Uang Kembalian Ditukar
dengan Permen, Bolehkah?
Sering berlaku dalam transaksi jual beli di
masyarakat, seorang penjual memberikan permen kepada pembeli sebagai ganti
nominal uang kembalian seorang pembeli. Terkadang pihak penjual melakukan
praktik ini secara langsung tanpa meminta persetujuan dari pihak pembeli, namun
kadang pula penjual menanyakan terlebih dahulu kepada pembeli akan penggantian
dengan permen tersebut. Jika pembeli berkenan maka penjual pun meىyodorkan permen sesuai dengan nominal kembalian.
Namun jika pembeli tidak berkenan maka penjual memberi kembalian berupa nominal
uang sesuai dengan jumlah kembalian dari harga barang yang dibeli.
Sebenarnya, legalkah praktik penukaran uang
kembalian dengan permen tersebut?
Patut dipahami sebelumnya bahwa penukaran
uang kembalian dengan permen seperti yang berlaku di masyarakat secara umum,
merupakan sebuah akad istibdal an-dain (barter atas sebuah tanggungan) yang
sudah keluar dari konsep jual beli yang pertama. Dalam artian, dengan
selesainya pembeli membayar barang yang dibelinya dengan nominal uang yang
sesuai harganya, maka transaksi jual-beli sudah dianggap selesai. Lalu ketika
uang yang dibayar oleh pembeli melebihi dari harga barang yang dibeli, maka
dalam keadaan demikian penjual memiliki tanggungan (dain) pada
pembeli—tanggungan inilah yang dijadikan sebagai objek akad istibdal.
Para ulama berpandangan bahwa akad istibdal
dari sebuah tanggungan adalah hal yang sah dan dilegalkan secara syara’. Namun
seperti halnya umumnya akad-akad muamalah yang lain, istibdal butuh sebuah
shighat (ucapan serah terima), sebab shighat inilah yang dapat mendeteksi
kerelaan (ridha) dari kedua belah pihak atas akad yang dilakukan.
Sehingga jika dalam praktik yang terjadi
penjual menanyakan pada pembeli “Mas, kembaliannya saya ganti permen ya?” dan
pembeli bersedia, maka dalam praktik demikian para ulama sepakat mengabsahkan
akad tersebut sebab sudah terdapat shighat.
Sedangkan jika dalam praktik yang terjadi
penjual tidak mengucapkan kata-kata apa pun yang berkaitan dengan penukaran
uang kembalian dengan permen, maka dalam hal ini akad tetap bisa sah jika
berpijak pada pendapat ulama yang melegalkan mu’athah. Dalam menjelaskan
pengertian dari mu’athah ini, Sayyid Abi Bakr bin Sayyid Muhammad Syatha’
memaparkan:
ـ
(والحاصل) المعاطاة: هي
أن يتفق البائع والمشتري على الثمن والمثمن، ثم يدفع البائع المثمن للمشتري، وهو
يدفع الثمن له، سواء كان مع سكوتهما، أو مع وجود لفظ إيجاب أو قبول من أحدهما، أو
مع وجود لفظ منهما لكن لا من الالفاظ المتقدمة
“Kesimpulan. Mu’athah adalah sepakatnya
penjual dan pembeli atas harga dan barang yang dihargai lalu penjual memberikan
barang pada pembeli dan pembeli memberikan nominal uang pada pembeli. Baik
keadaan mereka berdua sama-sama diam ataupun terdapat ucapan serah terima dari
salah satu dari penjual dan pembeli, atau terdapat perkataan dari keduanya
namun bukan berupa perkataan yang biasa terlaku dalam jual beli.” (Sayyid Abi
Bakr bin Sayyid Muhammad Syatha’, Hasyiyah I’anah at-Thalibin, juz 3, hal. 8)
Secara umum mu’athah berarti proses jual beli
atau akad muamalah yang lain dengan tanpa menyebutkan shighat dari kedua belah
pihak. Dalam menyikapi transaksi model demikian, para ulama terjadi perbedaan
pendapat dalam hal sah-tidaknya akad yang dilakukan dengan cara mu’athah
ini.
Perbedaan pendapat dalam hal mu’athah juga
bisa ditarik dalam permasalahan istibdal, sehingga praktik penukaran kembalian
dengan permen tanpa adanya persetujuan dari pihak pembeli tetap dihukumi sah
menurut pendapat ulama yang mengabsahkan akad dengan sistem mu’athah, selama
tidak ada komplain dari pihak pembeli. Jika ternyata pembeli komplain dengan
cara tidak mau jika uang kembaliannya ditukar dengan permen, maka dalam keadaan
demikian tidak ada cara lain selain membayar kembalian sesuai dengan nominal
uang yang harus diserahkan pada pihak pembeli.
Terkait istibdal dengan cara mu’athah seperti
dalam contoh tersebut, Syeikh Sulaiman al-Jamal menjelaskan:
ـ
(وصح استبدال ولو في صلح عن دين غير مثمن بغير دين) كثمن في الذمة (ودين قرض
وإتلاف) ـ
ـ
(قوله وصح استبدال إلخ)
بشرط أن يكون الاستبدال بإيجاب وقبول وإلا فلا يملك ما يأخذه قاله السبكي وهو ظاهر
وبحث الأذرعي الصحة بناء على صحة المعاطاة ا هـ
“Istibdal dapat sah meskipun dalam
permasalahan shuluh, atas tanggungan selain berupa barang yang dibeli dengan
selain hutang (cash), seperti pada harga barang yang masih dalam tanggungan dan
tanggungan hutang dan tanggungan karena telah merusak barang.”
“Keabsahan istibdal ini dengan syarat
wujudnya ucapan serah terima. Jika tidak terdapat ucapan demikian maka
seseorang tidak dapat memiliki barang yang diambil olehnya (dari orang lain).
Penjelasan demikian seperti yang disampaikan oleh Imam as-Subki, dan hal
tersebut dianggap jelas. Namun Imam al-Adzra’i berpandangan bahwa istibdal
tetap sah dengan berpijak pada pendapat yang melegalkan mu’athah.” (Syekh
Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, juz 11, hal. 229)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
penukaran uang kembalian dengan permen bisa dihukumi sah sebab termasuk akad
istibdal an-dain, selama tidak ada penolakan dari pihak pembeli. Jika ternyata
pembeli menolak, maka penjual harus memberi uang kembalian padanya berupa
uang sesuai dengan nominal kembalian yang berhak bagi pembeli. Namun, penjual
tak dianjurkan menganti uang kembalian dengan permen begitu saja dalam kondisi
tersedia uang kembalian dan sekiranya pembeli belum dapat dipastikan
benar-benar ridha dengan praktik tersebut. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar