Menafsirkan Surat Ad-Dhuha
Ayat 7 dengan Metode yang Benar
Memahami Al-Qur’an tidak bisa hanya
menggunakan hasil terjemahan atau hanya berdasar pada teks dhahirnya saja.
Apabila Al-Qur’an dipahami menggunakan terjemahan harfiah atau teks dhahir ayat
saja maka hasil pemahaman yang diperoleh bisa jadi akan rancu. Al-Qur’an
sebagai teks suci, harus dipahami menggunakan piranti keilmuan yang lengkap,
salah satunya adalah menggunakan ilmu tafsir.
Baru-baru ini viral ceramah seorang ustadz
yang “dengan berani” menyatakan bahwa Muhammad (tidak menggunakan kata “Nabi”)
sesat. Ia beralasan bahwa pernyataannya mengacu pada ayat 7 surat Al-Dhuha yang
berbunyi (ووجدك ضالا فهدى).
Apakah dapat dibenarkan pendapat di atas,
bahwa Nabi Muhammad sesat?
Dalam kajian ilmu tafsir, penafsiran
Al-Qur’an dilakukan dengan empat metode. Pertama, menafsirkan ayat
Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain. Kedua, menafsirkan Al-Qur’an
dengan hadits Nabi. Ketiga, menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan qaul (perkataan)
sahabat. Keempat, menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan qaul tabi’in.
Dalam hal ini, maka tidak boleh seorang
menafsirkan Al-Qur’an, mengutarakan makna Al-Qur’an tanpa memahami keempat
metode di atas, apalagi hanya berdasarkan terjemahan. Apabila ia berani menafsirkan
Al-Qur’an tanpa menggunakan keempat metode di atas dan tidak memiliki
seperangkat keilmuan pendukung, maka ia masuk pada ancaman Nabi yang berbunyi:
“من فسّر القرأن برأيه فليتبوأ مقعده من النار”. Artinya, “Barangsiapa yang
menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan pendapatnya semata, maka tempatnya
kelak di neraka”. Dalam ulasan ulama, ada yang mengartikan bahwa kata “برأيه”
adalah “بغير علم” yang artinya “tanpa disertai seperangkat ilmu”.
Oleh karena itu, ada tiga hal yang perlu
dijelaskan untuk menanggapi perihal pernyataan sang ustadz, yaitu: (1)
menganalisis kata “ضالا” dari sisi bahasa (etimologi), (2) mengalisis kata “ضالا” lewat
penafsiran ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain, dan (3) etika
terhadap Nabi.
Pertama, secara bahasa, apabila
ada pohon di tengah-tengah padang sahara atau di tengah-tengah hutan belantara
tanpa ada pohon lain yang menyandinginya, maka pohon tersebut dikatakan “dhallah”.
Artinya, Nabi sebelum diangkat menjadi seorang rasul, beliau banyak menyaksikan
kaumnya menyembah berhala dan perilaku syirik lainnya, sementara beliau sendiri
sedang dalam keadaan sendirian (tidak mengikuti perilaku mereka) dan
kebingungan tanpa ada orang lain yang menyertainya.
Maka, dalam ayat tersebut digunakan diksi
kata “dhal” sesuai dengan keadaan Nabi yang menjauh dan tidak mengikuti
perilaku mereka, bukan berarti sesat kebalikan kata hidayah. Dengan demikian,
maka menurut Imam Sayyid Al-Tanthawiy, makna dari (ووجدك
ضالا فهدى) adalah “tidak ada
seorang pun yang mengikuti agamamu, engkau seorang diri tidak ada yang
menyertaimu, maka sebab engkau mereka mendapat hidayah menuju kepada-Ku.”
Kata “ضالا” juga berarti bingung, bukan sesat
kebalikan kata hidayah. Ibnu Abbas berkata:
ضل النبي ﷺ وهو صغير
في شعاب مكة، فرآه أبو جهل منصرفا عن أغنامه، فردّه إلى جده عبد المطلب فمن الله
عليه بذلك حين رده إلى جده على يدي عدوه
“Nabi bingung di lembah Makkah saat masih
kecil, kemudian Abu Jahal melihatnya dalam keadaan menggembala
kambing-kambingnya. Maka Abu Jahal mengembalikan Nabi kepada kekeknya, Abdul
Mutthalib. Sebab itu Allah menganugerahkan kepadanya saat dikembalikan kepada
kakeknya dari terkaman musuh-musuhnya”.
Kedua, dari sisi ilmu
tafsir, kata “ضالا” dapat dipahami maknanya lewat ayat yang lain, yaitu Surat
Asy-Syura ayat 52 (ما كنت تدري ما الكتاب ولا الإيمان
ولكن جعلناه نورا). Dalam hal
ini Imam Ibnu Katsir dan Imam Jalaluddin Al-Suyuthiy, penulis Tafsir bil
Ma’tsur, menafsirkan kata di atas dengan ayat di atas, yang berarti tidak tahu
dan bingung. Artinya, Nabi tidak mengetahui antara iman dan Al-Qur’an, bukan
sesat yang menyekutukan-Nya.
Imam Sayyid Al-Tanthawiy, mantan Syaikhul
Azhar, menguraikan bahwa maksud ayat ini bukan menyesatkan Nabi atau
menjatuhkan kemuliaan Nabi, namun maksudnya adalah memuliakan dan membanggakan
Nabi dengan memberikan pengetahuan yang beliau tidak ketahui, memperlihatkan
hal gaib yang beliau tidak bisa melihatnya.
Selain itu, kata “ضالا” juga bermakna lupa sebagaimana dijelaskan
dalam Surat Yusuf ayat 3 ( وإن كنت من قبله لمن
الغافلين) dan Surat Thaha ayat
52 (لايضل ربّي ولا ينسى). Imam Al-Qurthuby menjelaskan bahwa Nabi lupa akan
urusan kenabian, berikut teksnya:
ووجدك
ضالا فهدى) غافلا عما يراد بك من أمر النبوة فهداك، أي أرشدك
Imam Al-Thabariy meriwayatkan dari As-Suddiy
(ووجدك ضالا فهدى) bahwa Nabi bersama kaumnya selama empat puluh tahun, namun
pendapat ini kemudian dijelaskan bahwa maksud ayat tersebut adalah Nabi hidup
bersama kaumnya yang tersesat kemudian Allah memberi petunjuk kepada mereka
lewat Nabi. Artinya, dalam hal ini objek yang sesat bukanlah Nabi Muhammad ﷺ, tapi kaumnya yang mana beliau berada di tengah-tengah mereka.
Ketiga, jika mengatakan
Nabi sebagai orang yang sesat, maka secara tidak langsung ia mengatakan Nabi
tidak maksum dan menafikan kemuliaan Nabi. Tidak sepantasnya kita sebagai umat
Nabi merendahkan sifat keluhuran Nabi. Meskipun Nabi adalah manusia biasa namun
beliau adalah sebaik-baiknya seluruh makhluk.
Imam Al-Bushairiy berkata:
فمبلغ
العلم فيه أنه بشر ** وأنه خير خلق الله كلهم
Artinya: “Puncak dari pengetahuan bahwa Nabi
adalah seorang manusia, dan beliau sebaik-baiknya seluruh makhluk”.
Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip oleh Imam
Sayyid Al-Tanthawiy dalam tafsir Al-Wasith-nya, ketika menafsirkan Ad-Dhuha
ayat 7 berkata: “Nabi Muhammad lahir dan hidup menganut paham monotois,
mengesakan Tuhan, ia tidak menyembah pada berhala, makhluk. Ia tidak melakukan
kejahatan sehingga dikenal oleh kaumnya sebagai orang jujur dan terpencaya.
Kesesatan dalam hal syirik dan kesesatan dalam hal mengikuti hawa nafsu dalam
perbuatan adalah hal yang sangat jauh dari pribadi Nabi yang mulia. Tapi bisa
jadi ada kesesatan yang berupa kebingungan, demikian adalah yang dimaksud dari
ayat di atas”.
Dalam hal ini, Muhammad Abduh, sebagai
seorang reformis dan pembaharu yang—biasanya—dikenal mengedepankan akal dan
logikanya, menekankan kepada kita untuk beretika dalam memahami pribadi Nabi
terlebih terkait kemaksuman Nabi.
Para ulama ketika menafsirkan ayat ini
(Ad-Dhuha 7) mereka sangat berhati-hati, bahkan tidak sedikit mereka mengangkat
beberapa penafsiran dan pemaknaan yang sesuai dengan keluhuran pribadi Nabi
karena khawatir salah menginterpretasi tentang pribadi dan kemaksumannya.
Al-Qur’an menegaskan bahwa di hadapan Nabi
seseorang tidak diperkenankan mengeraskan suaranya melebihi intonasi suara
Nabi. Allah berfirman:
ياأيها
الذين أمنوا لاترفعوا أصواتكم فوق صوت النبي ولا تجهروا له بالقول كجهر بعضكم لبعض
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu
berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu
terhadap yang lain.” (QS Al-Hujarat 2)
Dalam ayat di atas, Imam Al-Tanthawiy
mengutarakan bahwa tidak sebaiknya seseorang memanggil Nabi dengan panggilan
“Muhammad” saja tanpa didahului oleh kata Nabi atau Rasul, dll.
Selain itu, tidak ada satu pun ayat Al-Qur’an
menggunakan seruan kepada Nabi Muhammad dengan namanya. Seruan yang digunakan
dalam Al-Qur’an menggunakan “ياأيها الرسول" atau "ياأيها
النبي". Ini menunjukkan
betapa mulia dan luhurnya seorang Nabi Muhammad di sisi Allah. Kita sebagai
ummatnya, yang senantiasa mengharapkan syafa’atnya kelak di hari kiamat, tidak
selayaknya merendahkan sifat keluhuran Nabi apalagi sampai menyesatkannya.
Al-Qur’an sebagai kalam ilahi, tidak
seharusnya dipahami hanya lewat terjemah harfiah sebab hal tersebut
menjerumuskan seorang pada kesalahan. Demikian pula, tidak sepantasnya
seseorang menafsirkan Al-Qur’an tanpa membaca terlebih dahulu ungkapan para
ulama-ulama terdahulu.
Imam Al-Syafi’i berpesan kepada kita semua:
تفقه
قبل أن ترأس، فإن رأست فلا سبيل إلى التفقه
Artinya: “Belajarlah sebelum kamu menjadi
tenar, sebab apabila kamu sudah tenar, maka tidak kesempatan bagimu untuk
belajar.” (Imam Nawawi, al-Majmû' Syarh al-Muhadzdzab, Jedah, Maktabah
al-Irsyad, t.t, juz 1, hal. 69) []
Moh. Fathurrozi, Pecinta Ilmu Qira’at,
Kaprodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar