu ini masih memungkinkan untuk tidak
diterima pasca-wafatnya keempat khalifah itu. Alasannya adalah kondisi zaman
yang senantiasa berubah.
3. Ijmâ syaikhân, yaitu kesepakatan yang
dilakukan oleh Abû Bakar dan Umar ibnu Khathâb radliyallâhu ‘anhu. Jika ijma’
al-khulafâ’ al-râsyidîn saja ada masa kadaluarsanya pasca-purna kekhalifahan,
apalagi untuk ijma’ syaikhân.
4. Ijmâ’ ahlu al-madînah, yaitu
konsensus yang dilakukan lewat tradisi penduduk Madînah secara turun temurun.
Hanâbilah tidak menyatakan mutlak penentangannya, namun perlu dilihat
kembali.
5. Ijmâ ulamâ Kuffah, yaitu konsensus yang
disepakati oleh para ulama Kuffah. Secara tegas, mazhab Hanafi yang menyatakan
sebagai bagian dari sumber hukum. Kalangan Hanâbilah juga tidak serta merta
menolaknya, dengan alasan produk ijtihâd yanng bisa berubah setiap waktu.
Baik ijma’ ahlu al-madînah dan ijmâ’ ulamâ
kuffah, dalam formulasi fiqih mazhab empat adalah masuk dalam wilayah generasi
tabi’in atau tâbi’ut tâbi’în, yaitu generasi shighâru al-shahâbah (seperti Abu
Hurairah, Ibnu Abbâs, dan Ibnu Mas’ûd), generasi akâbiru al-tâbi’în (seperti
Thâwûs, Mujâhid, Sufyan Ibnu ‘Uyainah dan termasuk di dalamnya adalah Imam Abû
Hanîfah) dan generasi shighâru al-tâbi’in (seperti Hasan al-Bashri, Sufyan
Al-Tsauri, Ibnu Mujâhid, dan termasuk di dalamnya Imam Mâlik bin Anas dan Imam
Al-Syâfii).
Selain Madînah dan Kuffah, Ahmad Ibnu Hanbal
juga mendasarkan diri pada beberapa kebiasaan dari penduduk wilayah lainnya,
seperti Bashrah, Makkah dan Syam. Stratifikasi berdasarkan ‘urf ini tampak
menyolok sekali jika kita perhatikan dengan seksama isi dari materi
kitab karya beliau, Al-Musnad li Ahmad Ibni Hanbal. Itu artinya bahwa
penggunaan beliau terhadap kaidah istishlâh juga dipengaruhi oleh masing-masing
lokasi wilayah tersebut. Itu pula sebabnya, para ulama merumuskan bahwa selain
adanya kemiripan, ada pula perbedaan mendasar antara konsepsi istishlâh dan
istihsân. Letak perbedaan tersebut terjadi pada penempatan kaidah qiyâs. Kelak
perbedaan keduanya, akan disampaikan dalam sajian tulisan mendatang.
Insyâallâh. Wallâhu a’lam bish shawâb. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pondok
Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim
Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU JATIM dan
Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar