Selasa, 22 Oktober 2019

(Ngaji of the Day) Memahami Tujuan Dasar Syariat (2): Maslahat Sekunder dan Tersier


Memahami Tujuan Dasar Syariat (2): Maslahat Sekunder dan Tersier

Manusia merupakan makhluk ekonomi. Manusia juga dikenal sebagai makhluk sosial. Untuk memenuhi kebutuhannya dalam bidang ekonomi dan sosial, manusia melakukan kontak dan kontrak sosial dengan sesamanya. Kontrak sosial dengan lawan jenisnya mewujud dalam bentuk ikatan pernikahan. Kontrak sosial dengan tetangga mewujud dalam jalinan ikatan kemasyarakatan dan negara. Karena adanya kontrak sosial inilah maka segala bentuk kebebasan manusia dibatasi oleh kebebasan manusia yang lain. Pada akhirnya muncullah yang dinamakan hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat, bangsa dan negara. Interaksi antara penjagaan maslahah pokok setiap individu menjadi saling tarik ulur dengan kewajiban dan kebutuhan penjagaan maslahah pokok individu yang lain. Maslahat pokok ini kita sebut pada kajian yang lalu sebagai maslahah dlaruriyah atau maslahat primer.

Karena adanya tarik ulur akibat interaksi, maka dibutuhkanlah rumusan maslahat sekunder yaitu sebagai aturan bersama yang bersifat memudahkan bagi terwujudnya maslahat primer dengan tidak meninggalkan sisi kerukunan antar sesama serta berupaya menghilangkan sisi kesulitan setiap individu dalam mewujudkan maslahat primer untuk dirinya sendiri. Maslahat yang terakhir ini disebut dengan maslahah hâjiyah atau kita tengarai saja sebagai maslahat sekunder. 

وأما الحاجيات فمعناها أنها مفتقر إليها من حيث التوسعة ورفع الضيق المؤدي في الغالب إلى الحرج والمشقة اللاحقة بفوت المطلوب فإذا لم تراع دخل على المكلفين - على الجملة - الحرج والمشقة ، ولكنه لا يبلغ مبلغ الفساد العادي المتوقع في المصالح العامة

Artinya: “Adapun hâjiyat, bermakna suatu tindakan yang dibutuhkan untuk tujuan memberi kelonggaran serta menghilangkan kesempitan, yang diaplikasikan pada faktor penyebab timbulnya kesulitan dan masyaqqah (berat) bagi tercapainya tujuan yang dicari. Apabila hal ini tidak diterapkan, maka sudah pasti dapat menyebabkan orang-orang mukallaf secara umum jatuh pada kesulitan dan masyaqqah. Namun, tindakan (memperlonggar) ini dimaksudkan tidak sampai menimbulkan kerusakan yang besar dan mengakibatkan gangguan pada kemaslahatan umum masyarakat.” (Al-Syathibi, al-Muwâfaqât, Madinah: Daru Ibnu Qayyim, 2003: 2/14)

Sebagai contoh misalnya adalah sholat jama’ dan shalat qashar. Sebagaimana kita tahu bahwa pada dasarnya shalat jama’ juga boleh dilakukan untuk orang yang terbiasa pergi ke masjid namun karena adanya faktor penghalang yang menyebabkan ia tidak bisa hadir, misalnya karena hujan deras, atau lingkungan yang banjir, maka ia boleh mengumpulkan sholat yang pertama di waktu sholat yang kedua. Pengumpulannya ini disebut dengan jama’. Syariat juga membenarkan bahwa dalam kondisi safar (bepergian), maka seorang individu musafir dibenarkan melakukan rukhshah shalat dengan jalan melakukan jama’-qashar, dan berbuka / tidak berpuasa, meskipun di bulan Ramadhan. Kedua praktik ini pada dasarnya memberi kesan bahwa tujuan utama yang hendak dicapai oleh syariat adalah individu pelaku tetap bisa melangsungkan ibadahnya (terjaga agamanya), dan menghilangkan masyaqqah (kesulitan) akibat ia harus memenuhi tanggung jawabnya dengan jalan safar (penjagaan jiwa, akal dan harta). Ketiadaan safar merupakan sebab hilangnya rukhshah (dispensasi syariah). 

Dalam praktik ekonomi misalnya ada sebuah contoh yang digambarkan, misalnya dengan adanya seorang sahabat Nabi yang datang ke masjid untuk bersegera melakukan jamaah sholat dan waktunya sudah mepet. Karena sahabat tersebut datang dengan mengendarai unta, maka perintah Nabi kepada sahabat tersebut adalah agar untanya ditambatkan terlebih dahulu sebelum ia masuk ke masjid. Tujuan dari menambatkan ini pada dasarnya adalah sebagai teladan bahwa Nabi Muhammad SAW juga memperhatikan konsepsi penjagaan harta. Konsepsi yang sama bisa kita qiyaskan (dianalogikan) untuk kasus harta yang lain, suatu misal sandal, atau tas dan barang-barang jamaah yang datang ke masjid, sehingga dibenarkan apabila dibuka jasa penitipan barang seiring upaya penjagaan tersebut. Dengan kata lain, keberadaan jasa penitipan atau bahkan parkiran, semata adalah demi kenyamanan jamaah dalam menjalankan ibadahnya. Namun, masalah ini adalah masuk rumpun masalah sekunder, yang artinya tidak semua masjid harus menerapkan hal yang sama kepada jamaahnya. Artinya kebijakan ini berlaku seiring ada pertimbangan memudahkan jamaah dalam mengamankan barangnya dan melaksanakan ibadahnya. 

Walhasil, mashlahah dlaruriyah (primer) menduduki strata pertama yang harus diperhatikan. Adapun hal yang mendukung bagi terpenuhinya maslahah dlaruriyah tersebut adalah masuk unsur maslahah hâjiyah dan boleh dipenuhi kemudian bila dibutuhkan bagi terlaksananya maslahah primer. Dalam dunia ekonomi, biasanya ciri dari tercapainya maslahat primer dan sekunder ini adalah adanya kepuasan dari seorang individu karena tercapai semua maksudnya. Pasca ketercapaian maksud inilah yang selanjutnya diperhatikan dalam kajian maslahah tahsîniyyah. 

Maslahah Tahsîniyah 

Al Ghazali dalam Kitab Karya monumentalnya, yaitu ihyâ Ulûmu al-Dîn, menjelaskan bahwa setiap individu manusia pada dasarnya memiliki dua kutub jiwa yaitu positif dan negatif. Bila seorang individu condong pada sisi positif, maka kualitas keshalehan pribadinya lebih condong pada jiwa malaikat. Sementara itu, apabila ia terlalu condong ke sisi negatif, maka kualitas individu kemanusiaannya semakin condong pada jiwa syaithânî dan jiwa bahîmah (binatang). Menjaga individu agar tetap berada pada kondisi tengah, merupakan obyek dari mashlahah tahsîniyyah.

أما التحسينات فمعناها الأخذ بما يليق من محاسن العادات وتجنب الأحوال المدنسات التي تأنفها العقول الراجحات ويجمع ذلك قسم مكارم الأخلاق 

Artinya: “Adapun yang dimaksud dengan tahsîniyat adalah suatu upaya mengambil tindakan yang sesuai dengan tradisi-tradisi yang baik, menjauhi pekerti yang kotor yang dapat melemahkan aqal yang waras dan terkumpul di dalamnya adalah segala bentuk akhlak yang mulia.” (Al-Syathibi, al-Muwâfaqât, Madinah: Daru Ibnu Qayyim, 2003: 2/14)

Pada prinsipnya juga, bahwa manusia dilahirkan dengan fitrah menyukai hal-hal yang bersifat baik dan mengundang kebaikan bagi dirinya. Sementara di sisi lain, ia tidak menyukai suatu keburukan dan berlebih-lebihan. Dalam dunia ekonomi, jiwa individu yang buruk digambarkan dalam syariat - dalam konteks pengelolaan ekonominya - ditengarai sebagai individu syuhhun (pelit), bakhîlun (pelit), israf (perilaku berlebih-lebihan, pemborosan), takâtsur (bermegah-megahan). Berkali-kali Allah SWT memperingatkan buruknya pribadi dengan karakter-karakter tersebut. Itulah sebabnya masing-masing sifat tersebut harus dihindari melalui syariat zakat, infaq, shadaqah, hibah, wakaf, dan lain sebagainya. Tujuan dari pensyariatan ini pada dasarnya adalah pengendalian secara umum diri individu agar dirinya tetap bisa eksis bersosialisasi dengan sekitarnya dengan kualitas individu yang saleh. 

Kesimpulan

Walhasil, stratifikasi penerapan maslahat dalam diri individu, secara berurutan adalah harus dimulai dari upaya memenuhi maslahah dlaruriyah (primer). Maslahah hâjiyah, hanya boleh diterapkan guna mendukung tercapainya maslahah dlarûriyah. Di dalam maslahah hâjiyah berlaku upaya mempermudah upaya pencapaiannya dan menghilangkan segala masyaqqah yang potensial menghalanginya. Ketercapaian maksud sehingga lahir kepuasan menghendaki diaplikasikannya maslahah tahsîniyah, yaitu dengan jalan menghindarkan segala potensi negatif diri individu dan menarik kebaikannya, sehingga tercapai falâh (keberuntungan/kemenangan). Wallâhu a’lam bish shawâb. []

Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU JATIM dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar