Tidak Setiap Doa Pasti
Dikabulkan oleh Allah
Tidak setiap doa pasti dikabulkan oleh Allah subhanahu
wataâla. Hal ini disebabkan sebuah doa akan dikabulkan oleh Allah jika
memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu sebagaimana disinggung oleh Imam
Ahmad bin Muhammad As-Shawi Al-Maliki dalam kitabnya berjudul Hasyiatus
Shawi ala Tafsiril Jalalain (Beirut, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2017, Juz 3,
hal. 392) sebagai berikut:
بان
الدعاء له شروط، فإذا تخلف بعضها تخلف الإجاب
Artinya, “Sesungguhnya, ada syarat-syarat
bagi terkabulnya doa. Maka ketika sebagian syarat tidak terpenuhi, doa tak akan
diijabah.”
Persyaratan terkabulnya doa meliputi dua hal,
yakni persyaratan yang melekat pada manusia dan persyaratan yang melekat pada
Allah subhanahu wataâla. Persyaratan yang melekat pada manusia,
berdasarkan beberapa nash di dalam Al-Qur’an dan hadits Rasululullah, antara
lain adalah ikhlas, mengikuti petunjuk Rasulullah, mempercayai bahwa Allah akan
mengabulkan, dan doa itu dipanjatkan dengan hati yang khusyu’ serta penuh harap
kepada Allah.
Sedangkan persyaratan yang melekat pada Allah
adalah kehendak-Nya sendiri sebagai penguasa alam. Artinya suatu doa hanya bisa
terkabul jika Allah berkenan mengabulkannya. Hal ini berdasarkan penjelasan
Syekh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Asy-Syafií Al-Baijuri dalam menafsirkan
ayat 41, surat Al-An’am:
فَيَكْشِفُ
مَا تَدْعُونَ إِلَيْهِ إِنْ شَاءَ
“Maka Dia hilangkan bahaya yang kalian
mohonkan kepada-Nya jika Dia menghendak.”
على أن
الإجابة مقيدة بالمشيئة كما يدل عليه قوله تعالى فَيَكْشِفُ مَا تَدْعُونَ
إِلَيْهِ إِنْ شَاءَ فهو مقيد لإطلاق الآيتين السابقين فالمعنى ادْعُونِي
أَسْتَجِبْ لَكُمْ إن شئت وأجيب دعوة الداعي إن شئت
Artinya:“Sesungguhnya ijabah atau pengabulan
sebuah doa terikat dengan kehendak-Nya sebagaimana ditunjukkan oleh firman
Allah yang berbunyi: ‘Maka Dia hilangkan bahaya yang kalian mohonkan kepada-Nya
jika Dia menghendaki.’ Pengabulan doa ini terikat pada kemutlakan dua ayat
sebelumnya. Oleh karena itu makna dari ‘Mintalah kepada-Ku, Aku akan
mengabulkan’ itu jika Aku menghendakinya, dan aku kabulkan permintaan orang
yang berdoa kepada-Ku, jika aku menghendakinya.” (Lihat Tuhfatul Murid,
Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Cetakan ke-2, 2003, hal. 171).
Jadi sebuah doa akan dikabulkan oleh Allah
jika Ia menghendaki. Jika sebuah doa, sekalipun sudah memenuhi
persyarat-persyaratan yang melekat pada manusia dan juga telah sesuai dengan
adab berdoa, jika Allah tidak berkenan menghendakinya, maka doa itu tidak akan
terkabul. Justru di sinilah Allah menunjukan salah satu bukti Qudrat dan
Iradah-Nya. Bagaimanapun Allah adalah Penguasa Tunggal atas Seluruh Alam Raya
yang tak satupun makhluk dapat memaksa-Nya.
Contoh doa yang tidak dikabulkan oleh Allah
adalah dua permohonan Rasulullah sebagaimana disampaikan oleh KH Abdul Nashir
Fattah, Rais Syuriah PCNU Jombang, dalam kisah Hikmah berjudul “Dua Permohonan Nabi SAW yang Tidak Terkabul” (NU
Online, 18 Februari 2016).
Kedua doa itu adalah, pertama, permohonan
beliau agar umat beliau (kelak) tidak ber-hizb-hizb (berpartai-partai),
ber-firqah-firqah (berkelompok-kelompok), dan berpecah belah. Kedua,
agar umat beliau (kelak) satu dengan yang lainnya tidak saling membunuh. Kedua
doa itu merupakan penjabaran dari satu doa Rasululah yang tak dikabulkan oleh
Allah sebagaimana disebutkan dalam penggalan hadits yang diriwayatkan Ibnu
Majah berikut ini:
إني
صليت صلاة رغبة ورهبة ، سألت الله ، عز وجل ، ثلاثا فأعطاني اثنتين ، ومنعني واحدة
. سألته ألا يهلك أمتي غرقا ، فأعطاني وسألته ألا يظهر عليهم عدوا ليس منهم ،
فأعطانيها . وسألته ألا يجعل بأسهم بينهم ، فردها علي.
Artinya: ”Aku melakukan shalat raghbah (penuh
harap) dan rahbah (takut kepada-Nya), dalam shalatku itu aku memohon kepada
Allah tiga perkara. Dia mengabulkan dua perkara sedangkan satunya lagi tidak
dikabulkan. Aku memohon agar umatku tidak binasa oleh bencana kelaparan, maka
Dia mengabulkan permohonan ini. Aku memohon agar umatku tidak dikuasai oleh
musuh dari luar mereka, Dia pun mengabulkannya. Namun ketika aku memohon agar
umatku tidak merasakan kekejaman di antara sesamanya, Dia (Allah) tidak
mengabulkannya.”
Sejarah telah mencatat bahwa umat Islam
sepeninggal Rasulullah mengalami perpecahan dan bahkan saling bunuh di antara
kelompok-kelompok, terutama setelah meninggalnya Khalifah Utsman bin Affan radliyallahu
'anhu. Menurut KH Abdul Nashir Fattah, aksi saling bunuh di antara umat
Islam akan terjadi terus hingga akhir zaman. Hal ini terbukti, misalnya, dengan
pecahnya konflik dan perang saudara di negara-negara Timur Tengah hingga saat
ini. Di Indonesia aksi terorisme juga banyak merenggut jiwa orang-orang Islam
yang tidak berdosa.
Selain itu, ada satu lagi harapan Rasulullah
yang tidak pernah terwujud. Beliau sangat berharap agar Abu Thalib, paman
beliau, memeluk Islam dengan beriman kepada Allah. Namun harapan dan upaya
beliau mendorong sang paman memeluk Islam tersebut mendapat jawaban dari Allah
sebagaimana termaktub dalam Surat al-Qashash, ayat 56 sebagai berikut:
إِنَّكَ
لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ
Artinya: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat
memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk
kepada orang yang dikehendaki-Nya”.
Jika terhadap Rasulullah saja, Allah tidak
mengabulkan setiap doa beliau, apalagi terhadap kita-kita manusia biasa yang
penuh dengan dosa. Oleh karena itu, pemahaman bahwa setiap doa pasti dikabulkan
oleh Allah yang bersumber pada pemahan terhadap surat Al-Mu’min, ayat 60, di
dalam Al-Quran, yang berbunyi ٱدۡعُونِيٓ أَسۡتَجِبۡ
لَكُمۡۚ, perlu diperbaiki.
Terjemahan ayat ini bermasalah jika berbunyi: “Berdoalah kalian kepada-Ku
niscaya Aku akan mengabulkan permohonan kalian.”
Letak permasalahannya adalah pada penyertaan
kata “niscaya”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online
(kbbi.kemdikbud.go.id), kata tersebut memiliki persamaan makna dengan kata
“pasti”. Oleh karena secara faktual tidak setiap doa pasti dikabulkan oleh
Allah, maka ayat tersebut cukup diterjemahkan: “Berdoalah kalian kepada-Ku, Aku
akan mengabulkan permohonan kalian.”
Jadi kalimat dalam ayat tersebut harus
dipahami sebagai kalimat bersyarat bahwa sesuatu akan terjadi jika persyaratan
dipenuhi. Dalam hal ini Allah akan mengabulkan doa seorang hamba jika
persyaratan yang melekat padanya dipenuhi, terlebih persyaratan yang melekat
kepada Allah sendiri, yakni kehendak-Nya. Hal ini sejalan dengan penjelasan
dari Syekh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Asy-Syafií Al-Baijuri sebagaimana
telah diuraikan di atas.
Namun demikian, kata “niscaya” tetap dapat
diterima atau disertakan dalam terjemahan ayat ٱدۡعُونِيٓ
أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ dengan catatan kata أَسۡتَجِبۡ
tidak diterjemahkan “niscaya Aku kabulkan” tetapi “nisaya Aku jawab”.
Kalimat “nicaya Aku kabulkan” mengandung makna bahwa suatu permintaan pasti
dipenuhi seperti apa yang diinginkan seseorang. Padahal kenyataannya tidak
selalu demikian.
Sedangkan kalimat “nicaya Aku jawab”
mengandung makna bahwa suatu doa atau permintaan pasti dijawab oleh Allah
dengan berbagai bentuk kemungkinan seperti pengabulan sepenuhnya atau sebagaian
saja, atau diganti dengan hal lain yang lebih bermanfaat, atau ditunda
pemenuhannya hingga waktu yang tepat, atau malahan ditolak seperti apa yang
dialami oleh Rasulullah ketika beliau memohon agar umatnya tidak merasakan
kekejaman di antara sesamanya.
Kesimpulannya, semua doa pasti dijawab oleh
Allah tetapi tidak setiap doa pasti dikabulkan-Nya sebab ada kalanya Allah
tidak berkenan mengabulkan sebuah doa. Oleh karena itu setiap doa hendaknya
kita ikuti dengan sikap tawakal kita kepada Allah sebab Dia-lah yang mengatur
seluruh alam dengan segala permasalahannya. Allah Maha Tahu apa yang akan
terjadi di masa depan. Allah Maha Adil dan Bijaksana dengan semua rencana dan
keputusan-Nya. []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar