Selasa, 15 Oktober 2019

(Ngaji of the Day) Fiqih Maqashid (6): Bagaimana Batas Maslahat dan Tak Maslahat Diputuskan?


Fiqih Maqashid (6): Bagaimana Batas Maslahat dan Tak Maslahat Diputuskan?

Izzu al-Din ibn Abdu al-Salâm, seorang tokoh kenamaan abad ke-13 menuliskan bahwa mewujudkan maslahah (kemaslahatan) dan menolak terjadinya mafsadah (kerusakan) hukumnya adalah wajib. Dalam kitabnya, Qawâ’idu al-Ahkâm fi Mashâlihi al-Anam, Juz 1, halaman 7, beliau menyampaikan: 

واعلم أن المصالح الخالصة عزيزة الوجود. فإن تحصيل المنافع المحضة للناس كالمأكل والمسكن لا يحصل إلا بالسعي في تحصيلها بمشقة الكد والنصب. فإذا حصلت فقد اقترن بها من المضار والآفات ما ينغصها

Artinya: “Kemaslahatan murni itu sangat sulit terwujud. Upaya mencapai kesejahteraan bagi masyarakat seperti di bidang pangan dan papan hanya bisa diraih dengan jerih payah dan perjuangan keras. Karena itulah kemaslahatan yang diraih (nyaris selalu) bercampur dengan sisi mudarat yang mengiringinya." (‘Izz al-Dîn ibn Abdu al-Salâm, Qawâ’idu al-Ahkâm fi Mashâlihi al-Anam Juz 1, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., 7).

Untuk upaya mewujudkan kemaslahatan, antara Abu Zahrah dan Izzu al-Dîn ibn Abdu al-Salâm memiliki pandangan yang sama, yaitu harus disertai riset ilmiah. Tujuan dari riset ini adalah untuk menghilangkan unsur tarikan atau dorongan nafsu dalam upaya penggalian hukum. Itullah sebabnya, mazhab maqâshid dari kedua tokoh ini adalah sejalan, yaitu bahwa kemaslahatan hanya bisa dicapai melalui dua jalan, antara lain melalui dhahir nash (teks dalil Al-Qur’an dan al-Hadits), dan pertimbangan ra’yu (akal). Itulah sebabnya, ‘Izzu al-Dîn ibn Abdu al-Salâm menetapkan batasan bahwa keputusan hukum dianggap sebagai maslahah manakala: (1) masuk akal (realistis), (2) terukur (miqdar al-aqly), dan (3) tidak bertentangan dengan nash. Akal adalah kunci menuju ijtihad. Ia menyampaikan dengan tegas bahwa:

واعلم أن تقديم الأصلح فالأصلح ودرء الأفسد فالأفسد مركوز في طبائع العباد ... ولا يُقدَّمُ الصالح على الأصلح إلا جاهل بفضل الأصلح أو شقيٌ متجاهل لا ينظر إلى ما بين المرتبتين من التفاوت

Artinya: “Ketahuilah, mendahulukan sesuatu yang lebih maslahat demi kemaslahatan yang lebih besar, menolak kemafsadatan (kerusakan) karena adanya kemafsadatan yang lebih besar lagi adalah sudah menjadi tabiat dasar manusia... Tidaklah mendahulukan suatu maslahat demi meninggalkan kemaslahatan yang lebih besar kecuali hanya orang yang bodoh, tidak mengetahui pentingnya kemaslahatan yang lebih besar, atau ia orang yang celaka dan membutakan diri, tidak mau melihat kepada perbedaan dua derajat kemaslahatan itu.” (‘Izz al-Dîn ibn Abdu al-Salâm, Qawâ’idu al-Ahkâm fi Mashâlihi al-Anam Juz 1, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., 7).

Berdasar teks di atas, tampaknya metodologi Syekh Izzu al-Dîn ibn Abdu al-Salâm dalam memandang kemaslahatan secara ringkas adalah: (1) terlihat, (2) ada sebab yaitu timbulnya kemaslahatan yang lebih besar, (3) jelas perbedaannya antara kedua kemaslahatan tersebut, dan (4) dapat diukur. Tidak ada sesuatu yang bisa dianggap sebagai ashlah (lebih maslahat) tanpa pengukuran, dan pengukuran ini hanya ada pada metodologi riset. Dengan demikian, sesuatu dianggap maslahat bila ada data yang menunjuk kepada lebih maslahatnya itu. Jadi, kata kuncinya adalah “data”. Adapun posisi nash adalah sebagai kalibrasi atau tolok ukur. 

Dasar penerapan konsep kemaslahatan ‘Izzu al-Dîn ibn Abdu al-Salâm ini adalah berdasarkan sejarah kenabian (sirah nabawiyyah) bahwasanya suatu ketika Nabi bersabda: “Andaikan saja Fatimah (putri nabi) mencuri, maka niscaya ia akan saya potong tangannya.” Apa yang disampaikan oleh beliau Rasulullah ini adalah sesuai dengan Al-Qur’an bahwasanya had (pidana) bagi pencuri adalah potong tangan. Akan tetapi, beliau Sayyidina Umar bin Khathab radliyallaahu ‘anhu melakukan ijtihad lain, yaitu dengan menghapus hukum potong tangan di saat kondisi paceklik dan kelaparan. Beliau lebih memilih kepada hukum penjara sebagai ganti dari hukum potong tangan. Kelaparan merupakan ‘illat al-hukm peniadaan itu, meski dhahir nash menyebutkan:

والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما 

Artinya: “Seorang pencuri laki-laki dan perempuan, (hukumannya) maka potonglah kedua tangannya.” (QS. Al-Mâidah: 38)

Abu al-Hasan ‘Ali al-Wâhidy, dalam kitabnya Ulūmu Al-Qur’an: Asbâbu al-Nuzūl, yang diterbitkan oleh Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000, halaman 101, menyebutkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah karena kasus Thu’mah ibn Ibrîq yang mencuri sebuah baju perang yang terbuat dari besi (al-Dir’i). Dasar ijtihad Sayyidinâ Umar adalah kemaslahatan. 

Sebenarnya, beliau Umar radliyallâhu ‘anhu tidak hanya sekali dalam kasus ini melakukan ijtihad serupa. Penggajian tentara perang, harta rampasan yang harus dikumpulkan ke Bait al-Mâl, membagi tanah kepada penduduk pribumi di wilayah taklukan perang dan tidak kepada tentara perang, adalah merupakan bagian besar dari ijtihad Sayyidina Umar dalam mengambil kemaslahatan. Berdasarkan konteks ini, maka berlaku hadits:

وعن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول سألت ربي عن اختلاف أصحابي من بعدي فأوحى إلي يا محمد إن أصحابك عندي بمنزلة النجوم في السماء بعضها أقوى من بعض ولكل نور فمن أخذ بشيء مما هم عليه من اختلافهم فهو عندي على هدى قال وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أصحابي كالنجوم فبأيهم اقتديتم اهتديتم رواه رزين

Artinya: Dari Umar radliyallâhu ‘anhu: Aku mendengar Nabi bersabda: “Aku bertanya kepada Tuhanku tentang ikhtilaf yang akan terjadi pada sahabatku sepeninggalku, lalu Dia mewahyukan kepadaku: Wahai Muhammad! Sesungguhnya sahabat-sahabatmu di sisi-Ku adalah bagaikan bintang gemintang di langit. Sebagian di antaranya bersinar terang dibanding sebagian yang lain. Tiap-tiap bintang itu memiliki cahaya. Barangsiapa mengambil petunjuk dari mereka dalam perkara yang diperselisihkan maka dia termasuk mendapatkan petunjuk dari-Ku. Lalu Umar berkata: Rasulullah bersabda: “Para sahabatku ibarat bintang. Kepada siapa saja kalian mengikuti, maka kalian mendapat petunjuk.” Hadits riwayat Razîn. (‘Ali bin Sulthan Muhammad al-Qâry, Mirqatu al-Mafâtih Syarah Misykâtu al-Mashâbih, Juz 9, Damaskus: Dar al-Fikr, 2002,  hal: 3870). 

Berdasar hadits ini dapat disimpulkan bahwa mempertimbangkan kemaslahatan dalam keputusan hukum adalah tidak keluar dari syara’. Justru, pertimbangan kemaslahatan adalah diwajibkan oleh syara’. Inti syara’ adalah pada jantung kemaslahatan tersebut. Standar kalibrasi tidak keluar dari syara’ adalah bilamana kemaslahatan yang baru, tidak bersifat menyelisihi syara’ akan tetapi justru menguatkan keberadaan maslahat dari risalah Baginda Nabi , atau disebut maslahah al-mursalah. []

Muhammad Syamsudin, Pengasuh PP Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU JATIM dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar