Mengenal Pemikiran Maqashid
Syari’ah Imam Haramain
Al-Juwaini atau yang biasa disebut Imam
al-Haramain, memiliki nama asli Abu al-Ma’âlî Abd al-Mâlik Ibn Abdillâh Ibn
Yûsuf al-Juwainî (w. 478 H). Nisbat al-Juwainî atau al-Nishâbûr didasarkan pada
tanah kelahirannya, yaitu sebuah kota yang berada di Iran (Persia) bagian
utara. Menurut Ibn Atsîr, ia lahir pada tahun 410 H. Ibnu Jauzî menyampaikan
bahwa ia lahir pada tahun 417 H. Riwayat dari Ibn Jauzî ini dianggap sebagai
riwayat yang paling kuat disebabkan karena masa kedua tokoh ini, yakni
al-Juwainî dan Ibn Jauzî adalah saling berdekatan. Riwayat lain dari Ibn
al-Thughrî, menunjuk pada tahun yang sama kelahiran, sebagaimana disampaikannya
dalam kitab Al-Nujûm al-Dhâhirah, juz V, halaman 151. Mayoritas para ahli
sejarah menyebut bahwa al-Juwainî lahir pada tahun 419 H. Hal ini didasarkan
pada hitungan usianya yang hanya sampai kisaran 59 tahun dari tahun
kewafatannya, yaitu tahun 478 H. Yang penting untuk diketahui adalah bahwa
al-Juwainî merupakan guru langsung dari Ibn Jauzî dan sekaligus al-Ghazâlî.
Al Juwaini, atau yang biasa dipanggil dengan
Imam al-Haramain, merupakan sosok yang hidup dan dibesarkan di tengah
lingkungan intelektual di kota Nishâbûr. Ayah dan kakeknya merupakan para tokoh
ahli dalam bidang fiqih. Itulah sebabnya, sejak kecil beliau sudah dididik
dengan disiplin ibadah dan pemikiran.
Guru beliau salah satunya adalah Abû al-Qâsim
Iskaf al-Asfarânî. Ia menimba ilmu ushul dan fiqih dari sosok yang satu ini.
Dalam bidang bahasa Arab, beliau berguru pada Abû Abdillâh al-Bukhâri dan Abu
al-Hasan Ali ibn Fadhal ibn Ali al-Majasy’i. Di antara guru dalam bidang hadîts
dan ulûmu al-hadîts beliau adalah Abu Sa'ad bin Malik, Abi Hasan Muhammad bin
Ahmad Al-Muzakki, Abu Sa'ad bin Nadraw, Manshur bin Ramisyi, Abu Bakar Ahmad
bin Muhammad bin Al-Haris Al-Ashabani Al-Tamimi dan Abu Sa'ad bin Hamdan
Al-Nisabur. (Muhammad Al-Zuhayli, al-Imam al-Juwaynī, Damaskus: Dar al-Qalam,
1986: 5-6 dan Harbî, M., Abu al-Ma’âli al-Juwainî, Beirut: ‘Alam al-Kutub
al-Islâmiyah, 1986: 19-20)
Ada banyak karya beliau, dan salah satunya
yang masyhur di kalangan pesantren Indonesia adalah kitab al-Burhân fî Ushûl
al-Fiqh dan al-Waraqât. Kitab al-Burhân fî Ushûl al-Fiqh diakui sebagai kitab
ushul fiqh pertama yang disusun komprehensif dari kalangan mutakallimin setelah
al-Risâlah li al-Syâfi’i. Sebenarnya, al-Juwaini ini memiliki karya lain yang
mendukung skematisasi ushul fiqihnya, yaitu kitab al-Waraqât, al-Risâlah fi
al-Taqlîd wa al-Ijtihâd, dan al-Mujtahidîn. Ketiganya secara berturut-turut
membahas mengenai ilmu ushul fiqih, ilmu khilâf (perbedaan pendapat) dan ilmu
jidâl (debat). Kelak ilmu khilâf ini yang akan berkembang dalam urusan tarjîhat
al-ilal – yaitu upaya mencari faktor murajjih (penguat) pada illat al-hukm
(alasan hukum) - yang dikaji secara mendalam oleh Izzu al-Dîn Ibnu Abdi
al-Salâm. (Taj al-Dîn al-Subki, Tabaqât al-Shâfi’iyyah al-Kubrā, Beirut: Dâr
al-Ma‘rifa, t.th.: Vol.3, 249- 252).
Sebagaimana diketahui bahwa al-Juwaini
merupakan peletak landasan utama pemikiran maqâshid al-syarî’ah (tujuan pokok
syariat). Jika konsep pencarian maslahah dan istihsân sudah dikaji secara
matang oleh keempat Imam Mazhab, maka al-Juwaini menitiktekankan kajiannya pada
pencarian dan perumusan tujuan pokok syariat. Hasil rumusannya ini selanjutnya
dikenal sebagai maslahat primer (al-dlarûriyah), sekunder (hâjiyah) dan tersier
(tahsîniyah). (Zakiy al-Dîn Sha’ban, Ushul Fiqh, Kairo: al-Maktabah
al-Tijariyyah bi Misrâ, 1938: 16)
Menurutnya, orang-orang yang tidak mampu
memahami dengan baik tujuan al-Syâri’ (Allah SWT) di dalam menetapkan syariat,
maka pada hakikatnya ia belum dipandang mampu dalam menetapkan atau melakukan
istinbâth hukum-hukum syarî’at. Istinbath merupakan tata cara penggalian hukum.
Sebagaimana diketahui bahwa nash syara’ yang terdiri dari Al-Qur’an dan al-Hadîts,
seluruhnya adalah masih bersifat global. Untuk itu perlu langkah istinbâth
tersebut. Dan salah satu syarat agar bisa diperoleh hukum, maka ia harus
mengetahui tujuan pokok dari disyarîatkannya Islam itu sendiri. (Lihat:
Al-Juwaini, al-Waraqât fî Ushûl al-Fiqh, Kairo: Thabaat Musthafa Bab Al-Halabi,
tt.)
Embrio teori maslahat yang diusung oleh
al-Juwaini dapat diketahui di dalam kitab al-Burhân fi Ushûl al-Fiqh. Di dalam
kitab tersebut, pada bab qiyas, ia menjelaskan tentang bahasan menarik teori
‘ilâl (teori alasan) dan ushûl (dalil pokok) dalam mewujudkan maqâshid
syarî’ah. Awalnya, ia membagi terlebih dahulu maqâshid syarî’ah menjadi dua,
yaitu:
1. Maqâshid yang dihasilkan dari jalan
istiqra’ (berpikir induktif) terhadap nash. Hukum yang dihasilkan bersifat
ta’abbudî dan tidak bisa diubah. Contoh misalnya shalat 5 waktu dan puasa.
Beberapa kalangan menamainya dengan perkara ‘azîmah – yaitu perkara yang sudah
tidak bisa diganggu gugat.
2. Maqashid yang dihasilkan tidak dari jalur
pembacaan dan penyimpulan nash, karena secara nash ia belum ditemukan ketetapan
hukumnya. Maqashid ini dihasilkan dari jalur membandingkan antara teks nash
tertentu dengan teks nash yang lain. Karena harus dilakukan pembandingan, maka
peran akal (rasio) menduduki posisi penting untuk melakukan pengkajiannya.
Hukum semacam ini dilabelinya sebagai ta’aqqulî (menerima peran rasio). (Zakiy
al-Dîn Sha’ban, Ushul Fiqh, Kairo: al-Maktabah al-Tijariyyah bi Misrâ, 1938:
16-17)
Karena dalam istinbath hukum tujuannya adalah
untuk menghasilkan produk hukum (fiqih), maka selanjutnya dengan berpedoman
pada kedua macam maqâshid di atas, al-Juwainî menjabarkan mengenai 5 poin pokok
ushul syarî’ah, antara lain sebagai berikut:
1. Ushul yang berkaitan dengan kepentingan
dlarûri (primer), yang terdiri dari pokok penjagaan jiwa (al-nafs), penjagaan
hak beragama (al-dîn), penjagaan hak harta benda (al-mâl), penjagaan akal
(al-‘aql) dan penjagaan keturunan (al-nasl). Kelima penjagaan ini dapat
dibenarkan secara langsung oleh nash namun tata caranya kadang harus beragam.
Misalnya, hukum had (pidana) terhadap pelaku kriminal pada dasarnya adalah
untuk menjaga jiwa. Namun, wujud had (pidana) ini dalam aplikasinya bisa
beragam menurut tingkat kejahatannya. Untuk had pelaku pencurian yang tidak
sampai melebihi 1 nishab, maka bisa diterapkan hukum penjara (habsu). Penjara
ini merupakan wujud hasil penggalian hukum melalui jalur qiyâs.
2. Ushul yang berkaitan langsung dengan
kepentingan umum bersama dan memiliki dasar yang dapat ditemukan melalui
pembandingan hukum. Meskipun ushul ini tidak sampai mencapai derajat pokok,
namun ia merupakan wasilah untuk mewujudkan kelima pokok (ushul) yang pertama
(dlarûrî). Ushul jenis ini dikategorikannya dalam label al-hâjiyat (sekunder
guna pemenuhan kebutuhan). Misalnya adalah berkaitan dengan akad-akad transaksi
syarî’ah, meliputi pernikahan, perdagangan, hibah, dan lain sebagainya yang
berhubungan dengan aspek muâmalah.
3. Ushul yang berkaitan dengan penjagaan
nilai serta norma-norma sosial yang harus dipenuhi. Kelompok ushul ini
merupakan bagian yang memasukkan adat-istiadat setempat (‘urf) sebagai bagian
dari pertimbangan hukum. Masalah ini dilabelinya sebagai al-tahsîniyat
(tersier). Contoh objek kajian yang masuk dalam unsur ini misalnya adalah
transaksi jual beli tanpa akad ijab-qabul yang berlaku di bandara atau antara
sopir angkutan perkotaan dengan penumpangnya.
4. Ushul yang berkaitan dengan
perkara-perkara yang disunnahkan. Misalnya adalah tukar menukar kado,
tolong-menolong dengan tetangga, silaturahmi, atau bahkan peristiwa mudik
lebaran. Semua itu adalah perkara sunnah, dan dalam teks nash hanya disinggung
secara sepotong-sepotong.
5. Ushul yang tidak bisa dipahami maknanya.
Misalnya adalah ketetapan ziyadah (tambahan) yang disyaratkan dan yang tidak
disyaratkan yang berlaku dalam relasi utang-piutang. (Zakiy al-Dîn Sha’ban,
Ushul Fiqh, Kairo: al-Maktabah al-Tijariyyah bi Misrâ, 1938: 16-20)
Menurut al-Juwainî, kelima ushul ini tidak
bisa dipahami melalui jalur maqâshid istiqraiyah – maqashid yang dihasilkan
melalui metode berpikir induktif - melainkan ia harus dipahami dengan rasio
(aql), oleh karena itu ia menerima untuk diperdebatkan (qâbil al-nuqasy)
sehingga berlaku atasnya metode qiyâs.
Penting diketahui bahwa, karena dalam setiap
ushul syarî’ah di atas harus disertai dengan adanya qarînah (fakta koherensi
yang meliputi situasi, kondisi dan dominasi), maka dalam urusan qarînah ini,
al-Juwainî membaginya menjadi dua, yaitu: qarînah yang bersifat hâliyah
(situasi dan kondisi), dan qarînah yang bersifat maqâliyah (perkataan, yang
diwakili oleh maksud dari dominasi). Misalnya adalah ushul syarîah tentang
bank. Asal-asalnya bank didirikan untuk menjaga keamanan dana masyarakat dan
sekaligus sebagai soko guru perekonomian. Namun, karena bank sendiri merupakan
sebuah lembaga jasa, maka dalam prinsip penyaluran kreditnya, ia bisa dibagi
menjadi dua, yaitu:
1. Situasi masyarakat yang membutuhkan
pinjaman modal dengan biaya yang tidak memberatkan
2. Kondisi masyarakat yang kadangkala merasa
terbebani oleh prinsip bagi hasil dan keuntungan dari akad bank syariah. Selain
itu, bank syariah sendiri belum berdiri secara merata di semua daerah. Alasan
lain adalah, indeks kemakmuran nasional harus diukur dari tingkat kemajuan
warganya dalam hal ekonomi sehingga membutuhkan instrumen yang bisa
mewujudkannya sehingga mau tidak mau harus menggunakan perbankan. Apalagi dalam
kondisi perdagangan internasional yang mensyaratkan bank harus ada.
3. Dominasi instrumen keuangan masih dikuasai
oleh bank konvensional.
Pertimbangan ketiga faktor di atas, dianggap
penting untuk memutuskan hukum dari bunga bank, disebabkan karena faktor
kemajuan ekonomi adalah masalah pokok (ushul) yang harus diwujudkan, sehingga -
tidak bisa tidak - masyarakat harus berhubungan dengannya.
Kajian lain yang hampir mirip adalah kajian
seputar hukum leasing kendaraan yang mengharuskan pertimbangan terhadap
aspek-aspek tertentu, sebagaimana telah disebutkan, yaitu situasi, kondisi dan
dominasi. Kajian tentang pembangunan rumah dengan jasa kredit KPR adalah juga
menjadi bagian penting pembahasan. Wallâhu a’lam bish shawâb. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pesantren
Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan
Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim dan Wakil
Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar