Selasa, 22 Oktober 2019

(Hikmah of the Day) Ketika Sayyidina Ali Meminta Al-Qur’an Berbicara


Ketika Sayyidina Ali Meminta Al-Qur’an Berbicara

Dulu, banyak sekali pengikut Sayyidina Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat, yang merupakan para penghafal Al-Qur’an (Qurrâ'). Misi utama mereka adalah menjaga Al-Qur’an supaya tak musnah. Pada abad ketujuh masehi tersebut, peran para penghafal sangatlah vital sebagai media transmisi Al-Qur’an dari satu generasi ke generasi berikutnya. Meski peran mereka sedemikian urgen, namun menjadi penghafal bukan berarti dengan sendirinya menjadi ahli dalam memahami makna ajaran Al-Qur’an. 

Suatu saat mereka pernah menyalahkan Sayyidina Ali karena dianggap menjadikan manusia sebagai juru putus (hakam) dalam arbitrase antara kubu Ali dan Mu'awiyah yang terlibat perang saudara. Menurut para penghafal Al-Qur’an itu tak ada hukum kecuali milik Allah. Maksudnya, semua keputusan harus apa kata Al-Qur’an, bukan kata manusia.

Mendengar kritik itu, Sayyidina Ali kemudian mengumpulkan para penghafal Al-Qur’an tersebut dan mereka diminta membawa mushaf. Setelah banyak yang berkumpul lalu beliau membuka Mushaf Imam (mushaf standar hasil kodifikasi Utsman yang jadi rujukan utama penulisan mushaf saat itu). Ia lalu berkata: 

أيها المصحف حدث الناس

"Wahai mushaf Al-Qur’an, bicaralah pada orang-orang itu!" (Ibnu Katsir, al-Bidâyah wan-Nihâyah, VII, 270)

Dengan cara cerdik itu, ia berhasil menyadarkan para penghafal Al-Qur’an tersebut bahwa mushaf Al-Qur’an tak bisa bicara sendiri sebab hanya goresan tinta di atas kertas. Manusia lah yang menafsirkannya dengan kemampuan akalnya masing-masing. Semua jargon untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai juru putus tak lebih dari sekadar upaya untuk menjadikan penafsiran mereka yang sepihak itu sebagai satu-satunya acuan. 

Beliau lalu menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an sendiri, Allah telah menjadikan manusia sebagai juru putus (hakam) tatkala ada percekcokan antara sepasang suami istri (QS. an-Nisa': 35), padahal ini urusan remeh. Sedangkan nyawa dan kehormatan umat Nabi Muhammad tentu lebih berharga daripada sekadar urusan rumah tangga, masak tak boleh memasrahkan masalah segenting ini pada pertimbangan manusia? Dan, para penghafal Al-Qur’an itu pun kehabisan akal di depan seorang mujtahid yang menjadi Khalifah keempat itu.

Dari sini kita tahu bahwa penukil ayat-ayat Al-Qur’an tidaklah lantas mewakili ajaran Al-Qur’an itu sendiri. Para penghafal Al-Qur’an dalam kisah ini di kemudian hari menjadi generasi Khawarij pertama (Haruriyah/al-Muhakkimah al-Ula). Sejarah dan kisah para Khawarij dengan nalar ultra tekstualnya itu sebelumnya telah penulis uraikan dengan agak mendetail di bagian lain di NU Online ini. Semoga bermanfaat. []

Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja Center Jember.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar