Selasa, 15 Oktober 2019

(Ngaji of the Day) 12 Adab Duduk di Pinggir Jalan Menurut Imam Al-Ghazali


12 Adab Duduk di Pinggir Jalan Menurut Imam Al-Ghazali

Duduk di pinggir jalan, atau lebih dikenal dengan istilah “nongkrong” merupakan fenomena yang biasa dijumpai terutama di kalangan anak-anak muda. Memang tidak ada larangan terhadap hal ini, namun ada sejumlah adab tertentu yang harus diperhatikan oleh siapa saja yang duduk di pinggir jalan sebagaimana nasihat Imam Al-Ghazali dalam risalahnya berjudul al-Adab fid Dîn dalam Majmû'ah Rasâil al-Imâm al-Ghazâli (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, t.th., halaman 443), sebagai berikut:

آداب الجلوس على الطريق: غض البصر، ونصرة المظلوم، وإغاثة الملهوف، وإعانة الضعيف، وإرشاد الضال، ورد السلام، وإعطاء السائل، وترك التلفت، والأمر بالمعروف والنهى عن المنكربالرفق واللطف، فإن أصر فبالرهبة والعنف، ولا يصغى إلى الساعى إلا ببينة، ولا يتجسس، ولا يظن بالناس إلا خيرًا.

Artinya: “Adab duduk di pinggir jalan, yakni: Menundukkan pandangan mata, membantu orang yang teraniaya, menolong orang yang mengalami kesusahan, membantu yang lemah dan memberi petunjuk kepada orang tersesat, menjawab salam, memberi kepada orang yang meminta-minta, tidak banyak menengok kesana-kemari, amar makruf nahi mungkar serta halus dan lembut, jika menentang maka secara tegas dan keras, tidak mendengarkan keterangan seorang pemfitnah kecuali ada bukti, tidak memata-matai, tidak berprasangka kepada seseorang kecuali dengan prasangka baik. 

Dari kutipan di atas, dapat diuraikan kedua belas adab duduk di pinggir sebagai berikut: 

Pertama, menundukkan pandangan mata. Pandangan mata yang dapat berakibat dosa harus dihindari sebanyak mungkin, seperti cuci mata atau memandang secara liar orang-orang yang bukan mahram. Oleh karena itu menundukkan pandangan ketika duduk di jalan menjadi penting. 

Kedua, membantu orang yang teraniaya. Salah satu konsekuensi logis duduk di pinggir jalan adalah membantu orang teraniaya yang berada tak jauh. Membantu tidak berarti membela dengan menyerang pihak penganiaya. Bisa saja dengan mencegah penganiaya berhenti menganiaya korban. 

Ketiga, menolong orang yang mengalami kesusahan. Di jalan kadang dijumpai orang-orang yang mengalami kesusahan seperti kehilangan uang, tidak bisa menemukan sebuah alamat yang dituju. Atau, merasakan sakit karena luka akibat jatuh dari kendaraan, dan sebagainya. Menolong mereka untuk lepas dari kesusahan-kesusahan seperti itu sangat dianjurkan. 

Keempat, membantu yang lemah. Di antara orang-orang lemah adalah anak-anak, perempuan, orang tua yang udzur, difabel termasuk tuna netra, dan sebagainya. Tidak jarang mereka perlu dibantu menyeberang jalan yang ramai karena merasa takut, ragu-ragu, atau lainnya.

Kelima, memberi petunjuk kepada orang tersesat. Menjadi kewajiban orang duduk di pinggir jalan untuk membantu orang yang kebingungan atau memang tersesat mencapai alamat yang dituju, baik mereka meminta petunjuk atau menahan diri tidak meminta karena takut. 

Keenam, menjawab salam. Aturan tentang salam dalam Islam adalah orang yang lewat di jalan baik berjalan kaki maupun berkedaraan dianjurkan untuk mendahului mengucapkan salam kepada orang yang dilewati. Oleh karena itu orang yang duduk di pinggir jalan harus membalas ucapan salam dari orang yang lewat baik mereka saling mengenal atau tidak.

Ketujuh, memberi kepada orang yang meminta-minta. Di jalan kadang banyak orang meminta-minta seperti para pengemis. Orang-orang yang duduk di pinggir jalan tidak boleh mengabaikan para peminta yang memang pastas diberi seperti karena sudah tua dan tidak mampu bekerja. 

Kedelapan, tidak banyak menengok kesana-kemari. Menengok kesana-kemari sama saja dengan tidak menundukkan pandangan sebagaimana dimaksud pada poin pertama. Oleh karena itu orang yang duduk di pinggir jalan tidak bebas berbuat apa saja. Ia harus tetap khusyu’ menjaga pandangan mata untuk menghindari hal-hal yang bisa mendatangkan madharat.

Kesembilan, amar makruf nahi mungkar secara halus dan lembut; jika tetap melakukan maka dengan paksaan dan keras. Kejadian di jalan memang beramacam-macam dari yang baik hingga yang buruk. Untuk itu, orang yang duduk di pinggir jalan dianjurkan mengajak kepada kebaikan dan mencegah keburukan demi ketertiban, keamanan dan keselamatan bersama. 

Kesepuluh, tidak mendengarkan keterangan seorang pemfitnah kecuali ada bukti. Di jalan terkadang ada demonstrasi yang disusupi seorang pemfitnah atau pengadu domba dengan maksud-makksud tertentu seperti ingin menciptakan kerusuhan. Orang yang duduk di pinggir jalan harus berhati-hati menyikapi informasi yang diterima. Jika perlu bertabayun atau mengklarifikasi kepada pihak-pihak yang berwenang. 

Kesebelas, tidak memata-matai. Memata-matai untuk tujuan buruk tidak dibenarkan sama sekali sebab perbuatan itu sama saja dengan melakukan perbuatan buruk itu sendiri. Mematai-matai untuk tujuan baik seperti demi menjaga perdamaian di masyarakat bisa dibenarkan.

Kedua belas, tidak berprasangka kepada seseorang kecuali dengan prasangka baik. Berprasangka baik kepada siapa saja di jalan merupakan keharusan untuk menghindari kezaliman. Namun demikian sikap waspada tetap diperlukan agar tidak sampai terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Beberapa kasus kejahatan terjadi akibat kurangnya kewaspadaan seperti lengah dalam menjaga keamanan. 

Demikianlah Imam Al-Ghazali memberikan nasihat tentang dua belas adab duduk di pinggir jalan. Jika kita cermati satu persatu, kedua belas adab tersebut cukup berat karena dituntut untuk bisa menjaga pandangan, pendengaran, hati dan pikiran dengan baik. Selain itu, juga dituntut memiliki keberanian beramar makruf nahi mungkar dengan cara sebijak mungkin. Artinya jika seseorang tidak memiliki kemampaun dan keberanian melaksanakan kedua belas adab di atas, maka sebaiknya tidak duduk-duduk di pinggir jalan kecuali ada keperluan yang jelas dan penting. []

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar