Rabu, 23 Oktober 2019

(Ngaji of the Day) Larangan Menyandarkan Nasab Anak kepada Orang Tua Angkatnya


Larangan Menyandarkan Nasab Anak kepada Orang Tua Angkatnya

Salah satu praktik sosial yang lumrah terjadi di masyarakat adalah mengangkat anak orang lain sebagai anak sendiri atau sering dikenal dengan istilah adopsi. Ada berbagai alasan seseorang mengangkat anak; tidak memiliki keturunan, menolong karena lemahnya kondisi ekonomi keluarga anak yang diadopsi, dan lain sebagainya.

Pada kenyataannya tidak jarang praktik adopsi ini diikuti dengan praktik menisbatkan nasab sang anak kepada orang tua angkatnya, sehingga nasab anak kepada orang tua kandungnya seakan terputus. Tak hanya nasab yang terputus, praktik adopsi tak jarang juga mengakibatkan hubungan si anak dengan orang tuanya benar-benar hilang hingga sang anak sama sekali tak mengenali orang tua kandung dan keluarga asalnya. Pada gilirannya banyak kepentingan anak yang semestinya melibatkan orang tua kandung digantikan oleh orang tua angkat meski hal itu acapkali melanggar aturan syariat.

Lalu bagaimana syariat Islam mengatur praktik adopsi anak ini?

Praktik mengadopsi anak merupakan salah satu praktik sosial yang berlaku pada bangsa Arab. Budaya pada masyarakat Arab kala itu orang yang mengangkat seseorang sebagai anaknya akan memperlakukan anak tersebut sebagaimana ia memperlakukan anak kandung sendiri. Bahkan mereka menasabkan anak angkat tersebut kepada orang tua angkatnya.

Hal itu pula yang dilakukan oleh Rasulullah terhadap Zaid bin Haritsah, seorang budak yang dihadiahkan oleh istri pertama beliau, Khadijah, yang kemudian oleh Rasulullah Zaid dimerdekakan dan diangkat sebagai anak. Rasulullah menasabkan Zaid kepada dirinya sehingga orang-orang pada saat itu tidak memanggilnya sebagai Zaid bin Haritsah tapi Zaid bin Muhammad. Bahkan Rasulullah sempat mewartakan hal itu kepada masyarakat dengan mengatakan, “Wahai bangsa Quraisy, saksikanlah bahwa sesungguhnya Zaid adalah anakku. Ia mewarisiku dan aku pun mewarisinya.” Keterangan ini bisa ditemukan dalam kitab karya Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi,  Marâh Labîd (Beirut: Darul Fikr, 2007, II:196).

Dengan demikian maka pada masa-masa awal Islam menasabkan anak angkat kepada orang tua angkatnya adalah sesuatu yang diperbolehkan. Akan tetapi di kemudian hari kebolehan ini dihapus dan menjadi terlarang dengan turunnya ayat 5 surat Al-Ahzab. 

Allah subhânahû wa ta’âlâ berfirman:

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Artinya: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan menasabkan kepada bapak-napak mereka. Hal itu lebih adil di sisi Allah. Maka apabila kalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka panggillah mereka sebagai saudaramu dalam agama dan maula-maula kalian. Tidak ada dosa atas kalian di dalam apa yang tak kalian sengaja, akan tetapi berdosa apa yang disengaja oleh hati kalian. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Para ulama ahli tafsir menuturkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Zaid bin Haritsah sebagai anak angkat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dijelaskan di atas. Dengan ayat ini Allah memerintahkan untuk mengembalikan nasab para anak angkat kepada bapak mereka yang sesungguhnya. Adalah sebuah dosa bila dengan sengaja menisbatkan nasab anak angkat kepada orang tua angkatnya.

Namun demikian menurut Imam Ibnu Kasir dalam Tafsîrul Qur’ânil ‘Adhîm (Semarang: Toha Putra, tt., III:466) bahwa memanggil orang lain dengan sebutan “anakku” tidak menjadi masalah bila itu dilakukan dalam rangka memuliakan dan menunjukkan rasa cinta. Ibnu Kasir menyandarkan pendapatnya ini pada hadits—salah satunya riwayat Imam Muslim—yang meriwayatkan bahwa sahabat Anas bin Malik berkata, bahwa Rasulullah pernah berkata kepadanya dengan memanggil “wahai anakku”.

Apa yang diatur syariat Islam di atas semestinya menjadi pedoman bagi masyarakat muslim ketika ia mengadopsi seorang anak sebagai anak angkatnya. Islam tidak melarang umatnya untuk mengasuh, mendidik, dan mengadopsi seorang anak. Bahkan hal ini merupakan sebuah kebaikan sebagaimana yang dianjurkan oleh Islam wa ta’âwanû ‘alal birri wat taqwâ, saling tolong-menolonglah kalian di dalam kebaikan dan ketakwaan.

Hanya saja Islam melarang bila praktik adopsi itu diikuti dengan penisbatan nasab anak angkat kepada orang tua yang mengadopsinya. Bagi Islam anak angkat tetaplah anak bagi orang tua yang melahirkannya dan selamanya tidak akan pernah berubah menjadi anak bagi orang yang mengadopsinya. Tidak mungkin seorang anak memiliki dua orang bapak.

Di dalam surat Al-Ahzab ayat 4 Allah berfirman:

وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ

Artinya: “Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak-anakmu.”

Ini perlu diperhatikan mengingat tidak sedikit praktik adopsi di masyarakat yang diikuti dengan menisbatkan nasab anak tersebut kepada orang tua yang mengadopsinya. Perilaku ini dibuktikan dengan pencantuman nama orang tua yang mengadopsi pada akta lahir dan kartu keluarga si anak, bukan nama orang tua yang sesungguhnya.

Hal ini kelak pada gilirannya akan menimbulkan berbagai permasalahan khususnya yang berkaitan dengan syariat Islam. Sebagai contoh, saat seorang anak perempuan angkat hendak melangsungkan pernikahan maka pihak KUA akan menetapkan dan menuliskan nama ayah dan walinya berdasarkan nama yang tercantum di akta lahir. Padahal nama ayah yang tercantum itu adalah nama orang tua angkat, bukan orang tua yang semestinya. Bila hal ini terus ditutupi oleh semua pihak yang mengetahuinya maka pernikahan yang dilangsungkan—yang secara kasat mata dianggap sah—menjadi batal menurut syariat, karena wali nikahnya bukan orang yang semestinya.

Pun seorang anak angkat yang secara nyata dituliskan nama orang tua angkatnya di akta lahir maka ia bisa menuntut hak mewarisi dari kedua orang tua angkatnya dengan berdasarkan pada bukti hitam di atas putih akta lahir tersebut. Padahal hal ini jelas-jelas tidak dibenarkan oleh syariat Islam. Wallâhu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar