Memahami Tujuan Dasar
Syariat (2): Maslahat Sekunder dan Tersier
Manusia merupakan makhluk ekonomi. Manusia
juga dikenal sebagai makhluk sosial. Untuk memenuhi kebutuhannya dalam bidang
ekonomi dan sosial, manusia melakukan kontak dan kontrak sosial dengan
sesamanya. Kontrak sosial dengan lawan jenisnya mewujud dalam bentuk ikatan
pernikahan. Kontrak sosial dengan tetangga mewujud dalam jalinan ikatan
kemasyarakatan dan negara. Karena adanya kontrak sosial inilah maka segala
bentuk kebebasan manusia dibatasi oleh kebebasan manusia yang lain. Pada
akhirnya muncullah yang dinamakan hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat,
bangsa dan negara. Interaksi antara penjagaan maslahah pokok setiap individu
menjadi saling tarik ulur dengan kewajiban dan kebutuhan penjagaan maslahah
pokok individu yang lain. Maslahat pokok ini kita sebut pada kajian yang lalu
sebagai maslahah dlaruriyah atau maslahat primer.
Karena adanya tarik ulur akibat interaksi,
maka dibutuhkanlah rumusan maslahat sekunder yaitu sebagai aturan bersama yang
bersifat memudahkan bagi terwujudnya maslahat primer dengan tidak meninggalkan
sisi kerukunan antar sesama serta berupaya menghilangkan sisi kesulitan setiap
individu dalam mewujudkan maslahat primer untuk dirinya sendiri. Maslahat yang
terakhir ini disebut dengan maslahah hâjiyah atau kita tengarai saja sebagai
maslahat sekunder.
وأما
الحاجيات فمعناها أنها مفتقر إليها من حيث التوسعة ورفع الضيق المؤدي في الغالب
إلى الحرج والمشقة اللاحقة بفوت المطلوب فإذا لم تراع دخل على المكلفين - على
الجملة - الحرج والمشقة ، ولكنه لا يبلغ مبلغ الفساد العادي المتوقع في المصالح
العامة
Artinya: “Adapun hâjiyat, bermakna suatu
tindakan yang dibutuhkan untuk tujuan memberi kelonggaran serta menghilangkan
kesempitan, yang diaplikasikan pada faktor penyebab timbulnya kesulitan dan
masyaqqah (berat) bagi tercapainya tujuan yang dicari. Apabila hal ini tidak
diterapkan, maka sudah pasti dapat menyebabkan orang-orang mukallaf secara umum
jatuh pada kesulitan dan masyaqqah. Namun, tindakan (memperlonggar) ini
dimaksudkan tidak sampai menimbulkan kerusakan yang besar dan mengakibatkan
gangguan pada kemaslahatan umum masyarakat.” (Al-Syathibi, al-Muwâfaqât,
Madinah: Daru Ibnu Qayyim, 2003: 2/14)
Sebagai contoh misalnya adalah sholat jama’
dan shalat qashar. Sebagaimana kita tahu bahwa pada dasarnya shalat jama’ juga
boleh dilakukan untuk orang yang terbiasa pergi ke masjid namun karena adanya
faktor penghalang yang menyebabkan ia tidak bisa hadir, misalnya karena hujan
deras, atau lingkungan yang banjir, maka ia boleh mengumpulkan sholat yang
pertama di waktu sholat yang kedua. Pengumpulannya ini disebut dengan jama’.
Syariat juga membenarkan bahwa dalam kondisi safar (bepergian), maka seorang
individu musafir dibenarkan melakukan rukhshah shalat dengan jalan melakukan
jama’-qashar, dan berbuka / tidak berpuasa, meskipun di bulan Ramadhan. Kedua
praktik ini pada dasarnya memberi kesan bahwa tujuan utama yang hendak dicapai
oleh syariat adalah individu pelaku tetap bisa melangsungkan ibadahnya (terjaga
agamanya), dan menghilangkan masyaqqah (kesulitan) akibat ia harus memenuhi
tanggung jawabnya dengan jalan safar (penjagaan jiwa, akal dan harta).
Ketiadaan safar merupakan sebab hilangnya rukhshah (dispensasi syariah).
Dalam praktik ekonomi misalnya ada sebuah
contoh yang digambarkan, misalnya dengan adanya seorang sahabat Nabi yang
datang ke masjid untuk bersegera melakukan jamaah sholat dan waktunya sudah
mepet. Karena sahabat tersebut datang dengan mengendarai unta, maka perintah
Nabi kepada sahabat tersebut adalah agar untanya ditambatkan terlebih dahulu
sebelum ia masuk ke masjid. Tujuan dari menambatkan ini pada dasarnya adalah
sebagai teladan bahwa Nabi Muhammad SAW juga memperhatikan konsepsi penjagaan harta.
Konsepsi yang sama bisa kita qiyaskan (dianalogikan) untuk kasus harta yang
lain, suatu misal sandal, atau tas dan barang-barang jamaah yang datang ke
masjid, sehingga dibenarkan apabila dibuka jasa penitipan barang seiring upaya
penjagaan tersebut. Dengan kata lain, keberadaan jasa penitipan atau bahkan
parkiran, semata adalah demi kenyamanan jamaah dalam menjalankan ibadahnya.
Namun, masalah ini adalah masuk rumpun masalah sekunder, yang artinya tidak
semua masjid harus menerapkan hal yang sama kepada jamaahnya. Artinya kebijakan
ini berlaku seiring ada pertimbangan memudahkan jamaah dalam mengamankan
barangnya dan melaksanakan ibadahnya.
Walhasil, mashlahah dlaruriyah (primer)
menduduki strata pertama yang harus diperhatikan. Adapun hal yang mendukung
bagi terpenuhinya maslahah dlaruriyah tersebut adalah masuk unsur maslahah
hâjiyah dan boleh dipenuhi kemudian bila dibutuhkan bagi terlaksananya maslahah
primer. Dalam dunia ekonomi, biasanya ciri dari tercapainya maslahat primer dan
sekunder ini adalah adanya kepuasan dari seorang individu karena tercapai semua
maksudnya. Pasca ketercapaian maksud inilah yang selanjutnya diperhatikan dalam
kajian maslahah tahsîniyyah.
Maslahah Tahsîniyah
Al Ghazali dalam Kitab Karya monumentalnya,
yaitu ihyâ Ulûmu al-Dîn, menjelaskan bahwa setiap individu manusia pada
dasarnya memiliki dua kutub jiwa yaitu positif dan negatif. Bila seorang
individu condong pada sisi positif, maka kualitas keshalehan pribadinya lebih
condong pada jiwa malaikat. Sementara itu, apabila ia terlalu condong ke sisi
negatif, maka kualitas individu kemanusiaannya semakin condong pada jiwa
syaithânî dan jiwa bahîmah (binatang). Menjaga individu agar tetap berada pada
kondisi tengah, merupakan obyek dari mashlahah tahsîniyyah.
أما
التحسينات فمعناها الأخذ بما يليق من محاسن العادات وتجنب الأحوال المدنسات التي
تأنفها العقول الراجحات ويجمع ذلك قسم مكارم الأخلاق
Artinya: “Adapun yang dimaksud dengan
tahsîniyat adalah suatu upaya mengambil tindakan yang sesuai dengan
tradisi-tradisi yang baik, menjauhi pekerti yang kotor yang dapat melemahkan
aqal yang waras dan terkumpul di dalamnya adalah segala bentuk akhlak yang
mulia.” (Al-Syathibi, al-Muwâfaqât, Madinah: Daru Ibnu Qayyim, 2003: 2/14)
Pada prinsipnya juga, bahwa manusia
dilahirkan dengan fitrah menyukai hal-hal yang bersifat baik dan mengundang
kebaikan bagi dirinya. Sementara di sisi lain, ia tidak menyukai suatu
keburukan dan berlebih-lebihan. Dalam dunia ekonomi, jiwa individu yang buruk
digambarkan dalam syariat - dalam konteks pengelolaan ekonominya - ditengarai
sebagai individu syuhhun (pelit), bakhîlun (pelit), israf (perilaku
berlebih-lebihan, pemborosan), takâtsur (bermegah-megahan). Berkali-kali Allah
SWT memperingatkan buruknya pribadi dengan karakter-karakter tersebut. Itulah
sebabnya masing-masing sifat tersebut harus dihindari melalui syariat zakat,
infaq, shadaqah, hibah, wakaf, dan lain sebagainya. Tujuan dari pensyariatan
ini pada dasarnya adalah pengendalian secara umum diri individu agar dirinya
tetap bisa eksis bersosialisasi dengan sekitarnya dengan kualitas individu yang
saleh.
Kesimpulan
Walhasil, stratifikasi penerapan maslahat
dalam diri individu, secara berurutan adalah harus dimulai dari upaya memenuhi
maslahah dlaruriyah (primer). Maslahah hâjiyah, hanya boleh diterapkan guna
mendukung tercapainya maslahah dlarûriyah. Di dalam maslahah hâjiyah berlaku
upaya mempermudah upaya pencapaiannya dan menghilangkan segala masyaqqah yang
potensial menghalanginya. Ketercapaian maksud sehingga lahir kepuasan
menghendaki diaplikasikannya maslahah tahsîniyah, yaitu dengan jalan
menghindarkan segala potensi negatif diri individu dan menarik kebaikannya,
sehingga tercapai falâh (keberuntungan/kemenangan). Wallâhu a’lam bish
shawâb. []
Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pesantren Hasan
Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji
Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU JATIM dan Wakil Sekretaris
Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar