Fiqih Maqashid (6):
Bagaimana Batas Maslahat dan Tak Maslahat Diputuskan?
Izzu al-Din ibn Abdu al-Salâm, seorang tokoh
kenamaan abad ke-13 menuliskan bahwa mewujudkan maslahah (kemaslahatan)
dan menolak terjadinya mafsadah (kerusakan) hukumnya adalah wajib. Dalam
kitabnya, Qawâ’idu al-Ahkâm fi Mashâlihi al-Anam, Juz 1, halaman 7, beliau
menyampaikan:
واعلم
أن المصالح الخالصة عزيزة الوجود. فإن تحصيل المنافع المحضة للناس كالمأكل والمسكن
لا يحصل إلا بالسعي في تحصيلها بمشقة الكد والنصب. فإذا حصلت فقد اقترن بها من
المضار والآفات ما ينغصها
Artinya: “Kemaslahatan murni itu sangat sulit
terwujud. Upaya mencapai kesejahteraan bagi masyarakat seperti di bidang pangan
dan papan hanya bisa diraih dengan jerih payah dan perjuangan keras. Karena
itulah kemaslahatan yang diraih (nyaris selalu) bercampur dengan sisi mudarat
yang mengiringinya." (‘Izz al-Dîn ibn Abdu al-Salâm, Qawâ’idu al-Ahkâm fi
Mashâlihi al-Anam Juz 1, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., 7).
Untuk upaya mewujudkan kemaslahatan, antara
Abu Zahrah dan Izzu al-Dîn ibn Abdu al-Salâm memiliki pandangan yang sama,
yaitu harus disertai riset ilmiah. Tujuan dari riset ini adalah untuk
menghilangkan unsur tarikan atau dorongan nafsu dalam upaya penggalian hukum.
Itullah sebabnya, mazhab maqâshid dari kedua tokoh ini adalah sejalan, yaitu
bahwa kemaslahatan hanya bisa dicapai melalui dua jalan, antara lain melalui
dhahir nash (teks dalil Al-Qur’an dan al-Hadits), dan pertimbangan ra’yu
(akal). Itulah sebabnya, ‘Izzu al-Dîn ibn Abdu al-Salâm menetapkan batasan
bahwa keputusan hukum dianggap sebagai maslahah manakala: (1) masuk akal
(realistis), (2) terukur (miqdar al-aqly), dan (3) tidak bertentangan dengan
nash. Akal adalah kunci menuju ijtihad. Ia menyampaikan dengan tegas bahwa:
واعلم
أن تقديم الأصلح فالأصلح ودرء الأفسد فالأفسد مركوز في طبائع العباد ... ولا يُقدَّمُ الصالح على الأصلح إلا جاهل بفضل الأصلح أو
شقيٌ متجاهل لا ينظر إلى ما بين المرتبتين من التفاوت
Artinya: “Ketahuilah, mendahulukan sesuatu
yang lebih maslahat demi kemaslahatan yang lebih besar, menolak kemafsadatan
(kerusakan) karena adanya kemafsadatan yang lebih besar lagi adalah sudah
menjadi tabiat dasar manusia... Tidaklah mendahulukan suatu maslahat demi
meninggalkan kemaslahatan yang lebih besar kecuali hanya orang yang bodoh, tidak
mengetahui pentingnya kemaslahatan yang lebih besar, atau ia orang yang celaka
dan membutakan diri, tidak mau melihat kepada perbedaan dua derajat
kemaslahatan itu.” (‘Izz al-Dîn ibn Abdu al-Salâm, Qawâ’idu al-Ahkâm fi
Mashâlihi al-Anam Juz 1, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., 7).
Berdasar teks di atas, tampaknya metodologi
Syekh Izzu al-Dîn ibn Abdu al-Salâm dalam memandang kemaslahatan secara ringkas
adalah: (1) terlihat, (2) ada sebab yaitu timbulnya kemaslahatan yang lebih
besar, (3) jelas perbedaannya antara kedua kemaslahatan tersebut, dan (4) dapat
diukur. Tidak ada sesuatu yang bisa dianggap sebagai ashlah (lebih maslahat)
tanpa pengukuran, dan pengukuran ini hanya ada pada metodologi riset. Dengan
demikian, sesuatu dianggap maslahat bila ada data yang menunjuk kepada lebih
maslahatnya itu. Jadi, kata kuncinya adalah “data”. Adapun posisi nash adalah
sebagai kalibrasi atau tolok ukur.
Dasar penerapan konsep kemaslahatan ‘Izzu
al-Dîn ibn Abdu al-Salâm ini adalah berdasarkan sejarah kenabian (sirah
nabawiyyah) bahwasanya suatu ketika Nabi bersabda: “Andaikan saja Fatimah
(putri nabi) mencuri, maka niscaya ia akan saya potong tangannya.” Apa yang
disampaikan oleh beliau Rasulullah ﷺ ini adalah sesuai
dengan Al-Qur’an bahwasanya had (pidana) bagi pencuri adalah potong tangan.
Akan tetapi, beliau Sayyidina Umar bin Khathab radliyallaahu ‘anhu melakukan
ijtihad lain, yaitu dengan menghapus hukum potong tangan di saat kondisi
paceklik dan kelaparan. Beliau lebih memilih kepada hukum penjara sebagai ganti
dari hukum potong tangan. Kelaparan merupakan ‘illat al-hukm peniadaan itu,
meski dhahir nash menyebutkan:
والسارق
والسارقة فاقطعوا أيديهما
Artinya: “Seorang pencuri laki-laki dan
perempuan, (hukumannya) maka potonglah kedua tangannya.” (QS. Al-Mâidah: 38)
Abu al-Hasan ‘Ali al-Wâhidy, dalam kitabnya
Ulūmu Al-Qur’an: Asbâbu al-Nuzūl, yang diterbitkan oleh Dâr al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2000, halaman 101, menyebutkan bahwa sebab turunnya ayat ini
adalah karena kasus Thu’mah ibn Ibrîq yang mencuri sebuah baju perang yang
terbuat dari besi (al-Dir’i). Dasar ijtihad Sayyidinâ Umar adalah
kemaslahatan.
Sebenarnya, beliau Umar radliyallâhu ‘anhu
tidak hanya sekali dalam kasus ini melakukan ijtihad serupa. Penggajian tentara
perang, harta rampasan yang harus dikumpulkan ke Bait al-Mâl, membagi tanah
kepada penduduk pribumi di wilayah taklukan perang dan tidak kepada tentara
perang, adalah merupakan bagian besar dari ijtihad Sayyidina Umar dalam
mengambil kemaslahatan. Berdasarkan konteks ini, maka berlaku hadits:
وعن
عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول سألت ربي
عن اختلاف أصحابي من بعدي فأوحى إلي يا محمد إن أصحابك عندي بمنزلة النجوم في
السماء بعضها أقوى من بعض ولكل نور فمن أخذ بشيء مما هم عليه من اختلافهم فهو عندي
على هدى قال وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أصحابي كالنجوم فبأيهم اقتديتم
اهتديتم رواه رزين
Artinya: Dari Umar radliyallâhu ‘anhu: Aku
mendengar Nabi ﷺ bersabda: “Aku
bertanya kepada Tuhanku tentang ikhtilaf yang akan terjadi pada sahabatku
sepeninggalku, lalu Dia mewahyukan kepadaku: Wahai Muhammad! Sesungguhnya
sahabat-sahabatmu di sisi-Ku adalah bagaikan bintang gemintang di langit.
Sebagian di antaranya bersinar terang dibanding sebagian yang lain. Tiap-tiap
bintang itu memiliki cahaya. Barangsiapa mengambil petunjuk dari mereka dalam
perkara yang diperselisihkan maka dia termasuk mendapatkan petunjuk dari-Ku.
Lalu Umar berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Para sahabatku
ibarat bintang. Kepada siapa saja kalian mengikuti, maka kalian mendapat
petunjuk.” Hadits riwayat Razîn. (‘Ali bin Sulthan Muhammad al-Qâry, Mirqatu
al-Mafâtih Syarah Misykâtu al-Mashâbih, Juz 9, Damaskus: Dar al-Fikr,
2002, hal: 3870).
Berdasar hadits ini dapat disimpulkan bahwa
mempertimbangkan kemaslahatan dalam keputusan hukum adalah tidak keluar dari
syara’. Justru, pertimbangan kemaslahatan adalah diwajibkan oleh syara’. Inti
syara’ adalah pada jantung kemaslahatan tersebut. Standar kalibrasi tidak
keluar dari syara’ adalah bilamana kemaslahatan yang baru, tidak bersifat
menyelisihi syara’ akan tetapi justru menguatkan keberadaan maslahat dari
risalah Baginda Nabi ﷺ,
atau disebut maslahah al-mursalah. []
Muhammad Syamsudin, Pengasuh PP Hasan Jufri
Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang
Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU JATIM dan Wakil Sekretaris Bidang
Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar