Debat Nabi Isa dan Iblis La'natullah
Dalam kitab al-Zuhd, Imam Ahmad bin Hanbal
memasukkan sebuah riwayat tentang perbincangan Nabi Isa ‘alaihissalam dan
Iblis. Berikut riwayatnya:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ
الْمُثَنَّى قَالَ: حَدَّثَنِي أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ، عَنْ يُونُسَ قَالَ: حَدَّثَنِي ابْنُ شِهَابٍ قَالَ: قَالَ إِبْلِيسُ لِعِيسَى
ابْنِ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ: يَا ابْنَ مَرْيَمَ إِنَّكَ لَا يُصِيبُكَ
إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكَ قَالَ: أَجَلْ يَا عَدُوَّ اللَّهِ قَالَ: فَارْقَ
هَذَا الْجَبَلَ فَارْمِ بِنَفْسِكَ أَنْظُرُ تَمُوتُ، قَالَ عِيسَى عَلَيْهِ
السَّلَامُ: يَا عَدُوَّ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَبْتَلِي
عَبْدَهُ وَالْعَبْدُ لَا يَبْتَلِي رَبَّهُ
Abdullah bercerita, Muhammad bin Ishaq bin
Muhammad bin al-Mutsanna bercerita kepada kami, ia berkata: Anas bin ‘Iyadl
bercerita dari Yunus, ia berkata: Ibnu Syihab bercerita, ia berkata:
Iblis berkata kepada ‘Isa bin Maryam
‘alaihissalam: “Wahai anak Maryam, sesungguhnya tidak ada yang menimpamu
kecuali apa yang telah ditetapkan Allah padamu.” Isa menjawab: “Benar, wahai
musuh Allah.”
Iblis berkata (lagi): “Naikilah gunung ini,
lalu jatuhkan dirimu sendiri, aku ingin melihat kau mati (atau tidak?).” ‘Isa
‘alaihissalam menjawab: “Wahai musuh Allah, sesungguhnya hanya Allah yang
(berhak) menguji hamba-Nya, dan seorang hamba tidak (berhak) menguji Tuhannya.”
(Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h.
306)
****
Kita sering membaca kisah terusirnya Iblis
dari surga. Salah satu penyebabnya adalah ia selalu merasa lebih mulia dari
makhluk Allah lainnya. Ketika Allah memerintahkannya bersujud kepada Adam, ia
menolak dengan menjawab, “ana khairum minhu, khalaqtanî min nâr wa khalaqtahu
min thîn—aku lebih baik darinya, Kau ciptakan aku dari api, sementara Kau
ciptakan Adam dari tanah.”
Jawaban Iblis menunjukkan bahwa ia suka
mendefinisikan kemuliaannya sendiri. Ia menggunakan “asal” penciptaannya
sebagai argumentasi, “Kau ciptakan aku dari api.” Ia mengukur dan mengultuskan
kemuliaannya sendiri. Tanpa segan menggunakan kalimat, “Kau ciptakan,” padahal
hanya Tuhan lah yang berhak menentukan kemuliaan seseorang, dan Iblis dengan
lancang mendeklarasikan kemuliaannya di hadapan Tuhan dengan cara yang sangat
buruk, menentang perintahNya.
Dalam kisah di atas, Iblis sedang
memprovokasi Nabi Isa dengan tantangan yang rumit. Ia memulainya dengan
mengatakan, “Wahai anak Maryam, sesungguhnya tidak ada yang menimpamu kecuali
apa yang telah ditetapkan Allah padamu.” Kemudian, ia menantang Nabi Isa
melompat dari gunung untuk mengetahui apakah ia mati atau tidak. Di satu sisi,
Iblis berbicara tentang ketetapan Allah. Di sisi lain, ia menantang Isa untuk
mengetahui ketetapan Allah tentangnya, jika ia melompat, apakah Allah
menetapkannya mati atau tidak, dan itu hanya bisa diketahui jika Nabi Isa
benar-benar melompat.
Tapi Nabi Isa ‘alaihissalam tidak kalah
cerdas, ia menjawab tantangan Iblis dengan berkata, “Wahai musuh Allah,
sesungguhnya hanya Allah yang (berhak) menguji hamba-Nya, dan seorang hamba
tidak (berhak) menguji Tuhannya.” Artinya, jika ia menuruti tantangan Iblis, ia
sedang menguji Tuhannya. Padahal, hanya Tuhan lah yang berhak menguji hambanya,
bukan sebaliknya. Tugas seorang hamba adalah menjalankan perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya, bukan menguji dan mempertanyakan
keputusannya.
Karena itu, Nabi Isa pernah menasihati
murid-muridnya agar mengamalkan ibadah terbaik. Lalu murid-muridnya bertanya,
“mâ afdlalul ‘ibâdah yâ rûhallah—apa ibadah terbaik itu, wahai rûhullah?” Nabi
Isa menjawab, “al-tawâdlu’ lillahi ‘azza wa jalla—tawadu’ kepada Allah ‘Azza wa
Jalla.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, 1992, h. 73-74).
Dengan menanamkan ketawadukan di dalam hati,
manusia akan terjaga dari menyombongkan amal ibadahnya, dan selalu merasa butuh
akan rahmat Allah. Berbeda dengan Iblis yang disombongkan oleh ibadahnya ribuan
tahun. Ia memandang rendah makhluk selainnya karena tidak ada yang beribadah
segiat dia. Tiba-tiba, Tuhan memerintahkannya menghormati Adam, tentu ia
menolak. Dengan penolakannya, secara tidak langsung ia mempertanyakan keputusan
Tuhan dan meragukan kebenarannya. Jika pun kita anggap perintah Allah kepada
Iblis (sujud kepada Nabi Adam) adalah ujian, Iblis tidak hanya gagal, tapi juga
bermaksiat karena membangkang.
Padahal Allah akan menguji semua hamba-Nya,
termasuk Adam ‘alaihissalam. Semakin saleh seorang hamba, semakin berat
ujiannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عَنِ
الْحَسَنِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: وَاللَّهِ، لَا يُعَذِّبُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ حَبِيبَهُ،
وَلَكِنْ قَدْ يَبْتَلِيهِ فِي الدُّنْيَا
“Dari Hasan, sesungguhnya Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah, Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan
mengazab kekasih-Nya, tetapi Dia akan sungguh-sungguh mengujinya di dunia.”
(Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, 1992, h. 71)
Objek pembicaraan dalam hadits di atas adalah
“kekasih-Nya.” Dalam memahami “kekasih-Nya” kita bisa menggunakan dua
pendekatan. Pertama, pendekatan hamba ke Tuhan, dan kedua, pendekatan Tuhan ke
hamba.
Maksud pendekatan pertama adalah, gelar kekasih
yang didapat berasal dari amal tulus seorang hamba yang dilakukan secara
istiqomah (dari bawah ke atas), sehingga Allah mencintainya, contohnya (QS.
Al-Baqarah: 195): “innallaha yuhibbul muhsînîn—sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang berbuat baik.” Maksud pendekatan kedua, adalah sifat Al-Rahmân
(Maha Pengasih) dan Al-Rahîm (Maha Penyayang) Allah yang tidak dibatasi untuk
hambanya yang baik-baik saja (dari atas ke bawah). Allah memberikan kasih
sayangnya kepada siapapun, terlepas dari amal dan dosanya.
Artinya, jika menggunakan pendekatan di atas,
semua manusia memiliki peluang yang sama untuk “diuji” dan “lulus ujian”.
“Diuji” adalah simbol pendekatan kedua. “Lulus ujian” adalah simbol pendekatan
pertama. Dalam dua rangkaian tersebut, kita harus mengaktualisasikan posisi
subjek kita dengan berbagai macam ibadah agar bisa “lulus ujian”. Soal “diuji”,
kita cukup tahu bahwa Allah Maha Pengasih, dan semua kesusahan hidup adalah
ujian yang mendewasakan kita.
Ujian sendiri merupakan bentuk lain dari
kasih sayang Allah. Tanpa ujian, kehidupan akan sangat datar karena semuanya
sama; tanpa ujian, keragaman musim hati (rasa) akan terbatasi, dan lain
sebagainya. Intinya, dalam memahami ujian Allah, kita harus mengedepankan
prasangka baik, karena akan berpengaruh pada langkah kita ke depan. Bagi yang
memandangnya dengan prasangka buruk, ia akan merasa selalu diperlakukan tidak
adil; bagi yang memandangnya dengan prasangka baik, ia akan menganggapnya
sebagai madrasah pendewasaan diri atau semacamnya. Semoga kita bisa
melakukannya. Wallahu a’lam bish shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumnus PP.
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar