Ketika Sayyidina Ali
Meminta Al-Qur’an Berbicara
Dulu, banyak sekali pengikut Sayyidina Ali
bin Abi Thalib, khalifah keempat, yang merupakan para penghafal Al-Qur’an
(Qurrâ'). Misi utama mereka adalah menjaga Al-Qur’an supaya tak musnah. Pada
abad ketujuh masehi tersebut, peran para penghafal sangatlah vital sebagai media
transmisi Al-Qur’an dari satu generasi ke generasi berikutnya. Meski peran
mereka sedemikian urgen, namun menjadi penghafal bukan berarti dengan
sendirinya menjadi ahli dalam memahami makna ajaran Al-Qur’an.
Suatu saat mereka pernah menyalahkan Sayyidina
Ali karena dianggap menjadikan manusia sebagai juru putus (hakam) dalam
arbitrase antara kubu Ali dan Mu'awiyah yang terlibat perang saudara. Menurut
para penghafal Al-Qur’an itu tak ada hukum kecuali milik Allah. Maksudnya,
semua keputusan harus apa kata Al-Qur’an, bukan kata manusia.
Mendengar kritik itu, Sayyidina Ali kemudian
mengumpulkan para penghafal Al-Qur’an tersebut dan mereka diminta membawa
mushaf. Setelah banyak yang berkumpul lalu beliau membuka Mushaf Imam (mushaf
standar hasil kodifikasi Utsman yang jadi rujukan utama penulisan mushaf saat
itu). Ia lalu berkata:
أيها
المصحف حدث الناس
"Wahai mushaf Al-Qur’an, bicaralah pada
orang-orang itu!" (Ibnu Katsir, al-Bidâyah wan-Nihâyah, VII, 270)
Dengan cara cerdik itu, ia berhasil
menyadarkan para penghafal Al-Qur’an tersebut bahwa mushaf Al-Qur’an tak bisa
bicara sendiri sebab hanya goresan tinta di atas kertas. Manusia lah yang
menafsirkannya dengan kemampuan akalnya masing-masing. Semua jargon untuk
menjadikan Al-Qur’an sebagai juru putus tak lebih dari sekadar upaya untuk menjadikan
penafsiran mereka yang sepihak itu sebagai satu-satunya acuan.
Beliau lalu menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an
sendiri, Allah telah menjadikan manusia sebagai juru putus (hakam) tatkala ada
percekcokan antara sepasang suami istri (QS. an-Nisa': 35), padahal ini urusan
remeh. Sedangkan nyawa dan kehormatan umat Nabi Muhammad tentu lebih berharga
daripada sekadar urusan rumah tangga, masak tak boleh memasrahkan masalah
segenting ini pada pertimbangan manusia? Dan, para penghafal Al-Qur’an itu pun kehabisan
akal di depan seorang mujtahid yang menjadi Khalifah keempat itu.
Dari sini kita tahu bahwa penukil ayat-ayat
Al-Qur’an tidaklah lantas mewakili ajaran Al-Qur’an itu sendiri. Para penghafal
Al-Qur’an dalam kisah ini di kemudian hari menjadi generasi Khawarij pertama
(Haruriyah/al-Muhakkimah al-Ula). Sejarah dan kisah para Khawarij dengan nalar
ultra tekstualnya itu sebelumnya telah penulis uraikan dengan agak mendetail di
bagian lain di NU Online ini. Semoga bermanfaat. []
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU
Jember dan Peneliti di Aswaja Center Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar