Rabu, 23 Oktober 2019

(Ngaji of the Day) Praktik Manhaj Antisipatif Malikiyah dalam Jual Beli, Hukuman dan Zakat


Praktik Manhaj Antisipatif Malikiyah dalam Jual Beli, Hukuman dan Zakat

Al-Syâthibî dalam al-Muwâfaqât menyebutkan bahwa Imam Anas ibn Mâlik banyak menggunakan istilah saddu al-dzarâi’ dalam beberapa kajiannya. Saddu al-dzarâi’ adalah sebuah upaya antisipatif dengan jalan memprediksi kemungkinan terjadinya hal-hal berbahaya dan dapat menimbulkan mafsadah di kemudian harinya. Konsep prediktif ini menyerupai sebuah hipotesa (dugaan awal) akan terjadinya sesuatu berdasarkan indikasi (illah) yang menunjukkan kemungkinan besar hal tersebut bakal terjadi. 

Sebuah contoh misalnya ada sebuah perusahaan minuman keras dengan bahan baku anggur. Menurut mazhab Maliki, jual beli anggur ke perusahaan tersebut diputus sebagai tidak sah. Tidak sahnya jual beli ini bukan karena faktor akadnya yang rusak, akan tetapi sebagai bagian dari uqûbât (sanksi) bagi perusahaan tersebut sehingga ia tidak lagi bergerak dalam bidang pembuatan minuman keras tersebut. Hukum ketidaksahan jual beli ini juga berlaku untuk jual beli sajam (senjata tajam) kepada orang yang diduga kuat hendak melakukan perampokan, musuh orang Islam, atau teroris dan pengacau. Yang menarik adalah, Imam Malik banyak membahas saddu al-dzarâi’ ini hanya dalam pembahasan bab jual beli, hukuman (uqûbât) dan pernikahan. Entah di bab lain, ada pembahasan bab ini juga atau tidak. Masih sebatas ini untuk sementara waktu hasil telaah penulis. 

Tidak sahnya jual beli sebagaimana disebutkan di atas – dalam mazhab Mâlikî – adalah sebab ada faktor pertimbangan kemungkinan munculnya kerusakan (mafsadah) sehingga menyelisihi maksud pokok dari syarî’ah (maqâshid al-syarî’ah) dalam menjaga dlarûriyyatu al-khamsah (5 kebutuhan primer penjagaan). Sekarang, mari bandingkan dengan mazhab Hanafi dan Syafi’i. Dalam mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i, sah atau tidaknya jual beli tergantung pada akad atau transaksi yang dibangun. Akad yang sah dalam kedua mazhab ini adalah manakala syarat-syarat akad terpenuhi dan pelaku akadnya memenuhi syarat. Untuk akad yang syarat dan pelakunya tidak memenuhi ketentuan syara’, maka akadnya disebut dengan akad yang bathil. Jadi, dalam kasus jual beli sajam dan anggur untuk tujuan sebagaimana maksud di atas, oleh kedua Mazhab Hanafi dan Syafi’i tetap diputus sebagai sah jual belinya. Adapun kemudian anggur dan sajam itu diperuntukkan untuk tujuan kerusakan atau tidaknya oleh pembeli, seluruhnya diserahkan kepada Allah SWT. 

Dalam persoalan uqûbât, Imam Malik menempatkan pengetatan terhadap hukumannya. Dalam mazhab Mâlikî, orang yang berkali-kali tercatat melakukan perbuatan hukum, maka bagi ia bisa dijatuhi hukuman yang lebih berat dari sebelumnya, meskipun tingkat kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan memiliki derajat yang sama. Tujuan dari pengetatan hukum ini adalah untuk memberikan efek jera kepada pelaku. Konsepsi ini konon diqiyaskan (dianalogikan) dengan tindakan yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khathab dalam mencegah muslim ahli ma’shiyat dari menerima bagian zakat, meskipun mereka pada dasarnya mereka masuk kelompok ashnaf zakat. Pertimbangan yang berbeda terjadi pada mazhab Syafi’i, bahwa muslim ahli ma’shiyat tetap disamakan kedudukannya dengan muallaf (orang yang baru masuk Islam) sehingga memerlukan terus pembinaan. 

Jika kita cermati beberapa kasus di atas, nampaknya, semangat yang diusung oleh Mazhab Imam Mâlik dalam menerapkan konsep saddu al-dzarîah adalah berangkat dari semangat yang sama dengan konsep istishlah, sebagaimana yang telah diuraikan terdahulu, yaitu jalbu al-mashalih muqaddamun ‘ala dar-i al-mafâsid (mendahulukan menarik kemaslahatan, mengakhirkan menolak mafsadah). Kemaslahatan yang dimaksud adalah kemaslahatan umum. Sedikit agak berbeda dengan konsepsi umum Mazhab Hanafi dan khususnya mazhab Syafi’i, yaitu dar-u al-mafâsid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashâlih (mendahulukan menolak kerusakan, menarik kemaslahatan kemudian). Kerusakan yang dimaksud adalah petani anggur dan penjual senjata tajam yang tentu jumlahnya adalah lebih besar dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Perbedaan terjadi pada fokus pertimbangan masing-masing mazhab yang diikutsertakan dalam mengeluarkan sebuah hukum. 

Suatu ketika penulis pernah ditanya tentang persoalan hukum fiqih tentang jual beli makanan yang pengolahannya dicampur dengan pupuk. Kasus ini pernah ramai dilansir oleh Harian Kompas pada 31 Maret 2015, jadi kurang lebih 3 tahun yang lalu. Pertanyaan yang ditujukan ke penulis, adalah: pertama, sahkah jual beli makanan tersebut? Dan kedua, halalkah makanan tersebut? Apa yang selanjutnya penulis jawab dalam hal ini mengikut dua manhaj maqashid, yaitu antara mazhab Maliki dan mazhab Syâfi'i. 

Menurut Mazhab Mâliki, hukum jual beli makanan tersebut adalah tidak sah disebabkan faktor unsur tambahan yang tidak lazim dan sengaja dimasukkan ke dalamnya. Adanya kemungkinan unsur yang bisa menimbulkan mafsadah menjadi faktor pertimbangan antisipatif yang utama. Kemaslahatan pembeli yang jauh lebih banyak jumlahnya harus mendapat jaminan penjagaan dari sisi syariat. Semua ini adalah berdasarkan konsepsi saddu al-dzarâi’ mazhab Maliki yang harus mendahulukan kemaslahatan umum dan universal. 

Adapun menurut mazhab Syâfii, maka hukum jual beli makanan tersebut adalah sah dengan catatan selagi unsur tambahan yang tidak lazim dan sengaja dimasukkan ke dalam makanan tersebut belum teruji sifat bahayanya. Misalnya, dasar yang diambil dalam hal ini adalah pendapat al-Ghazâly soal makanan:

وأما النبات فلا يحرم منه إلا ما يزيل العقل أو يزيل الحياة أو الصحة فمزيل العقل البنج و الخمر وسائر المسكرات ومزيل الحياة السموم ومزيل الصحة الأدوية في غير وقتها

Artinya: “Adapun tumbuh-tumbuhan, maka tidak haram selagi tidak bersifat bisa menghilangkan akal dan nyawa atau berpengaruh terhadap kesehatan. Contoh unsur yang bisa menghilangkan akal misalnya adalah ganja, khamr, dan semua tumbuhan yang mengandung bahan memabukkan. Contoh unsur yang bisa menghilangkan nyawa adalah racun, dan yang bisa menghilangkan kesehatan adalah mengkonsumsi obat-obatan tidak pada waktunya (penyalahgunaan obat).” (Abû Hâmid al-Ghazâly, Ihyâ Ulûmu al-Dîn, Jilid 2, Beirut: Daru al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2003, 92)

Berdasarkan kategori ini, maka makanan yang ditambahi dengan unsur lain di dalam dzatnya makanan, maka ia masih masuk unsur halâl selagi tidak memenuhi beberapa unsur yang tersebut di dalam kitab Ihyâ Ulûmu al-Dîn li al-Ghazâly di atas, antara lain: dapat menghilangkan akal, memabukkan, bersifat meracuni dan menghilangkan kesehatan. Dari kesekian syarat makanan halal tersebut, yang paling penting adalah adanya bukti riset yang menyatakan adanya al-dlararu al-lâhiq (unsur bahaya yang langsung bisa ditemui). Jika hal ini tidak bisa dinyatakan buktinya, maka makanan tersebut masih masuk unsur halal dan jual beli dengannya adalah sah. Keputusan hukum ini mengikut pada jargon utama mazhab Syâfi'i yaitu dar-u al-mafâsid muqaddam ‘ala jalbi al-mashâlih (mengutamakan menolak mafsadah, menarik kemaslahatan kemudian). Mafsadah universal yang hendak dijaga dalam mazhab ini adalah produsen yang sudah terlanjur keluar biaya banyak sementara bukti kerusakan tidak dijumpai pada konsumen. Wallâhu a’lam bish shawâb. []

Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU JATIM dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar