12 Adab Duduk di Pinggir
Jalan Menurut Imam Al-Ghazali
Duduk di pinggir jalan, atau lebih dikenal
dengan istilah “nongkrong” merupakan fenomena yang biasa dijumpai terutama di
kalangan anak-anak muda. Memang tidak ada larangan terhadap hal ini, namun ada
sejumlah adab tertentu yang harus diperhatikan oleh siapa saja yang duduk di
pinggir jalan sebagaimana nasihat Imam Al-Ghazali dalam risalahnya berjudul
al-Adab fid Dîn dalam Majmû'ah Rasâil al-Imâm al-Ghazâli (Kairo, Al-Maktabah
At-Taufiqiyyah, t.th., halaman 443), sebagai berikut:
آداب
الجلوس على الطريق: غض البصر، ونصرة المظلوم، وإغاثة الملهوف، وإعانة الضعيف،
وإرشاد الضال، ورد السلام، وإعطاء السائل، وترك التلفت، والأمر بالمعروف والنهى عن
المنكربالرفق واللطف، فإن أصر فبالرهبة والعنف، ولا يصغى إلى الساعى إلا ببينة،
ولا يتجسس، ولا يظن بالناس إلا خيرًا.
Artinya: “Adab duduk di pinggir jalan, yakni:
Menundukkan pandangan mata, membantu orang yang teraniaya, menolong orang yang
mengalami kesusahan, membantu yang lemah dan memberi petunjuk kepada orang
tersesat, menjawab salam, memberi kepada orang yang meminta-minta, tidak banyak
menengok kesana-kemari, amar makruf nahi mungkar serta halus dan lembut, jika
menentang maka secara tegas dan keras, tidak mendengarkan keterangan seorang
pemfitnah kecuali ada bukti, tidak memata-matai, tidak berprasangka kepada
seseorang kecuali dengan prasangka baik.
Dari kutipan di atas, dapat diuraikan kedua
belas adab duduk di pinggir sebagai berikut:
Pertama, menundukkan pandangan mata.
Pandangan mata yang dapat berakibat dosa harus dihindari sebanyak mungkin,
seperti cuci mata atau memandang secara liar orang-orang yang bukan mahram.
Oleh karena itu menundukkan pandangan ketika duduk di jalan menjadi
penting.
Kedua, membantu orang yang teraniaya. Salah
satu konsekuensi logis duduk di pinggir jalan adalah membantu orang teraniaya
yang berada tak jauh. Membantu tidak berarti membela dengan menyerang pihak
penganiaya. Bisa saja dengan mencegah penganiaya berhenti menganiaya
korban.
Ketiga, menolong orang yang mengalami
kesusahan. Di jalan kadang dijumpai orang-orang yang mengalami kesusahan
seperti kehilangan uang, tidak bisa menemukan sebuah alamat yang dituju. Atau,
merasakan sakit karena luka akibat jatuh dari kendaraan, dan sebagainya.
Menolong mereka untuk lepas dari kesusahan-kesusahan seperti itu sangat
dianjurkan.
Keempat, membantu yang lemah. Di antara
orang-orang lemah adalah anak-anak, perempuan, orang tua yang udzur, difabel
termasuk tuna netra, dan sebagainya. Tidak jarang mereka perlu dibantu
menyeberang jalan yang ramai karena merasa takut, ragu-ragu, atau lainnya.
Kelima, memberi petunjuk kepada orang
tersesat. Menjadi kewajiban orang duduk di pinggir jalan untuk membantu orang
yang kebingungan atau memang tersesat mencapai alamat yang dituju, baik mereka
meminta petunjuk atau menahan diri tidak meminta karena takut.
Keenam, menjawab salam. Aturan tentang salam
dalam Islam adalah orang yang lewat di jalan baik berjalan kaki maupun
berkedaraan dianjurkan untuk mendahului mengucapkan salam kepada orang yang
dilewati. Oleh karena itu orang yang duduk di pinggir jalan harus membalas
ucapan salam dari orang yang lewat baik mereka saling mengenal atau tidak.
Ketujuh, memberi kepada orang yang
meminta-minta. Di jalan kadang banyak orang meminta-minta seperti para
pengemis. Orang-orang yang duduk di pinggir jalan tidak boleh mengabaikan para
peminta yang memang pastas diberi seperti karena sudah tua dan tidak mampu
bekerja.
Kedelapan, tidak banyak menengok
kesana-kemari. Menengok kesana-kemari sama saja dengan tidak menundukkan
pandangan sebagaimana dimaksud pada poin pertama. Oleh karena itu orang yang
duduk di pinggir jalan tidak bebas berbuat apa saja. Ia harus tetap khusyu’
menjaga pandangan mata untuk menghindari hal-hal yang bisa mendatangkan
madharat.
Kesembilan, amar makruf nahi mungkar secara
halus dan lembut; jika tetap melakukan maka dengan paksaan dan keras. Kejadian
di jalan memang beramacam-macam dari yang baik hingga yang buruk. Untuk itu,
orang yang duduk di pinggir jalan dianjurkan mengajak kepada kebaikan dan
mencegah keburukan demi ketertiban, keamanan dan keselamatan bersama.
Kesepuluh, tidak mendengarkan keterangan
seorang pemfitnah kecuali ada bukti. Di jalan terkadang ada demonstrasi yang
disusupi seorang pemfitnah atau pengadu domba dengan maksud-makksud tertentu
seperti ingin menciptakan kerusuhan. Orang yang duduk di pinggir jalan harus
berhati-hati menyikapi informasi yang diterima. Jika perlu bertabayun atau
mengklarifikasi kepada pihak-pihak yang berwenang.
Kesebelas, tidak memata-matai. Memata-matai
untuk tujuan buruk tidak dibenarkan sama sekali sebab perbuatan itu sama saja
dengan melakukan perbuatan buruk itu sendiri. Mematai-matai untuk tujuan baik
seperti demi menjaga perdamaian di masyarakat bisa dibenarkan.
Kedua belas, tidak berprasangka kepada
seseorang kecuali dengan prasangka baik. Berprasangka baik kepada siapa saja di
jalan merupakan keharusan untuk menghindari kezaliman. Namun demikian sikap
waspada tetap diperlukan agar tidak sampai terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
Beberapa kasus kejahatan terjadi akibat kurangnya kewaspadaan seperti lengah
dalam menjaga keamanan.
Demikianlah Imam Al-Ghazali memberikan
nasihat tentang dua belas adab duduk di pinggir jalan. Jika kita cermati satu
persatu, kedua belas adab tersebut cukup berat karena dituntut untuk bisa
menjaga pandangan, pendengaran, hati dan pikiran dengan baik. Selain itu, juga
dituntut memiliki keberanian beramar makruf nahi mungkar dengan cara sebijak
mungkin. Artinya jika seseorang tidak memiliki kemampaun dan keberanian
melaksanakan kedua belas adab di atas, maka sebaiknya tidak duduk-duduk di
pinggir jalan kecuali ada keperluan yang jelas dan penting. []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar